SEORANG lelaki yang bertubuh lurus pernah hidup di kota Kufah
di akhir abad ke-7. Namun orang keturunan Persia yang
orangtuanya pindah ke Wilayah Mesopotamia itu bukan sembarang
orang ia seorang penemu cara membikin batu ubin di masa itu,
tapi ia juga seorang ahli agama dan ulama besar.
Ia seorang yang praktis -- ia pernah hidup sebagai saudagar --
tapi ia juga seorang yang mengogahi kompromi meskipun kompromi
itu untuk hal-hal yang menyenangkan dirinya. Ia seorang yang
pendiam tapi ia juga bijak berargumentasi. Seorang kenalannya
pernah melukiskan hal itu. "Ia adalah seorang lelaki jika kamu
berkata tentang tiang ini supaya ia jadikan emas, niscaya ia
memberikan alasan-alasannya."
Adakah ia hanya seorang yang pintar?
Tidak. Lebih dari segalanya, barangkali ia seorang yang
berhati-hati benar menjaga garis apa yang hak dan apa yang
batil, dan dengan keras menterapkan itu bagi dirinya sendiri.
Syahdan, pada suatu hari datanglah beberapa ekor kambing dari
hasil rampasan di kota Kufah itu. Kambing-kambing itu pun
bercampur dengan piaraan penduduk setempat. Maka laki-laki itu
pun bertanya: "Berapa tahun, biasanya, umur kambing?" Ketika
dijawab, "tujuh tahun", maka selama tujuh tahun pula ia mencegah
dirinya memakan daging kambing.
Diriwayatkan pula, bagaimana dari pusat kcrajaan di Baghdad ia
dikirimi uang 10.000 dirham. Sebagai hadiah Sultan. Tapi
laki-laki itu tidak hendak menerimanya. Tatkala pesuruh Baginda
datang pagi-pagi membawa uang itu, laki-laki itu cuma menerima
tamunya di kamar dengan berselimut. Ketika sang utusan kerajaan
mengucapkan pesan Sultan dengan uang sebanyak itu, laki-laki itu
cuma berkata: "Letakkanlah uang itu dalam pundi-pundi, di sudut
rumah ini!" Ia tak hendak menyintuhnya.
Pundi-pundi itu pun tetap berada di sudut rumah itu -- sampai
laki-laki itu meninggal. Sebelum meninggal ia berpesan agar
anaknya mengembalikan uang itu kepada si utusan raja.
Puncak penolakan yang seperti itu kemudian terjadi ketika dari
Baghdad datang tawaran lain dari Sultan yang baru: ia hendak
diangkat menjadi Hakim Kerajaan. Seorang pegawai kerajaan pun
bertanya kepada laki-laki tua yang bersikeras ogah itu. "Akan
tetapkah guru menolak kehendak Baginda, padahal Baginda telah
bersumpah memberikan kedudukan kepada guru?"
Ketika laki-laki itu tetap menolak, ia dimasukkan ke dalam
penjara. Dan Sultan Abu Ja'far al-Manshur pun -- Kepala Negara
sebuah kerajaan Islam yang tersohor dalam sejarah -- memutuskan
untuk menyiksanya. Ia tidak mau tahu ketika laki-laki tua itu
menyatakan bahwa dirinya tidak patut diberikan kedudukan yang
ditawarkan. Bagi Raja (yang disebut Amirul Mu'minin atau
"pemimph ummat yang beriman" itu), perintahnya harus ditaati.
Ulama dari Kufah itu pun didera dengan cemeti, dengan leher
dikalungi rantai.
Tapi laki-laki itu tetap menolak.
Juga ia tetap menolak ketika ibu kandungnya dikirim ke penjara
buat membujuknya agar ia mau menerima tawaran Baginda. "Oh,
ibu", jawabnya, "jika Saya menghendaki kemewahan hidup di dunia
ini, tentu saja saya tidak dipukuli dan tidak dipenjarakan."
Adakah hatinya sekeras batu?
Agaknya tidak. Ia memang keras untuk dirinya sendiri, tapi
bahkan ia tidak terkenal keras kepada para muridnya. Ia seorang
guru yang bersedia dibantah murid bila perlu. Ia seorang ulama
besar yang dalam berfatwa selalu berkata "Inilah pendapat dari
Abu Hanifah. Dan ini yang sebaik-baiknya sepanjang pertimbangan
kami. Barangsiapa yang datang dengan membawa keterangan yang
lebih baik, dialah yang utama diikuti dengan benar."
Abu Hanifah, yang lebih kita kenal sebagai Imam Hanafi, agaknya
seorang peneguh tradisi kemerdekaan berfikir kemerdekaan yang
tegak di hadapan kekuasaan luar, juga kemerdekaan yang tetap
dijaga di hadapan sikap "serba-tahu" sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini