Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pramuwisma

Pramuwisma istilah bahasa sansekerta yang artinya babu. gaji tidak sama dengan pramu lain, bekerja tetap 18 jam/hari, tanpa hari libur & jadi korban kekesalan. istilah diciptakan untuk mengangkat derajat babu.

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT orang seperti Pariyem, kata pramuwisma mungkin tak banyak artinya. Sebab dalam pengakuannya yang dikisahkan Linus Suryadi (bukunya, Pengakuan Pariyem red), ia tak pernah menuntut apa-apa. Kalau tuan muda menidurinya, itu berarti hiburan pelepas lelah. Dan walau setelah melahirkan anak tuannya di Wonosari ia kembali ke rumah tuannya dengan status yang sama tanpa dinikahi, dan tetap babu -- ia menerimanya dengan sumarah. Pastilah ia makin tak memerlukan istilah baru untuk jabatan itu. Pramuwisma atau babu apalah artinya nama. Tetapi memang bukan Pariyem yang memerlukan istilah baru. Istilah itu diperlukan oleh rekan-rekan sesama tuannya, yang barangkali tinggal di Menteng, Kebayoran, atau Pondok Indah. Tentu saja dengan maksud baik: hendak dihindarkan kesan tak senonoh dari istilah sehari-hari. Profesi itu sendiri tak diharapkan hapus. Sebab stabilitas rumah tangga, dan dengan demikian juga stabilitas kantor, atau mungkin malahan stabilitas ekonomi, sedikit banyak bergantung juga pada kelestarian profesi itu. Sedikitnya ibu-ibu akan terganggu dalam melaksanakan tugas sosial pengumpulan dana ini-itu, arisan ini-itu, rapat ini-itu. Maka, untuk menghargai jasa mereka itu, ditemukan istilah yang mentereng itu. Tentu ini tidak main-main: orang harus tahu bahasa Sanskerta, suatu hal yang jelas terlalu sulit buat Pariyem dan mereka yang seprofesi. Memang sudah ada beberapa contoh sebelumnya: pramuniaga untuk penunggu toko, pramuwisata untuk pengantar turis. Dengan menciptakan istilah pramuwisma, seakan ditimbulkan kesan bahwa babu adalah profesi yang pantas dihargai sebagaimana pramu lainnya. Tidak berarti gaji mereka lalu sama dengan gaji pramu lainnya. Sebab kalau begitu bisa-bisa punya efek seperti kenaikan harga BBM. Nama baru itu juga tidak berarti syarat kerja yang baru. Lama kerja tetap sekitar 18 jam sehari, tanpa hari libur mingguan. Ukuran hari pun sama rata, tak ada yang besar tak ada yang kecil. Juga hirarki tak usah berubah. Kalau dalam sekelompok ayam ada hirarki menurut wewenang mematok tanpa dibalas -- ayam terkuat berhak mematok ayam yang lemah, demikian seterusnya sampai ayam terlemah boleh dipatok semua ayam -- maka pramuwisma tetap berada pada hirarki terbawah dalam hal suruhan atau omelan. Tuan Besar berhak menyuruh dan mengomeli Nyonya Besar tanpa dibalas, Nyonya Besar demikian juga terhadap Sinyo dan Non, dan semua mereka tetap berhak menyuruh dan mengomeli Pariyem walau profesinya sekarang disebut pramuwisma. Jadi, mengapa istilah baru? Pertama-tama mungkin sekadar kebiasaan. Istilah yang mengandung kesan kurang layak memang sering kita perhalus. Begitulah kita ganti pelacur dengan wanita tunasusila, penganggur dengan tunakarya, gelandangan dengan tunawisma, pesakitan dengan narapidana. Fungsi penghalusan dengan metabahasa adalah mengosongkan realitas tak layak dari kesan kita. Realitas memang tidak atau belum berubah karena itu, tetapi paling tidak kesannya jadi berubah. Kesan yang ditimbulkan bertugas menyembunyikan realitas. Dan kita terhibur. Sebab hiburan yang paling melegakan adalah yang bisa membawa kita sejenak melupakan realitas. Ini tanpa mengurangi maksud baik di balik penciptaan istilah itu. Sebenarnya kita hendak mengangkat derajat mereka, setidak-tidaknya sebagai manusia. Sebab demikianlah kepercayaan kita. Kalaupun tidak dalam praktek sehari-hari, setidak-tidaknya di depan hukum, mereka sesama warga negara. Dengan demikian metabahasa bisa menjadi lambang maksud baik kita -- yang belum terlaksana. Pada jarak kesenjangan antara realitas dan niat baik itulah memang kita ciptakan metabahasa. Makin lebar daerah kesenjangan, makin subur metabahasa. Penggunaan kata Sanskerta merupakan kebetulan yang menyenangkan. Sebab, sebagai bahasa yang sudah mati, ia tak kita jumpai lagi dalam realitas sehari-hari. Dengan demikian lebih mudah menguapkan realitas wadag kemasyarakatan yang tak menyenangkan itu dalam dunia roh. Maka ketimpangan akhir bisa dimanipulasi menjadi persamaan dalam dunia arwah -- yang abstrak, yang jauh, tetapi yang kita anggap pasti akan kita temui suatu ketika. Maka kita pun lega. Ternyata kita bisa tetap memelihara kepercayaan dan impian kita tentang persamaan derajat dan martabat manusia. Banyak di antara kita akan lebih lega, sebab dengan itu desakan mengubah realitas bisa ditunda. Perubahan itu, kalau begitu radikal, bisa mengganggu stabilitas. Dan mengurangi kenikmatan yang selama ini kita peroleh dengan begitu murah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus