Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Sang Penegak Kemerdekaan

Abu Hanifah dikenal sebagai Imam Hanafi, adalah seorang peneguh tradisi kemerdekaan berpikir: kemerdekaan yang tegak di hadapan kekuasaan luar, juga kemerdekaan yang terjaga dari sikap "serba tahu" sendiri.

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lelaki yang bertubuh lurus pernah hidup di kota Kufah di akhir abad ke-7. Namun orang keturunan Persia yang orangtuanya pindah ke Wilayah Mesopotamia itu bukan sembarang orang ia seorang penemu cara membikin batu ubin di masa itu, tapi ia juga seorang ahli agama dan ulama besar. Ia seorang yang praktis -- ia pernah hidup sebagai saudagar -- tapi ia juga seorang yang mengogahi kompromi meskipun kompromi itu untuk hal-hal yang menyenangkan dirinya. Ia seorang yang pendiam tapi ia juga bijak berargumentasi. Seorang kenalannya pernah melukiskan hal itu. "Ia adalah seorang lelaki jika kamu berkata tentang tiang ini supaya ia jadikan emas, niscaya ia memberikan alasan-alasannya." Adakah ia hanya seorang yang pintar? Tidak. Lebih dari segalanya, barangkali ia seorang yang berhati-hati benar menjaga garis apa yang hak dan apa yang batil, dan dengan keras menterapkan itu bagi dirinya sendiri. Syahdan, pada suatu hari datanglah beberapa ekor kambing dari hasil rampasan di kota Kufah itu. Kambing-kambing itu pun bercampur dengan piaraan penduduk setempat. Maka laki-laki itu pun bertanya: "Berapa tahun, biasanya, umur kambing?" Ketika dijawab, "tujuh tahun", maka selama tujuh tahun pula ia mencegah dirinya memakan daging kambing. Diriwayatkan pula, bagaimana dari pusat kcrajaan di Baghdad ia dikirimi uang 10.000 dirham. Sebagai hadiah Sultan. Tapi laki-laki itu tidak hendak menerimanya. Tatkala pesuruh Baginda datang pagi-pagi membawa uang itu, laki-laki itu cuma menerima tamunya di kamar dengan berselimut. Ketika sang utusan kerajaan mengucapkan pesan Sultan dengan uang sebanyak itu, laki-laki itu cuma berkata: "Letakkanlah uang itu dalam pundi-pundi, di sudut rumah ini!" Ia tak hendak menyintuhnya. Pundi-pundi itu pun tetap berada di sudut rumah itu -- sampai laki-laki itu meninggal. Sebelum meninggal ia berpesan agar anaknya mengembalikan uang itu kepada si utusan raja. Puncak penolakan yang seperti itu kemudian terjadi ketika dari Baghdad datang tawaran lain dari Sultan yang baru: ia hendak diangkat menjadi Hakim Kerajaan. Seorang pegawai kerajaan pun bertanya kepada laki-laki tua yang bersikeras ogah itu. "Akan tetapkah guru menolak kehendak Baginda, padahal Baginda telah bersumpah memberikan kedudukan kepada guru?" Ketika laki-laki itu tetap menolak, ia dimasukkan ke dalam penjara. Dan Sultan Abu Ja'far al-Manshur pun -- Kepala Negara sebuah kerajaan Islam yang tersohor dalam sejarah -- memutuskan untuk menyiksanya. Ia tidak mau tahu ketika laki-laki tua itu menyatakan bahwa dirinya tidak patut diberikan kedudukan yang ditawarkan. Bagi Raja (yang disebut Amirul Mu'minin atau "pemimph ummat yang beriman" itu), perintahnya harus ditaati. Ulama dari Kufah itu pun didera dengan cemeti, dengan leher dikalungi rantai. Tapi laki-laki itu tetap menolak. Juga ia tetap menolak ketika ibu kandungnya dikirim ke penjara buat membujuknya agar ia mau menerima tawaran Baginda. "Oh, ibu", jawabnya, "jika Saya menghendaki kemewahan hidup di dunia ini, tentu saja saya tidak dipukuli dan tidak dipenjarakan." Adakah hatinya sekeras batu? Agaknya tidak. Ia memang keras untuk dirinya sendiri, tapi bahkan ia tidak terkenal keras kepada para muridnya. Ia seorang guru yang bersedia dibantah murid bila perlu. Ia seorang ulama besar yang dalam berfatwa selalu berkata "Inilah pendapat dari Abu Hanifah. Dan ini yang sebaik-baiknya sepanjang pertimbangan kami. Barangsiapa yang datang dengan membawa keterangan yang lebih baik, dialah yang utama diikuti dengan benar." Abu Hanifah, yang lebih kita kenal sebagai Imam Hanafi, agaknya seorang peneguh tradisi kemerdekaan berfikir kemerdekaan yang tegak di hadapan kekuasaan luar, juga kemerdekaan yang tetap dijaga di hadapan sikap "serba-tahu" sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus