Grup tari profesional dari Aborigin yang mengetengahkan garapan kontemporer. Setelah Jakarta, grup ini main di Bandung, Yogya, dan ikut Pekan Kesenian Bali. DUA orang berkulit hitam duduk bertolak punggung. Muka mereka coreng-moreng. Di selingkar pinggang terikat rumbai-rumbai sebatas paha. Masing-masing memegangi buluh sebesar lengan yang panjangnya lebih dari kaki mereka. Ujung yang satu tersandar di lantai pentas, ujung yang lain tertempel di bibir. Alat tiup yang disebut didgeridoo ini menghasilkan paduan musik yang unik: yang satu berdengung tak henti dalam nada rendah, yang lain mengisi pendek-pendek: seperti duet kodok bangkong dan orong-orong di musim hujan. Sambil terus memainkan instrumen di tangan, kedua pemusik bangkit perlahan: berjalan melingkar ke arah berlawanan, bertemu kembali dan mengambil posisi seperti semula. Sementara itu, di latar belakang, sebuah layar putih bergambar abstrak dengan figur kepala manusia bergantian dibasuh lampu warna-warni: merah, kuning, biru, dan hijau. Inilah nomor pembuka pertunjukan grup Bangara -- yang dalam bahasa Aborigin berarti "membuat api". Senin pekan lalu, grup ini berpentas di Teater Arena TIM, Jakarta, dan selanjutnya bermain di Bandung, Yogyakarta, dan menjadi wakil Australia dalam Pesta Kesenian Bali yang dimulai 15 Juni nanti. Grup ini beranggotakan 10 orang penari dan pemusik Australia hitam: penduduk tanah Arnhem di wilayah Australia Utara dan kepulauan Selat Torres yang berbatasan dengan Irian Jaya. Selama dua jam mereka menyajikan nyanyi, musik, dan tari-tari tradisi dan kontemporer. Di tangan anak-anak muda lulusan Naisda (National Aboriginal Islander Skills Development) ini, tari-tari tradisi yang aslinya partisipatif ditata sebagai tontonan. Baik variasi elemen (tari, nyanyi, teater) maupun jumlah pendukung (tunggal, duet, trio, dan kelompok) lebih ditekankan. Kontinuitas dari satu nomor ke nomor berikutnya dijaga ketat. Akibatnya, setiap nomor suguhan berlangsung hanya 2-3 menit. Toh, beberapa nomor cukup memikat. Di dalam tari Panah dan Busur, misalnya, para penari mengentakkan kaki, mengayunkan tangan dengan iringan nyanyian, tepuk tangan bersama, dan siut-siul hiruk-pikuk bersahut-sahutan. Gairah dan semangat para penari begitu meluap. Beberapa garapan kontemporer mencoba memadukan elemen tradisi dengan jazz, tap, dan tari modern. Yang menarik, garapan jenis ini dapat menyampaikan tema-tema masa kini yang kocak dan tragis. Berty's Choice menggambarkan kegembiraan sekelompok orang Australia hitam sehabis menerima pensiun. Mereka bermain kartu dan mabuk-mabukan. Begitu mereka terlena sehingga uang pensiun yang sedikit itu dibawa lari oleh teman sendiri tak terasa. Garapan kontemporer Bangara lebih terbata-bata. "Kayak Australia putih didandani Aborigin," seorang rekan menggerutu seusai pertunjukan. Teknik tari modern yang dilandasi kebebasan jiwa itu memang belum merasuk benar ke dalam tubuh para penari. Gerakan mereka kurang lepas. Rasanya seperti melihat balet Melayu: ada yang mengekang gerak dari dalam. Barangkali ini soal budaya! Tetapi bukankah penari-penari Amerika hitam bisa bergerak all out tak kalah dengan penari-penari kulit putih? Lihat saja penampilan grup Alvin Ailey, Dance Theatre of Harleem, dan Gus Solomon, misalnya. Namun, memang, penari Amerika hitam telah terlibat tari modern sejak lahirnya di awal abad ke-20. Sedang Australia hitam baru bergaul dengan barang impor ini dalam dua dasa-warsa terakhir. Sebagai grup tari profesional, Bangara baru berumur setahun lebih. Sebelumnya, selama 15 tahun para seniman pendukung Bangara menjadi anggota AIDT (Aboriginal Islander Dance Theatre), yang didirikan oleh Carole Johnson, seorang penari-penata tari Amerika hitam yang lama tinggal di Sydney. Bangara mencerminkan pertemuan antara Timur dan Barat, yang tidak selamanya bahagia. Dukungan pemerintah Australia terhadap kelompok minoritas asli ini menarik karena sampai tahun 1970-an hubungan antara penduduk Australia putih dan hitam banyak berwarna kelabu. Bangara bukan hanya pertunjukan kesenian Aborigin tetapi juga pertunjukan pemerintah Australia untuk menarik simpati dan menebus dosa masa silam. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini