Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Efek Jokowi Padam di Pilkada Jakarta

Pasangan PDIP unggul telak atas kandidat yang diusung KIM plus dalam pilkada Jakarta. Berkah kultur daerah kosmopolitan.

29 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASIL hitung cepat pemilihan Gubernur Jakarta bisa menjadi angin segar bagi perpolitikan kita. Keberhasilan pasangan Pramono Anung-Rano Karno mengungguli Ridwan Kamil-Suswono yang diusung koalisi besar yang digagas Joko Widodo membuktikan bahwa kekuatan politik dan ekonomi tidak efektif di daerah dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang relatif tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perolehan suara Pramono Anung-Rano Karno jauh mengungguli Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Semula kubu Ridwan-Suswono menargetkan bisa menang satu putaran, yang artinya harus meraih suara lebih dari 50 persen. Di atas kertas, ini target yang sangat mungkin dicapai karena pasangan itu diusung 15 partai politik yang menguasai lebih dari 91 dari total 106 kursi dewan perwakilan rakyat daerah. Bandingkan dengan Pramono-Rano yang partai pengusungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Hanura, punya 15 kursi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik memang tak seperti matematika yang satu ditambah satu pasti sama dengan dua. Dukungan dari koalisi gemuk tak menjamin bisa mengamankan bahwa semua suara partainya akan mengalir ke calon kepala daerah yang diusungnya. Ridwan-Suswono diprediksi menang karena duet Pramono-Rano terbentuk secara mendadak setelah PDIP batal mengusung Anies Baswedan.

Hasil hitung cepat Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan Pramono-Rano meraih 51,03 persen suara, Ridwan-Suswono 38,8 persen, dan calon independen Dharma-Kun Wardana 10,17 persen. Hasil ini sejalan dengan hitung cepat empat lembaga lain, yaitu Charta Politika, Indikator Politik Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, dan Parameter Politik Indonesia.

Pilkada Jakarta berbeda jauh hasilnya dengan pilkada di sejumlah daerah lain, yang menjadi perhatian koalisi besar Joko Widodo-Prabowo Subianto, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Utara. Di lima provinsi tersebut, kandidat yang mereka usung melenggang dan hampir pasti menjadi pemenang.

Ada sejumlah faktor yang bisa menjadi penyebab jumlah perolehan suara Ridwan-Suswono berada di belakang rival utamanya. Selain urusan strategi kampanye, ada faktor macetnya mesin partai bekerja. Namun faktor penting yang menyebabkan Pramono-Rano melaju adalah kultur kosmopolitannya, ciri kota yang mempertemukan orang-orang dari berbagai tempat dan belahan dunia yang tinggal bersama, dengan bahasa, budaya, dan adat istiadat yang berbeda. Ini yang membuat penduduk kota dengan populasi 11 juta itu lebih terbuka.

Jakarta memang tak sama dengan provinsi lain, termasuk dengan Jawa Tengah atau Jawa Timur. Selain soal ekonomi, begitu pula dengan pendidikan populasinya. Persentase penduduk Jakarta yang menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas sebanyak 88,10 persen pada 2023. Sedangkan Jawa Tengah 58,35 persen dan Jawa Timur 68,65 persen.

Keberagaman budaya, ekonomi, dan pendidikan itu diyakini berpengaruh pada postur pemilih dan rasionalitas pilihannya. Dalam pilkada Jakarta tahun ini, dari 8,2 juta pemilih, lebih dari 50 persen (4,2 juta) merupakan gen Z (1.528.777 atau 18,5 persen) dan generasi milenial (2.718.445 pemilih atau sekitar 31,5 persen).

Potret masyarakat seperti ini yang membuat pemilih Jakarta lebih sensitif terhadap isu kampanye para calon. Saat Suswono dalam kampanyenya menyebutkan soal janda dan pengangguran, hal itu direspons negatif dan menjadi blunder bagi pasangan nomor urut satu ini. Sejumlah analis menyebutkan blunder itu berkontribusi dalam melorotnya jumlah perolehan suara mereka.

Sebagai kota besar, Jakarta juga lebih transparan. Maka calon dalam pilkada juga sangat berhati-hati memakai rumus klasik untuk memenangi pemilihan seperti yang diyakini masih banyak dipakai di pilkada daerah lain, yaitu modus “serangan fajar”, mengerahkan aparatur sipil negara, atau memobilisasi aparat keamanan untuk memenangkan calonnya.

Cara-cara kuno tapi manjur seperti itu lebih sulit dilakukan di Jakarta karena lebih mudah terbuka. Mungkin itu sebabnya cara-cara kotor tersebut cenderung dihindari. Jika ketahuan, itu akan jadi malapetaka. Alih-alih menambah pundi-pundi suara, yang terjadi bisa sebaliknya dan akan berurusan dengan Badan Pengawas Pemilu.

Dengan kultur Jakarta dan pemilihnya seperti ini, dukungan koalisi besar tak menjamin bisa mengamankan suara untuk Ridwan-Suswono. Dukungan terbuka dari Jokowi juga tak bisa membuat pasangan itu mengungguli kompetitor utama mereka. Tapi ini bisa juga sebagai tanda lunturnya "Jokowi Effect", yang semestinya sudah rontok sejak dia pensiun.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus