PERISTIWA ini terjadi di tahun 1944 di New York. Waktu itu Perang Dunia II belum selesai. Orang masih penuh curiga terhadap mata-mata musuh dan usaha sabotase. Rasa waswas, bahwa ada oknum-oknum Amerika yang menjadi mata-mata musuh, lalu melakukan sabotase, secara fisik, atau untuk membuat keresahan umum maupun ekonomi, membayang di mana-mana . Mendadak muncul berita: sebelas orang harus dirawat di rumah sakit karena kulit mereka, terutama di ujung-ujung jari, berubah menjadi biru. Dari gejala yang tampak dari luar, dokter menduga mereka telah terkena gas beracun. Paling tidak telah terkena gas karbon monoksida, seperti gas yang keluar dari knalpot mobil. Adakah "unsur kesengajaan" dalam peristiwa itu? Gas beracun dari musuh Amerika? Mengapa dalam waktu singkat mengenai sebelas orang? Apakah mereka bekerja di tempat yang sama? Ternyata, tidak. Mereka bekerja dan tinggal di tempat yang berlain-lainan. Meskipun dalam kawasan yang sama, yaitu kawasan miskin di pinggir Kota New York. Penyelidikan pun segera dilakukan oleh petugas kesehatan (ahli epidemiologi), polisi, dan FBI. Siapa tahu ada mata-mata musuh yang ingin mengacaukan New York dengan menggunakan gas beracun. Mumpung belum banyak korban, dan mumpung koran-koran belum menjadikannya berita ramai. Dalam suasana perang berita keracunan semacam itu tentu akan mudah menimbulkan keresahan dan kekacauan. Setelah diteliti, ternyata kesebelas manusia yang menjadi biru tersebut sebelumnya telah makan di sebuah kafe yang sama di daerah Manhattan. Maka, segera kafe itu pun digeledah dan semua petugas serta pemiliknya diinterogasi. Akhirnya, diketahui bahwa penyebabnya adalah "sodium nitrit". Suatu zat beracun yang tidak keras, tetapi jika cukup banyak dapat mematikan. Seorang pelayan kafe, yang mengira bahwa bubuk putih itu garam dapur, telah meng gunakannya untuk memasak bubur havermut, dan juga mengisikannya pada botolbotol garam yang ada di meja tamu. Segera kafe itu ditutup dan pemiliknya dibawa ke kantor polisi. Bagaimana kelanjutan cerita pemilik kafe itu, apakah ada kesengajaan atau tidak, dan apakah ia mata-mata musuh atau sekedar orang sinting, tidak dicatat dalam arsip kedokteran. Dalam arsip epidemiologi Amerika, kejadian itu dicatat sebagai "peristiwa sebelas manusia biru", The Case of Eleven Blue Men. Para dokter yang menangani kasus itu kemudian mempertanyakan, mengapa hanya sebelas orang itu yang keracunan. Padahal, selain mereka masih ada orang-orang lain yang juga sarapan di kafe itu di pagi hari yang sama. Selidik punya selidik, ternyata sebelas orang itu adalah pemabuk. Sodium nitrit, yang mudah mengikat hemoglobin dari sel darah merah manusia seperti halnya racun singkong atau gas karbon monoksida, akan lebih berbahaya bagi peminum alkohol. Karena keadaan gizi dan daya tahan peminum alkohol memang lebih lemah. Mungkin karena dalam situasi perang, petugas kesehatan Kota New York bersama dengan polisi segera bertindak cepat sebelum korban lain berjatuhan. Mereka tidak berdebat dulu tentang apakah penutupan restoran itu akan mengakibatkan pengangguran (yang dalam situasi perang juga dapat meresahkan). Juga mereka tidak berdebat dulu tentang siapa yang harus bertindak dan siapa yang harus memberi instruksi. Polisi daerah "Manhattan's skid row"(daerah kumuh Manhattan) pun tidak menunggu perintah dari Kepala Polisi Kota New York, tetapi langsung bertindak ketika dihubungi petugas kesehatan. Petugas epidemiologi dari dinas kesehatan setempat juga tidak berdiam diri karena menganggap bahwa menyelidiki, apalagi menutup kafe, bukan wewenang mereka. Semua merasa perlu bertindak cepat karena menjaga agar jangan ada korban lebih banyak lagi. Tetapi barangkali semua itu dapat berlangsung karena dalam situasi perang. Ketika semua orang merasa perlu mencegah jangan sampai timbul keresahan yang membahayakan stabilitas, meskipun yang terkena baru sebelas orang dari kalangan miskin. Empat puluh lima tahun kemudian, peristiwa semacam itu terjadi di sebuah negara berkembang yang jauh dari Amerika Serikat. Yang terkena bukan pemabuk atau peminum alkohol, tetapi rakyat kecil. Yang dimakan pun bukan bubur harvermut, tetapi biskuit. Kembali yang cepat menjadi korban adalah rakyat kecil, terutama di pedesaan atau dari kalangan yang berpendidikan rendah, karena keadaan gizi mereka menjadikan mereka rentan terhadap racun sodium nitrit. Mereka mungkin juga menderita cacingan yang membuat mereka anemi. Sel darah merah yang tinggal sedikit itu, jika tercemar sodium nitrit, tentu akan membuat mereka cepat kehabisan oksigen. Mungkin yang sudah memakan biskuit beracun itu ada juga dari kalangan menengah dan mampu. Tetapi karena kondisi gizi mereka lebih baik, daya tahannya pun lebih tinggi, sehingga belum sampai ada yang berakibat fatal. Dari peristiwa ini kita pun melihat bahwa masalah kesehatan, dan peningkatan mutu fisik manusia Indonesia, bukan hanya perlu dengan penyediaan puskesmas, dokter, atau pengobatan gratis saja. Tetapi juga perlu peningkatan pengetahuan dan gizi, yang bukan hanya menjadi urusan petugas kesehatan. Tetapi dalam hal keracunan biskuit yang mengandung sodium nitrit ini, penanganannya tentu tidak perlu menunggu fase pendidikan dan gizi itu selesai. Juga tidak perlu mequnggu perintah, atau menanyakan siapa yang lebih berwenang. Juga tidak perlu berdebat tentang pengangguran yang dapat terjadi. Atau menunggu pembentukan panitia khusus, yang memerlukan SK. Seperti kata Menteri Moerdiono, ini masalah menyelamatkan nyawa orang. Siapa pun yang bertindak untuk secara cepat mencegah korban selanjutnya pasti tidak akan dipersalahkan. Paling tidak oleh rakyat. Dan bukankah mereka bekerja untuk rakyat?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini