Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tuntutan Jaksa terhadap Eliezer memicu polemik.
Tuntutan itu lebih tinggi daripada untuk Putri Candrawathi.
Posisi Eliezer sebagai justice collaborator harus menjadi pertimbangan.
Edwin Partogi Pasaribu
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuntutan 12 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa Bhayangkara Dua (Bharada) Richard Eliezer Pudihang Lumiu dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat memicu polemik. Terasa ada kegamangan jaksa dalam menerapkan keringanan hukuman pidana seperti diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sehingga perlu mendapat kajian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis hakim akan menjadi harapan terakhir dalam kasus ini. Hakim dituntut untuk mewujudkan keadilan yang bukan hanya bersandarkan pada fakta persidangan dan kepastian hukum, tapi juga rasa keadilan masyarakat.
Bagi jaksa, tuntutan terhadap Eliezer jauh lebih rendah dibanding kepada Ferdy Sambo, yang dituntut seumur hidup. Bahkan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum mengatakan tuntutan itu sudah memperhatikan rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Menurut dia, bila tidak ada rekomendasi LPSK, tuntutannya akan jauh lebih tinggi, mengingat peran Eliezer selaku eksekutor. Tepatkah argumentasi tersebut?
Tuntutan Jaksa
Dalam tuntutan jaksa kepada Eliezer, pada bagian pertimbangan yang memberatkan, jaksa berdalih Eliezer merupakan eksekutor. Perbuatan Eliezer ini dinilai telah menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban, keresahan, dan kegaduhan yang meluas di masyarakat.
Dalam pertimbangan yang meringankan, jaksa menyatakan Eliezer merupakan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) untuk membongkar kejahatan. Eliezer juga belum pernah dihukum, berlaku sopan, dan kooperatif di persidangan. Eliezer menyesali perbuatannya serta telah dimaafkan oleh keluarga korban.
Dalam replik, yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan tuntutan sebelumnya, jaksa menyatakan sudah mempertimbangkan surat rekomendasi LPSK tentang penghargaan Eliezer sebagai justice collaborator dan penjelasan Pasal 10A ayat 3 huruf a Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa “Yang dimaksud dengan ‘keringanan penjatuhan pidana’ mencakup pidana percobaan, pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya”. Jaksa menilai frasa “penjatuhan pidana yang paling ringan di antara terdakwa lainnya” belum mengakomodasi posisi Eliezer sebagai justice collaborator sekaligus pelaku materiil (eksekutor) yang mempunyai peran lebih dominan dibanding para terdakwa lainnya, kecuali Sambo sebagai pelaku utama.
Hal tersebut, bagi jaksa, menimbulkan dilema yuridis karena di satu sisi Eliezer dikategorikan justice collaborator, yang keberanian dan kejujurannya telah berkontribusi dalam membongkar kejahatan yang direncanakan untuk membunuh Yosua, serta membongkar skenario pengelabuan yang dibuat Sambo. Namun, di sisi lain, peran Eliezer sebagai eksekutor penembakan Yosua perlu juga dipertimbangkan secara jernih dan obyektif.
Jaksa menggunakan teori tujuan pemidanaan yang menyatakan bahwa pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan), melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Dalam replik, jaksa juga mengajak kita membayangkan penderitaan Yosua sesaat sebelum ditembak sampai meninggal akibat timah panas yang menembus dan bersarang dalam tubuhnya.
Silap Jaksa
Dari replik jaksa setelah pleidoi Eliezer dan kuasa hukumnya, dapat dikatakan terdapat perubahan dan klarifikasi jaksa terhadap polemik dari tuntutannya. Perubahan itu, antara lain, dalam replik disebutkan adanya surat rekomendasi LPSK tentang penghargaan bagi Eliezer sebagai justice collaborator. Jaksa juga memasukkan pertimbangan keringanan penjatuhan pidana bagi justice collaborator yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Replik itu dapat dimaknai sebagai bentuk klarifikasi dari keterangan pers Kejaksaan Agung pada 19 Januari 2023. Dalam jumpa pers itu dikatakan Eliezer sebagai pelaku utama dan pelaku pembunuhan tidak dapat menjadi justice collaborator serta status itu harus didasarkan pada penetapan pengadilan. Dalam replik ditegaskan bahwa pelaku utama adalah Sambo dan jaksa tidak mempersoalkan tindak pidana ataupun penetapan pengadilan bagi status justice collaborator untuk Eliezer.
Silap jaksa dalam replik tampak, pertama, menyatakan telah mempertimbangkan rekomendasi LPSK, padahal rekomendasi LPSK bagi justice collaborator bukanlah hal yang harus dipertimbangkan jaksa karena rekomendasi itu untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. Sikap jaksa yang tepat adalah memuatnya dalam tuntutan, bukan mempertimbangkannya, karena rekomendasi LPSK itu bukan dimaksudkan untuk jaksa, melainkan ditujukan kepada hakim untuk dijadikan pertimbangannya. Penjelasan Pasal 10A ayat 4 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan, “Dalam ketentuan ini, hakim memperhatikan dengan sungguh-sungguh rekomendasi dari LPSK yang dimuat dalam tuntutan penuntut umum”.
Kata “rekomendasi” dalam undang-undang kerap dimaknai keliru karena hanya dilihat sebagai saran sehingga sering kita mendengar rekomendasi tidak memberi kewajiban untuk dipatuhi. Kata “rekomendasi” dalam undang-undang seharusnya dimaknai sebagai perintah. Penggunaan diksi “rekomendasi” merupakan eufemisme dari kata “perintah”, yang tabu digunakan dalam hubungan antar-kementerian atau lembaga negara karena posisi strukturalnya setara.
Bila cermat membaca pasal tersebut, tidak ada penggunaan kata “dapat” di sana sehingga dia bukanlah alternatif. Namun pasal itu menggunakan frasa “untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim”. Lebih jelas lagi pada penjelasan pasal tersebut yang menggunakan frasa “Hakim memperhatikan dengan sungguh-sungguh rekomendasi dari LPSK yang dimuat dalam tuntutan”. Kata “sungguh-sungguh” dalam penjelasan ini merupakan perintah kepada yang ditujunya.
Kedua, pernyataan jaksa tentang keringanan penjatuhan pidana bagi justice collaborator dengan mempertentangkannya dengan posisi Eliezer yang memiliki peran dominan sehingga perlu mendapat kajian. Hal ini menunjukkan bahwa jaksa luput memahami kebutuhan kerja sama dari pelaku kejahatan dalam kejahatan bersama-sama yang sulit pengungkapannya.
Jaksa terlihat gamang dengan mengajukan harapan tentang perlunya kajian tentang penerapan keringanan penjatuhan pidana bagi justice collaborator. Di bagian ini, tampak jaksa luput merujuk pada pustaka nasional dan internasional yang banyak membahas tentang hal tersebut. Jaksa abai memahami konsep justice collaborator dalam perkembangan hukum modern. Praktik justice collaborator telah diterapkan banyak negara, seperti Irlandia, Italia, Belanda, Jerman, Spanyol, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
Keberadaan justice collaborator dibutuhkan penegak hukum karena menyadari kejahatan yang melibatkan lebih dari satu pelaku dan minim saksi tentu sulit diungkap. Perlu adanya orang di antara pelaku yang mau bekerja sama membongkar kejahatan dan menjelaskan peran pelaku lainnya. Guna menarik minat adanya kerja sama dari salah satu pelaku, penyidik/beskal memberi janji pelindungan dan imbalan keringanan penjatuhan pidana dan bahkan kekebalan penuntutan kepada justice collaborator.
Strategi ini terbukti ampuh memerangi kejahatan. Misalnya, penyidikan yang sulit di Amerika Serikat dalam perkara “godfather” Al Capone (1931) berhasil dipecahkan setelah penyidik sukses membujuk akuntan Al Capone untuk bersaksi dengan memberikan jaminan keamanan dan pembebasan dari proses hukum kepadanya. Singkat cerita, Al Capone berhasil dipidana berkat keberadaan justice collaborator itu.
Dalam perkembangannya, keberadaan justice collaborator telah menjadi hukum internasional. Justice collaborator telah menjadi strategi melawan kejahatan, yang dapat dilihat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 serta Konvensi Anti-Korupsi PBB yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam kedua konvensi itu dibuka peluang justice collaborator mendapat keringanan hukuman atau bahkan kekebalan penuntutan.
Jaksa alpa merunut proses hukum ketika penyidikan dilakukan. Tanpa kejujuran Eliezer, tidak akan ada penetapan Sambo sebagai tersangka. Kesulitan pengungkapan perkara ini tidak lepas dari kuasa Sambo selaku Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri serta Kepala Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih yang melakukan perintangan penyidikan sehingga banyak barang bukti yang hilang dan rusak.
Untuk menyegarkan ingatan, mari kita lihat pernyataan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 10 Agustus 2022 ketika mengumumkan Sambo sebagai tersangka: “Peristiwa penembakan terhadap Saudara J yang menyebabkan Saudara J meninggal yang dilakukan oleh Saudara RE atas perintah Saudara FS. Saudara RE telah mengajukan justice collaborator saat ini. Itu juga yang membuat peristiwa ini menjadi semakin terang”.
Bila paham kebutuhan keberadaan justice collaborator dalam pengungkapan perkara, jaksa tidak lagi mempersoalkan penerapan pasal dan kualitas perbuatan dari seorang justice collaborator. Yang jauh lebih penting ialah peran justice collaborator dalam mengungkap perkara sehingga ia layak mendapat reward.
Ketiga, jaksa bukanlah pihak yang paling menderita atas kematian Yosua. Jaksa kerap merasionalkan tuntutan kepada Eliezer, baik membandingkannya dengan tuntutan seumur hidup bagi Sambo maupun mengungkit kisah dramatis ketika Yosua mengalami derita akibat penembakan.
Jaksa mendramatisasi derita Yosua untuk mendapat permakluman publik terhadap alasan tuntutannya. Namun jaksa seolah-olah lupa bahwa pihak yang paling menderita atas kematian Yosua adalah keluarganya, bukan jaksa, pengamat, atau yang lainnya. Keluarga Yosua telah memberi maaf kepada Eliezer dan bahkan keluarga Yosua mempertanyakan jaksa yang menuntut Eliezer lebih tinggi dibanding tuntutan kepada Putri Candrawathi. Pertanyaan keluarga Yosua itu jauh lebih penting untuk dijelaskan jaksa ketimbang upaya jaksa mendramatiskan penderitaan Yosua dalam tuntutannya.
Berharap pada Vonis Hakim
Dalam pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan sikap dan tindakan pelaku kejahatan setelah melakukan tindak pidana. Artinya, apakah ada penyesalan atau apakah pelaku tersebut mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum?
Peraturan internal Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Saksi Pelapor (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) dalam Tindak Pidana Tertentu, dalam perkembangannya, telah diadopsi dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketentuan keringanan penjatuhan pidana dalam bentuk pidana percobaan bersyarat khusus dan atau pidana paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam suatu perkara yang perlu memperhatikan rasa keadilan masyarakat telah menjadi kebijakan Mahkamah sebagai bentuk apresiasi atas bantuan yang diberikan oleh justice collaborator.
Akhirnya, harapan terakhir ada pada majelis hakim. Hakim dituntut memiliki moral dan integritas yang tinggi sehingga mencerminkan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum, dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, termasuk mempertimbangkan amicus curiae (sahabat pengadilan) yang diajukan organisasi masyarakat sipil sebagai bagian dari pertimbangannya. Pertimbangan-pertimbangan itu menjadi legal reasoning hakim dalam putusannya. Untuk lebih mempertajam legal reasoning dalam putusan hakim yang secara teoretis mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, hakim diikat oleh undang-undang (hukum tertulis) dan kepastian hukumnya dijamin melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang.
Setiap putusan hakim harus berdasarkan pada pertimbangan hukum, yang diperkuat oleh teori hukum, terhadap fakta yang terungkap dalam sidang perkara yang sama agar tidak menimbulkan kebingungan dan pertanyaan di masyarakat. Dalam merumuskannya, hakim juga harus melepaskan diri dari kepentingan politik serta mengikatkan diri pada ketentuan yang sudah jelas dan tegas; tidak menafsirkan hukum formil dan prosesnya melebihi kebutuhan masyarakat.
Hakim tentu memahami bahwa putusannya dalam perkara ini akan berpengaruh pada masa depan perlindungan justice collaborator di Indonesia. Putusan hakim akan menentukan bagaimana pengadilan memperlakukan justice collaborator, yang sudah membantu mengungkapkan suatu kasus yang rumit serta melibatkan pelaku yang memiliki posisi dan kekuasaan besar. Karena itu, putusan hakim terhadap Eliezer diharapkan dapat menjadi rujukan asas preseden dan menjadi pesan mengenai perlindungan justice collaborator ke depan. Pemberian penghargaan (reward) berupa penjatuhan pidana ringan bagi justice collaborator bukan hanya untuk kepentingan Eliezer, tapi juga penting untuk menjadi stimulus bagi pelaku kejahatan lain yang sulit diungkap agar mau berkolaborasi dengan penegak hukum dalam rangka menindak para aktor utamanya.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo