BEBERAPA waktu yl diberitakan, bahwa kalangan pemerintah AS
mulai berpikir: apakah pada tempatnya lagi untuk memberikan
kredit lunak jangka panjang kepada Indonesia (yang dinamakan
bantuan P.L. 480) berupa beras dan lain-lain -- karena Indonesia
sebagai anggota OPEC berpenghasilan besar dari penjualan minyak
bumi.
Posisi Indonesia sebagai penerima bantuan untuk pembangunan dan
penerima pinjaman dengan bunga yang sangat lunak dengan jangka
panjang, memang mulai dipersoalkan di antara negara-negara
donor. Dalam kunjungan saya terakhir ke Eropa Barat, saya
berkesempatan berbincang-bincang dengan golongan yang biasa
memperhatikan keadaan Indonesia.
Umpamanya saja, kalangan pemerintah Nederland sedang
mempertimbangkan untuk menghentikan sama sekali sistim bantuan
yang mereka namakan ontwikkelingshulp. Bila tidak mendapat
persetujuan parlemennya dan dari orang-orang yang berpengaruh,
mereka mungkin akan mengadakan seleksi di antara negara-negara
yang akan terus menerima: Dan mungkin sekali Indonesia akan
termasuk negara yang dihentikan.
Dalam keadaan perekonomian yang serba semrawut, berhubung dengan
minyak bumi on-stabilitas dollar AS dan ancaman pengangguran
serta inflasi, negara-negara Eropa berpikir-pikir untuk kembali
kepada sistim kredit ekspor dan kredit mengikat. Artinya
kredit yang hanya dapat digunakan untuk membeli barang-barang
dari mereka. Karena di antara anggota-anggota IGGI Nederland
mengambil peranan yang penting, kebijaksanaan negara ini
berpengaruh.
Ada beberapa hal yang lucu yang diucapkan mereka ketika saya
berbincang-bincang. Ketika saya kemukakan bahwa sekian puluh
persen rakyat Indonesia masih hidup di bawah standar minimum, di
antara mereka menjawab: "Anda harus lebih adil membagi
kesejahteraan yang anda telah peroleh."
Waktu saya kemukakan bahwa GNP Indonesia masih rendah,
dijawabnya: "Banyak yang lebih rendah lagi di Afrika."
Pada suatu pertemuan dengan Federasi Persatuan Industri Menengah
Eropa (saya pernah banyak hubungan dengan Federasi
Pengusaha-pengusaha Eropa dalam hubungan mereka dengan Pasar
Bersama Eropa), ada yang berkata: "Yang dapat keuntungan dari
bantuan-bantuan kita kepada Indonesia adalah perusahaan
multinasional dan perusahaan besar kita (Eropa). Kita sebagai
pengusaha menengah dan rakyat pada umumnya, tidak pernah
mengecap keuntungan. Biarlah perusahaan-perusahaan besar itu
terus membantu Indonesia, dan jangan kami sebagai tax-payer
(pembayar pajak) umum."
Saya berpendapat, dalam menghadapi "keresahan" di sementara
golongan di negaranegara donor ini, Indonesia perlu bersiap-siap
supaya benar-benar membangun ke arah berdikari.
Pokok-pokok kebijaksanaan ke arah berdikari ini memang sudah
digariskan pemerintah Indonesia, di antaranya dalam
penjelasan-penjelasan dari APBN 1979/1980 dan yang dapat
tersimpul dari tindakan-tindakan pemerintah selanjutnya. Hanya
saya khawatirkan, pelaksanaannya akan lamban sekali jika tidak
diadakan cara-cara yang khusus untuk menggerakkan aparatur
pemerintahan dan lembaga-lembaga resmi lainnya -- ke arah
pembangunan dari bawah itu.
SUCHJAR TEDJASUKMANA
Jalan Senayan 53, Blok S,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini