BUAT orang seperti Pariyem, kata pramuwisma mungkin tak banyak
artinya. Sebab dalam pengakuannya yang dikisahkan Linus Suryadi
(bukunya, Pengakuan Pariyem red), ia tak pernah menuntut
apa-apa. Kalau tuan muda menidurinya, itu berarti hiburan
pelepas lelah. Dan walau setelah melahirkan anak tuannya di
Wonosari ia kembali ke rumah tuannya dengan status yang sama
tanpa dinikahi, dan tetap babu -- ia menerimanya dengan sumarah.
Pastilah ia makin tak memerlukan istilah baru untuk jabatan itu.
Pramuwisma atau babu apalah artinya nama.
Tetapi memang bukan Pariyem yang memerlukan istilah baru.
Istilah itu diperlukan oleh rekan-rekan sesama tuannya, yang
barangkali tinggal di Menteng, Kebayoran, atau Pondok Indah.
Tentu saja dengan maksud baik: hendak dihindarkan kesan tak
senonoh dari istilah sehari-hari.
Profesi itu sendiri tak diharapkan hapus. Sebab stabilitas rumah
tangga, dan dengan demikian juga stabilitas kantor, atau mungkin
malahan stabilitas ekonomi, sedikit banyak bergantung juga pada
kelestarian profesi itu. Sedikitnya ibu-ibu akan terganggu dalam
melaksanakan tugas sosial pengumpulan dana ini-itu, arisan
ini-itu, rapat ini-itu.
Maka, untuk menghargai jasa mereka itu, ditemukan istilah yang
mentereng itu. Tentu ini tidak main-main: orang harus tahu
bahasa Sanskerta, suatu hal yang jelas terlalu sulit buat
Pariyem dan mereka yang seprofesi. Memang sudah ada beberapa
contoh sebelumnya: pramuniaga untuk penunggu toko, pramuwisata
untuk pengantar turis. Dengan menciptakan istilah pramuwisma,
seakan ditimbulkan kesan bahwa babu adalah profesi yang pantas
dihargai sebagaimana pramu lainnya.
Tidak berarti gaji mereka lalu sama dengan gaji pramu lainnya.
Sebab kalau begitu bisa-bisa punya efek seperti kenaikan harga
BBM. Nama baru itu juga tidak berarti syarat kerja yang baru.
Lama kerja tetap sekitar 18 jam sehari, tanpa hari libur
mingguan. Ukuran hari pun sama rata, tak ada yang besar tak ada
yang kecil.
Juga hirarki tak usah berubah. Kalau dalam sekelompok ayam ada
hirarki menurut wewenang mematok tanpa dibalas -- ayam terkuat
berhak mematok ayam yang lemah, demikian seterusnya sampai ayam
terlemah boleh dipatok semua ayam -- maka pramuwisma tetap
berada pada hirarki terbawah dalam hal suruhan atau omelan. Tuan
Besar berhak menyuruh dan mengomeli Nyonya Besar tanpa dibalas,
Nyonya Besar demikian juga terhadap Sinyo dan Non, dan semua
mereka tetap berhak menyuruh dan mengomeli Pariyem walau
profesinya sekarang disebut pramuwisma.
Jadi, mengapa istilah baru? Pertama-tama mungkin sekadar
kebiasaan. Istilah yang mengandung kesan kurang layak memang
sering kita perhalus. Begitulah kita ganti pelacur dengan wanita
tunasusila, penganggur dengan tunakarya, gelandangan dengan
tunawisma, pesakitan dengan narapidana.
Fungsi penghalusan dengan metabahasa adalah mengosongkan
realitas tak layak dari kesan kita. Realitas memang tidak atau
belum berubah karena itu, tetapi paling tidak kesannya jadi
berubah. Kesan yang ditimbulkan bertugas menyembunyikan
realitas. Dan kita terhibur. Sebab hiburan yang paling melegakan
adalah yang bisa membawa kita sejenak melupakan realitas.
Ini tanpa mengurangi maksud baik di balik penciptaan istilah
itu. Sebenarnya kita hendak mengangkat derajat mereka,
setidak-tidaknya sebagai manusia. Sebab demikianlah kepercayaan
kita. Kalaupun tidak dalam praktek sehari-hari, setidak-tidaknya
di depan hukum, mereka sesama warga negara. Dengan demikian
metabahasa bisa menjadi lambang maksud baik kita -- yang belum
terlaksana.
Pada jarak kesenjangan antara realitas dan niat baik itulah
memang kita ciptakan metabahasa. Makin lebar daerah kesenjangan,
makin subur metabahasa. Penggunaan kata Sanskerta merupakan
kebetulan yang menyenangkan. Sebab, sebagai bahasa yang sudah
mati, ia tak kita jumpai lagi dalam realitas sehari-hari. Dengan
demikian lebih mudah menguapkan realitas wadag kemasyarakatan
yang tak menyenangkan itu dalam dunia roh. Maka ketimpangan
akhir bisa dimanipulasi menjadi persamaan dalam dunia arwah --
yang abstrak, yang jauh, tetapi yang kita anggap pasti akan kita
temui suatu ketika.
Maka kita pun lega. Ternyata kita bisa tetap memelihara
kepercayaan dan impian kita tentang persamaan derajat dan
martabat manusia. Banyak di antara kita akan lebih lega, sebab
dengan itu desakan mengubah realitas bisa ditunda. Perubahan
itu, kalau begitu radikal, bisa mengganggu stabilitas. Dan
mengurangi kenikmatan yang selama ini kita peroleh dengan begitu
murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini