AKHIR pekan lalu, ada kesibukan di Surabaya. Banyak perusahaan
mengubah aktanya supaya bisa digolongkan sebagai pengusaha
lemah". Misalnya dengan cara memasukkan modal dan orang
'pribumi' ke dalamnya. Itu cerita seorang notaris di kota itu,
A. Kohar.
Bulan ini ada 5 buah akta yang minta dirubah seperti itu. "Ada
yang hanya menguasai komanditernya saja, ada yang langsung
memasukkan 'pribumi' dalam kepengurusannya. Bahkan ada seorang
yang baru saja mendirikan perusahaan, sudah minta dirubah
aktanya," ujar Kohar.
Di Bandung, menurut R. Encon Padmakoesoemah, Ketua Gabungan
Pemborong Nasional (Gapensi) Ja-Bar, sekarang mulai bermunculan
perusahaan-perusahaan baru dengan predikat "pengusaha lemah".
Atau merupakan cabang baru sebagai "perusahaan setempat" dari
perusahaan besar di Jakarta. Saya khawatir modal 'non-pribumi'
banyak berperan di belakangnya," kata Encon.
Kecenderungan seperti di Ja-Bar ternyata juga tumbuh di Sum-Ut.
seperti disinyalir oleh Gubernur Tambunan sendiri. "Sekarang
banyak tumbuh perusahaan yang menyebut diri "lemah". Ternyata
modal dan pemilik perusahaan itu dari mereka yang ekonorminya
kuat," katanya. Bahkan di Kabupaten Asahan, ada pula yang
mencoba main "sunglap". Menurut Syarkawi Sabar, anggota DPRD
Asahan dari Fraksi Karya, "ada yang mengangkat supirnya menjadi
pimplnan perusahaan." Maksudnya, dengan masuknya pak supir yang
'pribumi', maka perusahaan tersebut berubah statusnya menjadi
"perusahaan lemah".
Semua itu agaknya merupakan buntut dari turunnya Keputusan
Presiden No. 14/1979, yang kemudian terkenal dengan Keppres 14.
Keppres itu sendiri sebenarnya mengatur pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Berikut penjelasan dan lampiran,
Keppres itu tebalnya 157 halaman Sebagian besar mengatur dengan
amat ketat lalulintas administrasi pengeluaran APPN.
Tapi yang paling menonjol, dan kini hanyak dibicarakan orang,
ialah Pasal P ayat (1). Pasal ini menentukan agar 1) partemen
atau Lembaga pemerintah lebih mengutamakan pemborong "golongan
ekonomi lemah" -- dengan prioritas "pemborong setempat" dalam
pembelian atau pemborongan yang bernilai sampai dengan Rp 50
juta.
Yang jelas, Keppres itu tak satu kata pun menyebut 'pribumi' dan
'non-pribumi'. Yang disebut hanya 'golongan ekonomi lemah'.
Tapi siapa yang tergolong ekonomi lemah? Dalam Surat Edarannya
No. 02/ SE/MENPAN/79 tanggal 26 Mei 1979 Men PAN JB Sumarlin
mengutip petunjuk Presiden Soeharto dalam sidang Kabinet
Terbatas bidang Ekuin, 2 Mei 1979. Di situ antara lain disebut,
bahwa sekurang-kurangnya 50% dari modal perusahaan dimiliki oleh
pribumi. Ditentukan pula bahwa sebagian dari pengurus perusahaan
adalah pribumi.
Malangnya, Surat Edaran Sumarlin itulah justru yang menjadi
penyebab kerepotan di Surabaya, Bandung dan Sumatera Utara itu.
Tapi Jakarta, bilangan Kota misalnya -- pusat perdagangan yang
dikuasai 'non-pribumi' -- sampai akhir pekan lalu malah tampak
tenang-tenang saja. Umumnya mereka menganggap: wajar bila
Pemerintah menolong pengusaha ekonomi lemah.
Ada juga yang memikirkan jalan keluar. "Untuk tender Kp 25 juta
ke bawah tamatlah riwayat kita. Maka kalau mau terus jadi
rekanan Pemerintah, harus mempromosi staf 'pribumi' sebagai
direksi. Syukur kalau dia loyal, kalau tidak ya habislah uang
jutaan yang kita tanamkan," kata seorang pengusaha 'non-pribumi'
di kompleks perdagangan "Jaya Molek", Krekot. Tapi ia tidak
terburu-buru. "Kita tunggu saja bagaimana yang lain menempuh
jalan keluar. Sementara ini kita berhenti dulu jadi rekanan
Pemerintah mencari langganan baru atau melever kepada rekanan
yang 'pribumi' sebagai pihak ketiga," ucapnya.
Rekanan 'non-pri' lainnya di Jalan Hayam Wuruk melihat jalan
keluar cukup lebar di depannya. Yaitu lewat gabungan 'pri' &
'non-pri' Sebagai contoh dibentuk sebuah PT dengan saham 70%
('pri') dan 30% ('non-pri'). "Modal itu sendiri bersumber dari
kita," katanya.
Kemungkinan seperti itu ternyata sudah diduga oleh Sumarlin.
Dan ia tak menghendakinya. Dalam Surat Edarannya ia
memperingatkan agar dalam pembelian atau pemborongan ditelaah
apakah 'pribumi' yang duduk dalam kepengurusan benar-benar
efektif menjalankan kepengurusan. Sumarlin memperingatkan, harus
dihindarkan dipilihnya perusahaan yang sekedar menggunakan
'pribumi' sebagai "stroman" (boneka) belaka.
Usaha melindungi golongan ekonomi lemah (yang kemudian
dikesankan sebagai 'pribumi') -- terutama menghadapi potensi
perdagangan keturunan Cina -- sudah dimulai sejak Sarikat Dagang
Islam berdiri di Solo, 1905. Di jaman kemerdekaan, terkenal
"Gerakan Assaat" 1956.
Tiga tahun setelah "Gerakan Assaat", Pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 10/59 yang kemudian terkenal dengan
PP-10. Isinya: melarang pedagang kecil dan eceran Cina berjualan
di ibukota Daerah Swatantra tingkat I & II serta Karesidenan.
Akibatnya tak segera baik barang-barang impor dan produksi
industri tidak bisa disalurkan ke pedalaman. Sementara itu
keinginan orang-orang Cina untuk pulang ke 'negeri leluhur'
semakin kuat. Sampai Desember 1960, terrat 210.000 warganegara
RRC ingin kembali ke negaranya.
Sehubungan dengan itu, Menlu RRC Chen Yi mengundang Menlu
Subandrio ke Peking, Oktober 1959. Mereka menghasilkan komunike
bersama. Antara lain mereka bersepakat bahwa sumber-sumher
ekonomi warganegara Cina masih dapat memainkan peranan yang
berguna dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Tapi kerusuhan rasial di Cirebon, Bandung, Sukabumi dan
kota-kota lainnya, Mei 1963 masih menunjukkan parahnya perasaan
"anti Cina". Menyadari perlunya menangani masalah Cina, pada 7
Juni 1967 keluar Instruksi Presiden Soeharto No.37/U/IN/67 yang
menyebutkan perlunya menghimpun dana dan daya nasional yang
berada di tangan penduduk asing.
Untuk itu penduduk 'pribumi' akan ditingkatkan kesejahteraan
sosialnya, sementara modal dan perusahaan penduduk asing akan
ditinjau kembali. Hal itu bukan saja menyangkut masalah Cina,
melainkan juga ada kaitannya dengan akibat-akibat dari
nasionalisasi beberapa perusahaan besar bekas milik Belanda.
Misalnya yang dikenal dengan The Big Five.
TAPI jauh sebelum itu, 1964, Brigjen Soenarso Ketua G-V KOTI
(Komando Operasi Tertinggi) mengumpulkan beberapa tokoh, antara
lain Selo Soemardjan dan Roeslan Abdulgani, serta beberapa
sinolog UI untuk bertukar-pikiran mengenai masalah Cina. Rumusan
mereka, di tahun 1965 disampaikan kepada Presiden Soekarno.
"Tapi belum sempat dibicarakan sudah meletus G-30-S/PKI," kata
Soenarso, kini Mayjen, ketua Badan Koordinasi Masalah
Cina/BAKIN.
"Lalu pada waktu Pak Harto menjadi Kas KOTI, dan saya masih
ketua G-V, ternyata ingat kembali pada konsep yang diajukan
kepada Bung Karno. Lalu disempurnakan," tutur Soenarso, yang
juga bekas Aspri Presiden dan bekas Dubes di Singapura.
Penyempurnaan itu dirumuskan oleh Panitia Negara Urusan Cina
selama dua bulan, bersama para sinolog.
Dalam rumusan Soenarso dkk. ketika itu antara lain disebut bahwa
75% pabrik tekstil di Jakarta dan Jawa Barat "milik Cina", 70%
produksinya mengalir ke Pintu Kecil. Perdagangan ikan asin, 100%
"di tangan Cina", sedang aparat distribusi di kota-kota, 70% "di
tangan Cina", begitu pula usaha perkapalan. Bank-bank swasta
juga dikuasai sebanyak 70%. Dari 48 bank swasta di Jakarta waktu
itu, 36 "milik Cina". Sementaa itu 60% rekening giro di
bank-bank juga "milik Cina". Ini berarti 60% dari peredaran
uang. Kurs gelap valuta asing ditentukan di Pintu Kecil, sedang
saluran pengalihan modal lewat Singapura dan Hongkong.
Istilah "Cina", yang memang tak membedakan mana yang sudah --
WNI mana yang belum, kini sudah diganti dalam bahasa resmi
Keadaan ekonomi juga sudah berobah. Seperti dikatakan Menteri
Sumarlin, data tahun 1967 itu tak bisa berlaku lagi. Tekstil
misalnya, kata Sumarlin, kini hampir seluruhnya produksi dalam
negeri, sehingga harga tidak ditentukan Pintu Kccil. Juga
peranan bank pemerintah lebih menonjol.
Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, masih terasa
kemakmuran yang lebih di kalangan penduduk "nonpri" dibanding
dengan yang "pri". Orang dengan mudah mendapat kesan itu bila
memasuki rumah makan, hotel dan supermarket kelas atas.
Mungkin ini yang lebih menentukan dalam kurang baiknya tanggapan
kalangan "pri" terhadap "non-pri". Menurut sebuah survai yang
dilakukan oleh Universitas Hasanuddin tahun 1977/1978, ada 34%
responden yang berupa pejabat "pri" menyatakan pernah merasa
benci dan iri hati kepada golongan "non-pri".
Sangat peka terhadap perasaan itu kalangan pemerintah mulai
berusaha meredakan kemungkinan "ledakan". Walaupun di sana-sini
hubungan antara penguasa dan pengusaha banyak menghambat,
golongan ekonomi lemah yang diidentifikasikan secara gampangnya
sebagai "pribumi" -- diakui belum kebagian kue secara layak.
Di DKI, misalnya, semangat itu konon sudah sejak 1977
dilaksanakan, kemudian dikembangkan pada 197. "Ini tak lain
usaha DKI menyertakan dan mengembangkan pengusaha lemah," kata
Piek Mulyadi, Wakil Gubernur DKI bidang Pembangunan. Di sini
diatur pula pelayanan untuk kontrak. Misalnya untuk proyek
sampai Rp 35 juta diundang pemborong yang perbandingannya 20
lemah, 1 kuat, dengan pengertian 'pribumi' dan 'non-pribumi'.
Seorang pemborong "lemah" Jusuf Amir Achmad, dari PT Karya
Busana Graha, memang mengakui "pemborong di DKI sudah banyak
pribuminya".
Tapi bagaimana pun, penyebutan 'pri' dan 'non-pri' ternyata
menimbulkan reaksi juga May. Jen Soenarso, juga tidak setuju.
"Pengertian pribumi itu sendiri dari sudut mana? Kalau dari
sudut hukum, berarti kita masih mengakui adanya 3 golongan di
jaman kolonial: Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Dari sudut ras,
juga tidak tepat. Penduduk Cina di Kal-Bar itu 'pri' atau
'non-pri'? Mcreka sudah 600 tahun tinggal di sana," katanya.
Beberapa tokoh Bakom-PKB, konon telah menyampaikan saran-saran
bagi pelaksanaan Keppres-14. Pada prinsipnya mereka setuju
dengan Keppres itu, cuma keberatan terhadap penyebutan istilah
'pribumi'. Kwik Kian Gie, Ketua Pakom bidang perdagangan
melihat beberapa kelemahan Keppres. Antara lain untuk kesekian
kalinya golongan 'nonpri' diperlakukan secara berbeda karena
asal-usul keturunannya.
Tapi ia juga melihat segi positifnya. "Misalnya adanya unsur
pendorong ke arah pembauran, yang berarti memperbesar
solidaritas nasional dan mempertwbal rasa senasib-sepenanggungan
antara 'pribumi' dan 'non-pribumi', terutama di bidang ekonomi,"
kata Kwik lagi.
Kapan solidaritas itu akan tampak? Masih jauh sekali agaknya.
Tapi ikhtiar tak bisa dilalaikan, meskipun jalan ke arah
keadilan punya tikungan-tikungan yang berbahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini