Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, pada 11 April lalu, Musim Semi Sudan berhasil memakzulkan Presiden Umar al-Basyir melalui kudeta militer seusai demonstrasi rakyat selama hampir lima bulan. Peristiwa ini terjadi di tengah Musim Semi Aljazair yang sukses menjatuhkan Presiden Abdelaziz Bouteflika sembilan hari sebelumnya. Tampaknya rakyat Sudan dan Aljazair saling mempengaruhi dalam gerakan sosial mereka. Demonstrasi di Aljazair terpengaruh demonstrasi di Sudan, yang terjadi dua bulan lebih dulu. Gerakan menuntut perubahan total atas rezim di Sudan terinspirasi oleh tuntutan yang sama dari rakyat Aljazair, yang lebih dulu menjatuhkan pemimpinnya. Sebagaimana di Aljazair, demonstran Sudan juga menolak pemerintahan transisi yang dipimpin rezim lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rakyat dari berbagai strata sosial Sudan-negara Arab miskin di timur laut Afrika-masih terus berdemonstrasi di berbagai kota, termasuk melakukan aksi duduk di depan kompleks militer di Ibu Kota Khartoum. Mereka menuntut dewan transisi militer yang dibentuk seusai kejatuhan rezim Al-Basyir, yang akan memerintah selama dua tahun sebelum pemerintahan diserahkan kepada warga sipil, dibubarkan untuk segera menyerahkan kepemimpinan.
Sebagaimana musim semi di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah pada 2011, unjuk rasa ini juga dipicu kesulitan ekonomi yang membelit rakyat akibat kenaikan harga roti dan gas rumah tangga, yang kemudian berubah menjadi isu politik. Slogan "kami ingin rezim dimakzulkan" yang diteriakkan rakyat mengingatkan kita pada Musim Semi Arab yang melanda negara-negara Arab itu.
Sudan bertetangga dengan Mesir di utara dan Libya di barat laut yang dilanda Musim Semi Arab, yang menjatuhkan Presiden Husni Mubarak dan Muammar Khaddafi. Tak mengherankan, Sudan pun sebenarnya terpapar revolusi. Hanya, hal itu baru terjadi dua tahun kemudian. Pada 2013, ribuan orang turun ke jalan untuk memprotes peningkatan standar hidup dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemerintah bertindak keras dengan menangkap puluhan orang. Tak kurang dari 200 orang terbunuh. Represi ini untuk sementara berhasil membungkam massa yang menuntut Al-Basyir-ketika itu telah berkuasa selama 24 tahun-turun. Dibanding pada 2013, gelombang demonstrasi massa kali ini jauh lebih besar dan lebih kuat. Keberlanjutan demonstrasi di Aljazair serta dukungan Amerika Serikat dan Uni Eropa ikut menyemangati demonstrasi di Sudan.
Sebagaimana negara-negara yang dilanda Musim Semi Arab, situasi sosial-ekonomi di Sudan juga memprihatinkan. Kendati Amerika telah mencabut sanksi ekonomi dan politik terhadap Sudan atas tuduhan mendukung terorisme pada 2017-yang diharapkan akan menarik investor asing-kondisi ekonomi Sudan tidak membaik. Persoalannya dimulai pada 2011 ketika negara itu terbelah dua: Sudan dan Sudan Selatan. Dalam pembagian ladang minyak dengan Sudan Selatan, Sudan hanya memperoleh seperempatnya. Padahal sebelumnya Sudan mengandalkan penerimaan luar negeri dari hasil ekspor minyak. Akibatnya, 80 persen pendapatan luar negeri Sudan hanya didapat dari ekspor hasil pertanian. Sayangnya, harga komoditas ini di pasar internasional anjlok. Sementara itu, korupsi merajalela di pemerintahan. Menurut Indeks Persepsi Korupsi, Sudan merupakan salah satu negara paling korup di dunia.
Hampir seperlima populasi Sudan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, yang berarti pendapatannya kurang dari US$ 1,25 per hari. Di lain pihak, reformasi ekonomi malah memicu inflasi hingga 70 persen. Tuduhan pemerintah bahwa para pengkhianat, partai-partai sayap kiri, dan Israel berada di balik demonstrasi justru membuat rakyat semakin marah karena mengabaikan masalah sesungguhnya. Demonstrasi juga berlanjut karena rakyat tak lagi mempercayai rezim militer. Pada 2010, Sudan melaksanakan pemilihan presiden, pemilihan umum demokratis pertama dalam 24 tahun terakhir dengan banyak partai politik berpartisipasi. Sayang, menjelang pemungutan suara, aktivis pro-demokrasi Sudan mengeluh mereka menghadapi intimidasi dari pemerintah. International Crisis Group melaporkan bahwa partai berkuasa berlaku curang dalam pemilihan.
Penanganan keras terhadap demonstran menyebabkan lebih dari 60 orang tewas. Namun cara itu justru kian mengobarkan pemberontakan, yang mengancam Sudan menjadi negara gagal seperti Libya, Yaman, dan Suriah. Dalam konteks inilah militer melakukan kudeta terhadap al-Basyir.
Sudan punya tradisi kudeta militer sejak merdeka pada 1956. Al-Basyir sendiri naik ke puncak kekuasaan melalui kudeta militer pada 1989. Untuk meredakan kemarahan rakyat, dewan transisi militer melakukan beberapa konsesi politik, termasuk membuka dialog dengan perwakilan oposisi dari berbagai elemen. Mungkin sikap komandan Mohammad "Hametti" Hamdan dapat menyelesaikan krisis Sudan. Dengan membangkang terhadap sikap dewan transisi militer, Hametti menuntut masa transisi menuju negara demokrasi sipil hanya berlaku 3-6 bulan.