Mimpi Buruk dari Lynch Film layar lebar David Lynch yang terbaru. Terlalu banyak tokoh ganjil yang tak relevan, tapi inilah pemenang Festival Film Cannes tahun silam. WILD AT HEART Pemain: Nicolas Cage, Laura Dern, Willem Dafoe, Isabella Rossellini Skenario dan Sutradara: David Lynch Produksi: Polygram Propaganda Film "SEANDAINYA kita bisa bercinta sepanjang hidup, masa depan akan sedemikian indah dan sederhana," keluh Lula Fortune (Laura Dern) sambil bergolek di atas dada kekasihnya yang berkeringat. Sailor Ripley (Nicolas Cage) hanya mengembuskan rokok perlahan. Mereka baru saja bercinta habis-habisan -- tentu saja adegan ranjang dibabat badan sensor film kita dengan semangat -- dan mereka tahu bahwa hidup sesungguhnya tak sederhana. Mereka dipaksa mengerti bahwa di balik kemanisan dan keindahan, kehidupan selalu menyuguhkan kepahitan dan kekerasan. Kita ingat berbagai adegan keji dan karakter ganjil dalam film Blue Velvet karya David Lynch sebelumnya. Ada Dorothy Vallens (Isabella Rossellini) yang harus disiksa dulu sebelum disetubuhi ada Frank Booth (Dennis Hooper), Seorang maniak seks yang harus mengenakan topeng oksigen sebelum "mengerjai" Dorothy. Dalam Wild at Heart, Lynch lebih gendheng. Hampir setiap menit, Lula dan Sailor bertemu dengan manusia-manusia aneh yang rasanya hanya bisa ditemui dalam mimpi, tapi toh sesungguhnya mereka semua adalah bagian dari realita. Jalan ceritanya tidak ruwet. Lula dan Sailor melarikan diri ke California untuk menghindari ibu Lula, Marietta (Dianne Ladd), yang tak menyetujui hubungan mereka. Marietta segera meminta pacarnya yang terbaru, Johnny Farragut (Harry Stanton), agar mencari pasangan yang sedang dimabuk cinta ini. Dalam perjalanan itulah tersingkap latar belakang pengejaran tersebut. Ketika ayah Lula masih hidup, Marietta mempunyai seorang kekasih gelap bernama Marcello Santos (J.E. Freeman). Saat itu, Sailor bekerja sebagai sopir Santos dan mencium hubungan gelap ini. Suatu malam, Santos dan Marietta bersekongkol membakar ayah Lula. "Ayahku mati karena membakar diri," demikian kata Lula pada Sailor dalam pelarian mereka. Dan Sailor menutup bibirnya rapat-rapat sembari perlahan membimbing pacarnya yang lugu itu untuk melihat kejahatan ibunya. Dan selama ini Lula memang merasakan ada sesuatu yang aneh. Lantas mulailah Lynch memamerkan kesintingannya yang tak dimiliki sutradara besar lainnya. Ia menebarkan seluruh fantasinya tanpa disiplin. Secara bertubi-tubi kita dijejali adeganadegan yang membuat perut mual tapi toh realistis. Misalnya adegan Lula yang masa kecilnya diperkosa Paman Pooch, teman bisnis ayahnya. Lantas disusul shot wajah Lula dari balik alat aborsi, sebuah wajah yang nyeri karena darahnya mengalir deras melalui pipa. Dan adegan yang memualkan ini masih ditambah dengah adegan pembuangan janin ke keranjang sampah. Gila. Walau ini kenyataan sehari-hari -- dan mungkin terjadi pula di Indonesia -- siapa yang tega memvisualisasikannya kecuali Lynch? Lalu ada tokoh yang aneh-aneh semacam sepupu Lula, Dell (Crispin Glover). "Ia senang mengenakan pakaian Sinterklas dan gemar meletakkan kakerlak di celana dalamnya," ujar Lula pada Sailor. Ada lagi tokoh yang membuat penonton bergidik seperti wanita yang berlumur darah yang sibuk mencari-cari dompet. Tapi yang terpenting adalah Bobby Peru (Willem Dafoe) dan kekasihnya Perdita Durango (Isabella Rossellini). Bobby yang berbaju hitam, berambut licin penuh minyak, dan bergigi mrongos itu ternyata mampu merangsang Lula hingga Lula terengah-engah. Dan secara kurang ajar Bobby pula yang mengajak Sailor merampok bank, karena tahu isi dompet Sailor tinggal US$ 40. Polisi datang. Bobby segera menembak lehernya sendiri. Kepalanya melesat dan tangannya mental. Seekor anjing menggondol tangan itu. Di balik potret kelam itu sebenarnya Lynch menyuguhkan komedia anak muda. Lynch sedang menertawakan "pasangan ideal" itu. Dengar dialog cinta Lula dan Sailor. Begitu puber dan norak tapi mewakili tingkah anak muda yang butuh identitas. "Ini adalah simbol individualisme dan kebebasanku!" tutur Sailor, setiap kali orang mengejek jaket kulit ular yang dikenakannya. Perhatikan juga jingkrak-jingkrak mereka ketika mendengar musik heavy metal, atau akhir cerita, saat Sailor meniru Elvis Presley menyanyi Love Me Tender di atas mobil di jalanan yang macet. Mereka adalah tokoh komik yang keluguannya sengaja dipertahankan Lynch di tengah sederetan tokoh yang keji. Untuk menikmati komedi ala Lynch di tengah adegan yang tak nyaman, memang dibutuhkan tradisi apreasi dunia Lynch, dengan menonton karya sebelumnya seperti Elephant Man, Eraserhead, Blue Velvet, dan miniseri TV Twin Peaks yang kini sedang digemari Amerika. Atau, karena tak semua film ini masuk Indonesia, kita bisa mengikuti gaya berpikir Lynch yang menganggap bahwa semua yang divisualisasikan itu bukan sekadar fantasi. "Dalam hidup saya terlalu banyak melihat hal yang tak nyaman," kata Lynch, kini 45 tahun. "Di Philadelphia saya melihat seorang wanita tua yang mencengkeram buah dadanya. Sambil menjerit-jerit seperti seorang bayi ia mengatakan ada orang yang sedang menyakiti dadanya." Bagaimanapun, penggarapan Wild at Heart tidak serapi Blue Velvet. Lynch terlalu asyik melayani fantasinya yang berkelejatan. Akibatnya, tak semua tokohnya yang ganjil berhasil menjadi bagian yang relevan dengan keseluruhan film ini. Akibatnya, menonton film ini seperti sedang bermimpi buruk. Tapi mimpi buruk model Lynch inilah yang disukai banyak orang, terutama juri-juri Festival Film Cannes yang mengganjarnya dengan Piala Palme d'Or tahun silam. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini