Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah DKI Jakarta sebaiknya membuat kajian yang komprehensif sebelum merumuskan ulang kebijakan transportasi di Ibu Kota, menyusul putusan Mahkamah Agung yang membatalkan pelarangan sepeda motor di jalan protokol. Mahkamah menilai larangan yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 dan Nomor 141 Tahun 2015 itu melanggar hak asasi manusia serta bertentangan dengan Undang-Undang Lalu Lintas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah DKI melarang sepeda motor melintas di jalan protokol mulai Desember 2014. Dari awalnya di Jalan M.H. Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, larangan diperluas sampai ke Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Alasannya adalah untuk mengurai kemacetan serta mempersiapkan pemberlakuan sistem jalan berbayar elektronik (ERP). Sepeda motor dilarang lantaran ERP hanya didesain bagi kendaraan roda empat ke atas. Sepeda motor juga dianggap sering menimbulkan keruwetan dan menyerobot jalur pejalan kaki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari sisi pengaturan lalu lintas, kebijakan itu dianggap berhasil. Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, sejak larangan sepeda motor diberlakukan, lalu lintas di jalan protokol lebih teratur dan pengguna kendaraan umum, terutama Transjakarta, bertambah. Jumlah kecelakaan pun berkurang. Penelitian lain menyimpulkan kebijakan itu mengurangi polusi di Ibu Kota. Saat ini ada sekitar 15 juta sepeda motor, sekitar 75 persen dari jumlah total kendaraan bermotor di Jakarta.
Itu sebabnya, apa pun kebijakan pemerintah DKI nanti semestinya merupakan pilihan rasional berdasarkan kajian yang komprehensif untuk mengatasi persoalan transportasi Ibu Kota. Pemerintah DKI tidak perlu latah mencampur-adukkan hak asasi manusia dengan kebijakan teknis lalu lintas, sebagaimana yang diputuskan Mahkamah Agung, kecuali memang ada diskriminasi secara sengaja.
Kalau hasil kaji ulang tetap menyarankan pembatasan, DKI tidak perlu ragu melakukannya lagi. Lagi pula, Pasal 133 ayat 2 huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas membolehkan pembatasan lalu lintas kendaraan perorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu. Toh, sudah ada banyak larangan serupa, seperti pembatasan kendaraan roda tiga dan truk gandeng, juga larangan sepeda motor masuk jalan tol.
Tentu akan lebih baik jika kebijakan baru kelak mengakomodasi semua kepentingan. Gubernur DKI Anies Baswedan saat ini tengah mengkaji pembuatan jalur khusus sepeda motor di Jalan Sudirman. Kalau hal itu dapat dilakukan tanpa memperparah keruwetan lalu lintas di jalan protokol, kenapa tidak? Tentu sembari memastikan transportasi umum dan sarana penunjangnya terus diperbaiki. Juga perlu dipikirkan langkah untuk memperlambat pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor melalui penerapan pajak progresif untuk kendaraan kedua dan seterusnya, pembatasan usia kendaraan, atau yang lainnya.
Bagaimanapun, kemacetan, polusi, dan kecelakaan merupakan problem utama transportasi di Ibu Kota. Hindari kebijakan populis yang hanya memancing simpati dan dukungan luas tanpa kemampuan mengatasi masalah.