NYONYA Norma Nindyokirono malam itu tampil bagaikan "bintang". Hampir semua insan yang hadir pada peringatan 40 hari wafatnya Sri Sultan, Kamis malam pekan lalu, di Bangsal Kencono, Keraton Kasultanan Yogya, meluangkan waktu sesaat untuk menatapnya. Berkebaya brokrat warna cokelat dengan kombinasi kain kawung, tanpa canggung Norma duduk lesehan berjejer dengan dua istri yang lain, K.R.Ay. Pintoko Purnomo dan K.R.Ay. Hastungkoro, setelah tahlilan usai. Ketika Ny. Pintoko Purnomo dan Ny. Hastungkoro kembali ke keputren, para wartawan tak membiarkan "bintang" ini masuk ke Keraton Kulon, tempat tinggalnya di Yogya. Kendati tampak tak nyaman selama berbincang, istri terakhir Sultan ini tetap bersikap ramah dan murah senyum. "Saya 'kan nggak boleh kelihatan sedih terus di depan umum. Meskipun setiap ingat Bapak, dada ini rasanya sesak. Malah kalau sudah tak kuat, saya menangis sendirian," tutur Norma. "Saya sangat sayang pada Bapak," tambahnya. Boleh jadi, lantaran saking rapat hubungannya, sampai-sampai timbul anggapan bahwa Norma tahu segala hal tentang rahasia Sultan, termasuk dua buah anak kunci yang tiba-tiba ikut raib menyertai kepergian Sang Raja. Padahal, 'Saya ndak tahu, sungguh ndak tahu. Dicari saja nanti 'kan ketemu," ujar Norma. Benar juga. Ahad siang lalu, sejumlah anak kunci diketemukan di salah satu dari 15 lemari penting, yang ada di Gedung Kuning, "rumah dinas" Sultan di kompleks Istana. Besar kemungkinan, dua diantaranya adalah kunci pembuka untuk lemari dan brankas yang ada di Jalan Prapatan, kediaman resmi Sultan di Jakarta. Tatkala ditanya upaya putra-putri Sultan untuk memperoleh informasi langsung dari dokter di RS George Washington, tentang penyebab meninggalnya ayahanda, Norma tak keberatan "itu hak mereka mencari tahu," ujar Norma. Tapi, "ratu" Istana Shwarna Bhumi di Bogor itu menolak bila dianggap bersalah atas wafatnya Raja Yogya ini. "Saya yang mengantar Bapak berobat ke mana-mana. Masa, saya mesti berbuat yang tidak-tidak. Nggak mungkin itu. Boleh saja orang berprasangka demikian. Namanya juga isu. Yah ... banyak orang yang mau memojokkan saya, barangkali." Apa alasannya? "Saya ndak tahu itu. Like or dislike, itu hak seseorang," kata Norma. Bahwa Sultan tidak diautopsi, memang, Norrna hanya mengiyakan nasihat dari staf Kedutaan RI di Washington. Dubes A.R. Ramly pun, tutur Nindyokirono ini, mengisyaratkan agar jenazah Sultan tidak diautopsi. "Mungkin merasa kasihan kalau Bapak harus dibuka-buka. Waktu itu saya, sih, terserah bagaimana baiknya saja. Dan akhirnya diputuskan tidak, saya kira juga nggak apa-apa, kok," tuturnya. Soal wasiat Sultan, Norma enggan membicarakannya. Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, kali ini dia menyatakan tidak tahu. "Tanya saja Mas Mangkubumi. Itu bukan wewenang saya," ujarnya. Juga, tentang warisan-warisan mendiang Sultan. "Saya tidak tahu. Letak pabrik gula Madukismo saja saya tidak taku. Yogya yang saya tahu hanya airport dan Keraton," ujarnya. Namun, soal status penguasaan Istana Shwarna Bhumi di Bogor, Norma punya sikap yang teguh, dan dia tampak tidak mengkhawatirkan haknya. "Itu atas nama saya. Akta notarisnya memakai nama kecil saya, Norma Musa. lzin bangunan dengan nama Norma HB IX. Saya pun baru membayar pajak bangunan atas nama saya pribadi. Jadi, buat saya, it's just nothing to worry about," katanya. Warisan yang lain, Norma tampaknya tak terlalu banyak berharap. "Dapat ya sukur alhamdulillah, tidak dapat ya tidak apa-apa," katanya ringan. Laporan Siti Nurbaiti (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini