Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perguruan tinggi merupakan tempat para pemuda Indonesia dapat menyalurkan keterampilan dalam hal apa pun.
Fenomena di lapangan menunjukkan adanya modus rekrutmen melalui upaya lobi atau menitipkan sejumlah nama supaya diloloskan di organisasi intrakampus.
Arogansi yang dibawa Kelompok Cipayung ke pergerakan mahasiswa berisiko membuat semangat perlawanan terhadap opresi pemerintah menjadi tren semata.
PERGURUAN tinggi merupakan tempat para pemuda Indonesia dapat menyalurkan keterampilan dalam hal apa pun. Demikian salah satu isi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Definisi itu juga mewakili bayangan ideal yang diinginkan sebagian besar mahasiswa ketika baru memasuki jenjang perkuliahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehadiran badan eksekutif mahasiswa dan badan legislatif mahasiswa, baik di tingkat universitas maupun fakultas, merupakan dua contoh kesempatan bagi para mahasiswa agar bisa berpartisipasi aktif di organisasi kampus, seraya memobilisasi aksi kolektif yang akan atau sedang dilangsungkan golongan terpelajar (Husin, 2014).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan adanya modus rekrutmen melalui upaya lobi atau menitipkan sejumlah nama supaya diloloskan di organisasi intrakampus. Sepengamatan penulis, aktor di balik fenomena ini mayoritas adalah mereka yang berasal dari Kelompok Cipayung: meliputi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan sebagainya.
Demi mendapatkan kemudahan proses rekrutmen, beberapa mahasiswa memilih mengikuti pola arus dengan menjadi kader Kelompok Cipayung. Sedangkan mereka yang tidak memiliki afiliasi apa pun, meskipun mempunyai kapabilitas lebih, akan sangat mudah tersingkir. Kondisi ini memberi kesan hipokrit sekaligus menodai gerakan mahasiswa yang mengecam tindakan serupa oleh pejabat pemerintahan di Istana Negara dan Senayan (Muhammad, 2023).
Ironi tersebut diperparah oleh komersialisasi kampus dalam upaya mencetak kelas pekerja. Mahasiswa akhirnya merasa perlu mencari pengalaman keorganisasian dan relasi sebanyak-banyaknya guna mengamankan karier setelah menuntaskan studi. Dengan ikut tergabung dalam Kelompok Cipayung, mahasiswa berharap akan dijadikan pion di organisasi intrakampus.
Rentetan fenomena itu berujung “nihilisasi” esensi gerakan mahasiswa selama ini. Walhasil, aktivisme mahasiswa yang digaungkan, melalui kendaraan organisasi intrakampus, menjadi selalu bersifat performatif dan tidak membawa dampak signifikan, selain hanya menambah kuantitas pengalaman di curriculum vitae mahasiswa. Dalam konteks tersebut, Kelompok Cipayung bertanggung jawab atas praktik monopoli jabatan-jabatan strategis dalam organisasi intrakampus untuk mereka kuasai.
Pengendalian Kelompok Cipayung terhadap tubuh organisasi intrakampus membuat gerakan mahasiswa lebih permisif pada setiap keputusan yang diambil pemerintah. Bahkan momentum penyuaraan aspirasi sering kali mereka jadikan ajang menjalin koneksi dengan pejabat publik atas dasar kepentingan pribadi (Pebrianto dan Amirullah, 2022; Redaksi Suara Mahasiswa, 2022).
Maka tidak mengherankan segala bentuk aksi yang dilangsungkan aliansi mahasiswa kini terbilang lebih rapuh (Kresna dan Hidayat, 2019). Glorifikasi hustle culture dan sikap acuh tak acuh Kelompok Cipayung telah melemahkan pergerakan serta melahirkan pemuda-pemuda berjiwa egosentrik. Walaupun fenomena ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa, replikasi politik kotor tidak seharusnya dibiarkan mengakar di lingkungan kampus.
Kelompok Cipayung harus melakukan upaya kognisi sosial yang dimulai dari introspeksi keorganisasian. Cara kelompok ini unjuk gigi melalui sikap bergagah-gagahan di area perguruan tinggi tidak akan pernah bisa menarik simpati mereka yang menjalankan aktivisme progresif secara tulus.
Arogansi yang dibawa Kelompok Cipayung ke pergerakan mahasiswa berisiko membuat semangat perlawanan terhadap opresi pemerintah menjadi tren semata. Berbagai masalah genting masyarakat di tingkat akar rumput bukanlah barang dagangan yang bisa dipakai Kelompok Cipayung untuk branding di halaman akun media sosial mereka.
Percuma rasanya Kelompok Cipayung meneriakkan tuntutan atas krisis demokrasi negara, ketika pada saat yang sama mencederai demokrasi dengan skala yang lebih kecil. Kampanye saat pemilihan raya kepengurusan badan eksekutif dan legislatif mahasiswa digelar juga sekadar menjadi bualan. Apalagi calon yang diusung sering kali berasal dari Kelompok Cipayung yang tengah memperebutkan dominasi tampuk kuasa antara satu dan yang lain layaknya bermain “negara-negaraan” di lingkup kampus (Husin, 2014).
Penting untuk diingat, dinamika yang diinisiasi dari sudut-sudut ruang pendidikan menjadi tonggak sejarah penting sebuah bangsa (Sanit, 1999). Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di sebagian besar negara di dunia (Altbach, 1988). Kita semua harus sadar akan kehadiran pelaku-pelaku yang mengambil peran atas regresi pergerakan saat ini (Weiss dan Aspinall, 2012; Adhipermana, 2022; Abimanyu, 2024). Sekalipun menelan kenyataan pahit bahwa mereka berasal dari kalangan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa secara umum perlu menolak berbagai upaya pelestarian budaya politik oportunistis yang dilakukan Kelompok Cipayung di kampus. Iklim pembelajaran nonakademik di organisasi intrakampus tidak semestinya dipertuan oleh segelintir kelompok tertentu. Apalagi kelompok tersebut tak punya kemampuan menjadi representatif gerakan yang memperjuangkan ketidakadilan lapisan masyarakat terpinggirkan.
Eksistensi kelompok itu hanya akan membawa kemerosotan pergerakan. Daripada menjelma penumpang gelap dari persoalan vital dan menerapkan budaya ikut-ikutan, akan lebih baik bila berbagai organisasi mahasiswa merestrukturisasi jaringan individu-individu di lingkup internal mereka. Atau, ya, menyingkir sepenuhnya dari gerakan perjuangan mahasiswa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.