Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antara pemerataan dan pembauran

Pri dan non pri muncul kembali kepermukaan, ketika turun keppres no 14/1979. beberapa tokoh bisnis merasa optimis ada juga yang sangsi. golongan ekonomi lemah yang patungan harus effektif bukan hanya boneka.(nas)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR pekan lalu, ada kesibukan di Surabaya. Banyak perusahaan mengubah aktanya supaya bisa digolongkan sebagai pengusaha lemah". Misalnya dengan cara memasukkan modal dan orang 'pribumi' ke dalamnya. Itu cerita seorang notaris di kota itu, A. Kohar. Bulan ini ada 5 buah akta yang minta dirubah seperti itu. "Ada yang hanya menguasai komanditernya saja, ada yang langsung memasukkan 'pribumi' dalam kepengurusannya. Bahkan ada seorang yang baru saja mendirikan perusahaan, sudah minta dirubah aktanya," ujar Kohar. Di Bandung, menurut R. Encon Padmakoesoemah, Ketua Gabungan Pemborong Nasional (Gapensi) Ja-Bar, sekarang mulai bermunculan perusahaan-perusahaan baru dengan predikat "pengusaha lemah". Atau merupakan cabang baru sebagai "perusahaan setempat" dari perusahaan besar di Jakarta. Saya khawatir modal 'non-pribumi' banyak berperan di belakangnya," kata Encon. Kecenderungan seperti di Ja-Bar ternyata juga tumbuh di Sum-Ut. seperti disinyalir oleh Gubernur Tambunan sendiri. "Sekarang banyak tumbuh perusahaan yang menyebut diri "lemah". Ternyata modal dan pemilik perusahaan itu dari mereka yang ekonorminya kuat," katanya. Bahkan di Kabupaten Asahan, ada pula yang mencoba main "sunglap". Menurut Syarkawi Sabar, anggota DPRD Asahan dari Fraksi Karya, "ada yang mengangkat supirnya menjadi pimplnan perusahaan." Maksudnya, dengan masuknya pak supir yang 'pribumi', maka perusahaan tersebut berubah statusnya menjadi "perusahaan lemah". Semua itu agaknya merupakan buntut dari turunnya Keputusan Presiden No. 14/1979, yang kemudian terkenal dengan Keppres 14. Keppres itu sendiri sebenarnya mengatur pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Berikut penjelasan dan lampiran, Keppres itu tebalnya 157 halaman Sebagian besar mengatur dengan amat ketat lalulintas administrasi pengeluaran APPN. Tapi yang paling menonjol, dan kini hanyak dibicarakan orang, ialah Pasal P ayat (1). Pasal ini menentukan agar 1) partemen atau Lembaga pemerintah lebih mengutamakan pemborong "golongan ekonomi lemah" -- dengan prioritas "pemborong setempat" dalam pembelian atau pemborongan yang bernilai sampai dengan Rp 50 juta. Yang jelas, Keppres itu tak satu kata pun menyebut 'pribumi' dan 'non-pribumi'. Yang disebut hanya 'golongan ekonomi lemah'. Tapi siapa yang tergolong ekonomi lemah? Dalam Surat Edarannya No. 02/ SE/MENPAN/79 tanggal 26 Mei 1979 Men PAN JB Sumarlin mengutip petunjuk Presiden Soeharto dalam sidang Kabinet Terbatas bidang Ekuin, 2 Mei 1979. Di situ antara lain disebut, bahwa sekurang-kurangnya 50% dari modal perusahaan dimiliki oleh pribumi. Ditentukan pula bahwa sebagian dari pengurus perusahaan adalah pribumi. Malangnya, Surat Edaran Sumarlin itulah justru yang menjadi penyebab kerepotan di Surabaya, Bandung dan Sumatera Utara itu. Tapi Jakarta, bilangan Kota misalnya -- pusat perdagangan yang dikuasai 'non-pribumi' -- sampai akhir pekan lalu malah tampak tenang-tenang saja. Umumnya mereka menganggap: wajar bila Pemerintah menolong pengusaha ekonomi lemah. Ada juga yang memikirkan jalan keluar. "Untuk tender Kp 25 juta ke bawah tamatlah riwayat kita. Maka kalau mau terus jadi rekanan Pemerintah, harus mempromosi staf 'pribumi' sebagai direksi. Syukur kalau dia loyal, kalau tidak ya habislah uang jutaan yang kita tanamkan," kata seorang pengusaha 'non-pribumi' di kompleks perdagangan "Jaya Molek", Krekot. Tapi ia tidak terburu-buru. "Kita tunggu saja bagaimana yang lain menempuh jalan keluar. Sementara ini kita berhenti dulu jadi rekanan Pemerintah mencari langganan baru atau melever kepada rekanan yang 'pribumi' sebagai pihak ketiga," ucapnya. Rekanan 'non-pri' lainnya di Jalan Hayam Wuruk melihat jalan keluar cukup lebar di depannya. Yaitu lewat gabungan 'pri' & 'non-pri' Sebagai contoh dibentuk sebuah PT dengan saham 70% ('pri') dan 30% ('non-pri'). "Modal itu sendiri bersumber dari kita," katanya. Kemungkinan seperti itu ternyata sudah diduga oleh Sumarlin. Dan ia tak menghendakinya. Dalam Surat Edarannya ia memperingatkan agar dalam pembelian atau pemborongan ditelaah apakah 'pribumi' yang duduk dalam kepengurusan benar-benar efektif menjalankan kepengurusan. Sumarlin memperingatkan, harus dihindarkan dipilihnya perusahaan yang sekedar menggunakan 'pribumi' sebagai "stroman" (boneka) belaka. Usaha melindungi golongan ekonomi lemah (yang kemudian dikesankan sebagai 'pribumi') -- terutama menghadapi potensi perdagangan keturunan Cina -- sudah dimulai sejak Sarikat Dagang Islam berdiri di Solo, 1905. Di jaman kemerdekaan, terkenal "Gerakan Assaat" 1956. Tiga tahun setelah "Gerakan Assaat", Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10/59 yang kemudian terkenal dengan PP-10. Isinya: melarang pedagang kecil dan eceran Cina berjualan di ibukota Daerah Swatantra tingkat I & II serta Karesidenan. Akibatnya tak segera baik barang-barang impor dan produksi industri tidak bisa disalurkan ke pedalaman. Sementara itu keinginan orang-orang Cina untuk pulang ke 'negeri leluhur' semakin kuat. Sampai Desember 1960, terrat 210.000 warganegara RRC ingin kembali ke negaranya. Sehubungan dengan itu, Menlu RRC Chen Yi mengundang Menlu Subandrio ke Peking, Oktober 1959. Mereka menghasilkan komunike bersama. Antara lain mereka bersepakat bahwa sumber-sumher ekonomi warganegara Cina masih dapat memainkan peranan yang berguna dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tapi kerusuhan rasial di Cirebon, Bandung, Sukabumi dan kota-kota lainnya, Mei 1963 masih menunjukkan parahnya perasaan "anti Cina". Menyadari perlunya menangani masalah Cina, pada 7 Juni 1967 keluar Instruksi Presiden Soeharto No.37/U/IN/67 yang menyebutkan perlunya menghimpun dana dan daya nasional yang berada di tangan penduduk asing. Untuk itu penduduk 'pribumi' akan ditingkatkan kesejahteraan sosialnya, sementara modal dan perusahaan penduduk asing akan ditinjau kembali. Hal itu bukan saja menyangkut masalah Cina, melainkan juga ada kaitannya dengan akibat-akibat dari nasionalisasi beberapa perusahaan besar bekas milik Belanda. Misalnya yang dikenal dengan The Big Five. TAPI jauh sebelum itu, 1964, Brigjen Soenarso Ketua G-V KOTI (Komando Operasi Tertinggi) mengumpulkan beberapa tokoh, antara lain Selo Soemardjan dan Roeslan Abdulgani, serta beberapa sinolog UI untuk bertukar-pikiran mengenai masalah Cina. Rumusan mereka, di tahun 1965 disampaikan kepada Presiden Soekarno. "Tapi belum sempat dibicarakan sudah meletus G-30-S/PKI," kata Soenarso, kini Mayjen, ketua Badan Koordinasi Masalah Cina/BAKIN. "Lalu pada waktu Pak Harto menjadi Kas KOTI, dan saya masih ketua G-V, ternyata ingat kembali pada konsep yang diajukan kepada Bung Karno. Lalu disempurnakan," tutur Soenarso, yang juga bekas Aspri Presiden dan bekas Dubes di Singapura. Penyempurnaan itu dirumuskan oleh Panitia Negara Urusan Cina selama dua bulan, bersama para sinolog. Dalam rumusan Soenarso dkk. ketika itu antara lain disebut bahwa 75% pabrik tekstil di Jakarta dan Jawa Barat "milik Cina", 70% produksinya mengalir ke Pintu Kecil. Perdagangan ikan asin, 100% "di tangan Cina", sedang aparat distribusi di kota-kota, 70% "di tangan Cina", begitu pula usaha perkapalan. Bank-bank swasta juga dikuasai sebanyak 70%. Dari 48 bank swasta di Jakarta waktu itu, 36 "milik Cina". Sementaa itu 60% rekening giro di bank-bank juga "milik Cina". Ini berarti 60% dari peredaran uang. Kurs gelap valuta asing ditentukan di Pintu Kecil, sedang saluran pengalihan modal lewat Singapura dan Hongkong. Istilah "Cina", yang memang tak membedakan mana yang sudah -- WNI mana yang belum, kini sudah diganti dalam bahasa resmi Keadaan ekonomi juga sudah berobah. Seperti dikatakan Menteri Sumarlin, data tahun 1967 itu tak bisa berlaku lagi. Tekstil misalnya, kata Sumarlin, kini hampir seluruhnya produksi dalam negeri, sehingga harga tidak ditentukan Pintu Kccil. Juga peranan bank pemerintah lebih menonjol. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, masih terasa kemakmuran yang lebih di kalangan penduduk "nonpri" dibanding dengan yang "pri". Orang dengan mudah mendapat kesan itu bila memasuki rumah makan, hotel dan supermarket kelas atas. Mungkin ini yang lebih menentukan dalam kurang baiknya tanggapan kalangan "pri" terhadap "non-pri". Menurut sebuah survai yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin tahun 1977/1978, ada 34% responden yang berupa pejabat "pri" menyatakan pernah merasa benci dan iri hati kepada golongan "non-pri". Sangat peka terhadap perasaan itu kalangan pemerintah mulai berusaha meredakan kemungkinan "ledakan". Walaupun di sana-sini hubungan antara penguasa dan pengusaha banyak menghambat, golongan ekonomi lemah yang diidentifikasikan secara gampangnya sebagai "pribumi" -- diakui belum kebagian kue secara layak. Di DKI, misalnya, semangat itu konon sudah sejak 1977 dilaksanakan, kemudian dikembangkan pada 197. "Ini tak lain usaha DKI menyertakan dan mengembangkan pengusaha lemah," kata Piek Mulyadi, Wakil Gubernur DKI bidang Pembangunan. Di sini diatur pula pelayanan untuk kontrak. Misalnya untuk proyek sampai Rp 35 juta diundang pemborong yang perbandingannya 20 lemah, 1 kuat, dengan pengertian 'pribumi' dan 'non-pribumi'. Seorang pemborong "lemah" Jusuf Amir Achmad, dari PT Karya Busana Graha, memang mengakui "pemborong di DKI sudah banyak pribuminya". Tapi bagaimana pun, penyebutan 'pri' dan 'non-pri' ternyata menimbulkan reaksi juga May. Jen Soenarso, juga tidak setuju. "Pengertian pribumi itu sendiri dari sudut mana? Kalau dari sudut hukum, berarti kita masih mengakui adanya 3 golongan di jaman kolonial: Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Dari sudut ras, juga tidak tepat. Penduduk Cina di Kal-Bar itu 'pri' atau 'non-pri'? Mcreka sudah 600 tahun tinggal di sana," katanya. Beberapa tokoh Bakom-PKB, konon telah menyampaikan saran-saran bagi pelaksanaan Keppres-14. Pada prinsipnya mereka setuju dengan Keppres itu, cuma keberatan terhadap penyebutan istilah 'pribumi'. Kwik Kian Gie, Ketua Pakom bidang perdagangan melihat beberapa kelemahan Keppres. Antara lain untuk kesekian kalinya golongan 'nonpri' diperlakukan secara berbeda karena asal-usul keturunannya. Tapi ia juga melihat segi positifnya. "Misalnya adanya unsur pendorong ke arah pembauran, yang berarti memperbesar solidaritas nasional dan mempertwbal rasa senasib-sepenanggungan antara 'pribumi' dan 'non-pribumi', terutama di bidang ekonomi," kata Kwik lagi. Kapan solidaritas itu akan tampak? Masih jauh sekali agaknya. Tapi ikhtiar tak bisa dilalaikan, meskipun jalan ke arah keadilan punya tikungan-tikungan yang berbahaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus