Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Keluar dari Mantra Elektabilitas

Mantra elektabilitas mengemuka dalam survei calon presiden dalam Pemilihan Umum 2024. Mengabaikan suara orang banyak.

2 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Obsesi utama simulasi nama-nama kandidat presiden adalah merumuskan nilai elektabilitas.

  • Pemilihan umum menyempit ke arah personalisasi kandidat seraya mengabaikan suara orang banyak.

  • Kita harus keluar dari mantra elektabilitas untuk mengembalikan esensi pemilihan umum.

Rendy Pahrun Wadipalapa
Mahasiswa Doktor Ilmu Politik University of Leeds, Inggris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada semacam surealisme waktu dalam konteks politik kita hari ini. Tak peduli berapa lama lagi Pemilihan Umum 2024 digelar, waktu selalu dilihat dengan tergesa-gesa, serba segera, dan tak pernah lama. Tahun 2024 di kepala banyak orang menjadi demikian berbeda di kepala elite politik. Dua tahun ke depan itu merupakan waktu yang demikian sebentar, akan segera habis, dan, karena itu, perlu dipersiapkan selekas serta secepat mungkin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh sebab itu, ramainya simulasi survei nama-nama kandidat presiden untuk Pemilu 2024 yang dirilis banyak lembaga riset tak dapat dipandang sebagai demonstrasi ilmu politik belaka. Obsesi utamanya adalah merumuskan nilai elektabilitas (calon presiden) atau seberapa mungkin seseorang (atau juga sesuatu, seperti partai politik) dipilih dalam pemilu. Rutinitas obsesif untuk menemukan angka pasti elektabilitas ini telah menggambarkan tujuan strategis dari pemasaran politik kontemporer: dari sana tergambar peta politik diri dan pesaingnya sekaligus strategi apa yang dipilih untuk menggarap potensi dan menjegal rival. Selain itu, pengerekan angka elektabilitas membawa implikasi positif yang demikian besar, misalnya dalam rupa restu pemimpin partai, kemudahan dalam negosiasi politik, dukungan dari aliansi, klaim popularitas, dan seterusnya.

Dengan kesadaran semacam ini, individu menjadi pusatnya. Pemilu ditafsir tak lebih sebagai lintasan pacu kuda yang dapat dipelajari sebaik-baiknya, sebuah pertunjukan rutin individualistik untuk mencari kesimpulan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kerangka pikir ini menjalar dalam diskursus politik kita. Kita tiba-tiba terdampar dalam tren ketika semua perhatian politik dipaksa ditujukan kepada lingkaran kecil individu tertentu. Kita lupa pada pertanyaan eksistensial: dalam sebuah lintasan pacu individu, apakah tugas kita semua selain bersorak sorai dan bertepuk tangan?

Ilusi Sains

Setelah Orde Baru kolaps, politik telah menjelma wilayah yang mengalami proses saintifikasi rumit. Tomsa (2020) mencatat euforia tinggi kemunculan lembaga-lembaga jajak pendapat (polling) dan survei politik dalam negeri sejak awal pemilu demokratis digelar. Tiba-tiba di sana dibutuhkan suatu standar kepakaran dalam menafsirkan kerumitan ilmiah itu sebagai akibat langsung hilangnya pegangan setelah krisis ekonomi dan politik yang hebat.

Dengan cepat, proses saintifikasi ini menjelma dalam industrialisasi jasa yang melayani elite politik dalam menggali nilai elektabilitasnya dan menyimpulkan berapa peluangnya. Keberatan utama dari kerangka pikir ini adalah lenyapnya substansi ke dalam ilusi sains elektabilitas. Nama-nama kandidat, jargon, keterkenalan, dan potensinya untuk dipilih telah membanjiri diskusi publik serta memenggal esensi utama transisi kekuasaan sebagai proses transformasi bersama, bukan sekadar individu pemimpin dan kepemimpinan. Elektabilitas telah mengganjar kandidat individu dengan keistimewaan yang seolah-olah alamiah bahwa ia menjadi satu-satunya jangkar penting tempat segala proses transisional tertuju. Fakta bahwa di kemudian hari pemimpin terpilih mengabaikan segala janji program yang pernah dihambur-hamburkan dalam kampanye pencalonannya adalah tanda utama bagaimana ia meletakkan dirinya dalam puncak privilese politik.

Sebab-sebab dari komplikasi ini dapat dilacak pada tiga faktor. Pertama, sesat pikir yang menitikberatkan elemen teknis pemilu (kecukupan kotak suara, jalur logistik, regulasi penghitungan suara, penurunan angka golput, dan seterusnya) sebagai ukuran kesuksesan proses transisi kekuasaan. Kesuksesan pemilu jatuh pada bagaimana hal-hal teknis ini dikelola dan dipertanggungjawabkan, bukan pada bagaimana kehendak publik berhasil diartikulasikan serta diwakili oleh figur terpilih.

Kedua, asumsi bahwa pemilu selalu menghasilkan kebaruan dari aspek figur pemimpin ataupun program. Imajinasi ini mengendap dalam bentuk antusiasme dan fanatisme seolah-olah masing-masing kandidat, baik wajah baru maupun lama, sama-sama membawa masa depan negeri yang sama sekali baru dan menjanjikan. Bahkan, dalam hal kandidat inkumben, program yang diperbarui selalu menjadi harapan sebagai elemen segar yang membedakannya dengan kondisi status quo. Seolah-olah secara absolut memang akan senantiasa hadir sesuatu yang baru. Kenaifan berpikir ini lagi-lagi memperkuat privilese individu kandidat di atas elemen yang lain.

Ketiga, menguatnya personalisasi mesin politik. Karisma partai dan aliansi politik memudar dan bergeser ke sisi personal kandidat. Riset para sarjana menunjukkan bahwa pemilu demokratis telah membuat citra partai semakin samar dan pada saat yang sama menonjolkan satu-dua nama yang dianggap sebagai pantulan dari partai, entah pendiri, ketua, ataupun keluarga.

Tiga faktor tersebut tidak bermakna apa-apa kecuali mengukuhkan elemen individu kandidat sebagai fondasi politik hari ini, tempat elektabilitas menjadi rumus dan tiket teramat penting untuk diterima, dicalonkan, dan didukung oleh partai. Keluar dari mantra elektabilitas adalah dorongan yang tak bisa dihindari jika kita ingin mengembalikan esensi pemilu sebagai kerja transformatif yang membuat kita berproses bersama.

Pemilu bukan melulu personalisasi kandidat serta masyarakat bukanlah sekadar deret angka yang diukur dan dipasarkan. Pemilih seharusnya tidak pernah dipandang sebagai awam belaka. Ada mimpi, harapan, dan kritik yang terendap di tengah-tengahnya yang sudah semestinya ditangkap sebaik-baiknya oleh kandidat dan dikelola dalam ikatan kontraktual dan kerja kolaboratif pasca-pemilu. Tugas konsultan riset dan pemasaran politik, dalam posisi semacam ini, bukanlah melayani elite dalam mengerek angka elektabilitasnya sambil menutup mata pada realitas faktual di aras pemilih. Obsesi pragmatis sebuah riset yang masuk dalam perangkap elitisme adalah kesia-siaan ilmiah. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus