Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lebih dari 70 persen responden mengaku puas atas kinerja pemerintah Jokowi.
Sigi kepuasan publik tidak selalu sejalan dengan fakta lapangan.
Lewat populisme, seorang pemimpin bisa tetap disokong publik meski ia mengeluarkan kebijakan yang merugikan orang banyak.
TAK perlu gumun menyikapi hasil sigi. Termasuk ketika lembaga survei merilis hasil jajak pendapat terakhir yang menyebutkan lebih dari 70 persen responden mengaku puas atas kinerja pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indikator Politik Indonesia serta Divisi Penelitian dan Pengembangan Harian Kompas menemukan fakta itu lewat dua jajak pendapat terpisah. Desember tahun lalu, Saiful Mujani Research and Consulting menyebutkan angka yang kurang-lebih sama. Kecuali ada bukti yang kuat atau lembaga riset menyembunyikan informasi penyandang dana penelitian mereka, tak perlu menuding penelitian itu tak independen alias bayaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika dilakukan dengan cara yang benar, jajak pendapat membantu kita memprediksi gejala. Dengan metodologi yang tepat, sampel jajak pendapat dapat secara persis mewakili populasi. Ibarat menguji sayur segentong, tak perlu menelan semua gulai. Dua-tiga sendok saja bisa mewakili seluruh isi baskom.
Yang bikin ramai, hasil survei tampak tak sesuai dengan fakta lapangan. Ketika wawancara dilakukan pada akhir Januari sampai pertengahan Februari 2022, kelangkaan minyak goreng telah terjadi. Juga konflik sosial di Desa Wadas, Jawa Tengah, menyusul rencana pemerintah menambang batu andesit di sana. Telah lama menjadi omongan: pemerintah memberangus aspirasi masyarakat sipil ketika bersama Dewan Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lantas, mengapa kesewenang-wenangan itu tak tertangkap oleh sigi? Survei kepuasan publik memang tidak menjamin persepsi dan fakta lapangan berjalan seiring. Di Filipina, misalnya, tingkat kepercayaan kepada Presiden Rodrigo Duterte tetap tinggi meski ia melanggar hak asasi. Dengan dalih menyelamatkan bangsanya dari bahaya narkotik, ia menembak mati siapa pun yang terlibat: tak peduli pengguna ataupun pengedar. Dibela lewat narasi yang heroik, langkah itu didukung publik. Suara para ibu yang anaknya terbunuh berada di luar kurva lonceng alias tersingkir dalam hitungan statistika.
Di Amerika Serikat, kita menyaksikan kejadian serupa. Di puncak kekuasaannya, Presiden Donald Trump memperoleh dukungan publik meski mengeluarkan kebijakan kontroversial dan antidemokrasi. Di Rusia, keputusan Presiden Vladimir Putin pada 2014 mencaplok Krimea, wilayah di Ukraina, disokong 86 persen responden. Dengan kata lain: populisme. Para politikus populis mengidentikkan diri sebagai bagian dari publik dan menjadi juru selamat meski secara esensial merusak demokrasi.
Jokowi memahami cara kerja populisme. Seraya membiarkan aparat menggeruduk warga Desa Wadas, di tempat lain ia berbicara dengan orang miskin dan membagikan bahan kebutuhan pokok. Dia pandai mengukur: jika reaksi publik kian negatif, dia bisa membatalkan suatu keputusan. Orang ramai lalu dibiarkan berspekulasi tentang siapa biang keladi keputusan yang dibatalkan: birokrasi lama yang amburadul, partai politik yang jahat, atau kekuatan politik lama yang ingin kembali bercokol.
Dengan fakta ini survei kepuasan publik selayaknya tidak berlebihan ditanggapi. Pendukung pemerintah tak perlu heboh bertempik sorak, para penentang tak selayaknya kelewat menggerutu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo