Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Teroris Generasi Gaul

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAKING kesalnya, seorang pemburu teroris pernah berujar, operasi memberantas terorisme bisa diibaratkan mencukur jenggot. Meski tampaknya telah dibabat habis-demikian ujar polisi dari Detasemen Antiteror 88 itu-pasti segera akan tumbuh dan tumbuh lagi. Informasi yang ia bisikkan sangat mencekam: jumlah mereka yang belum dicokok masih seabrek-abrek. Jaringannya pun tersebar di seantero pelosok negeri ini.

Gerakan Pepi Fernando dan kawan-kawan rasanya klop dengan tamsil tadi. Para tersangka teroris, yang berencana meledakkan pipa gas di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, itu merupakan wajah-wajah baru. Teroris generasi gaul ini meliputi anak-anak muda, yang secara fisik mungkin tak bersentuhan dengan Azahari dan Noor Din M. Top. Mereka tak pernah mengikuti latihan paramiliter di Afganistan atau Filipina Selatan, mungkin juga tak ada kaitan dengan anak didik Azahari. Ilmu merakit bom mereka unduh dari Internet. Eksekusi pun mereka lakukan secara mandiri.

Ancaman terorisme-termasuk generasi barunya-ini makin runyam jika ditambah realitas pahit di depan mata. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mencatat, sedikitnya dua ratus tersangka terorisme telah dibebaskan karena aparat tak punya cukup bukti untuk menahan mereka. Ada beberapa di antaranya yang terbukti terlibat aksi teror dan kini bebas setelah menjalani hukuman. Jangan lupa ancaman lain yang tak kalah gawat: lebih dari seribu mahasiswa sedang berkuliah di negara rawan terorisme: Yaman dan Pakistan. Mereka bisa saja membawa virus radikalisme ketika kembali ke Tanah Air.

Gejala baru radikalisme dan intoleransi juga merasuk sampai ke sekolah-sekolah. Penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian terhadap 590 guru agama Islam serta hampir seribu siswa SMP dan SMA di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, yang baru saja diumumkan, ternyata sungguh mengerikan. Sebagian besar guru dan siswa menyatakan mengenal serta menyetujui tindakan organisasi dan tokoh radikal. Sekitar 65 persen responden-guru dan siswa-menganggap persoalan bangsa akan teratasi jika syariat Islam diterapkan di Indonesia! Kementerian Pendidikan Nasional harus bersungguh-sungguh memantau dan menindak guru-guru agama pengumbar permusuhan ini.

Pengaruh radikal juga meluas sampai ke dunia buku. Kitab terjemahan bahasa Arab yang menggelorakan semangat jihad yang salah kaprah bebas beredar di mana-mana. Sangat gampang pula mengunduh sederet fatwa halal dari ulama kenamaan dunia terhadap bom bunuh diri. Untung saja Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia sudah menerbitkan fatwa haram bagi terorisme dan bom bunuh diri pada 2004. Celakanya, fatwa ini masih dibubuhi catatan yang membuka peluang disalahgunakan: boleh berjihad asalkan dilakukan di negara dalam keadaan perang-alias dar al-harb.

Glorifikasi jihad disokong oleh khotbah Jumat di masjid-masjid yang masih mengumbar kebencian terhadap pemeluk agama lain. Gejala ini marak hingga di masjid perkantoran di kawasan elite Jakarta, dan mungkin juga di masjid dekat rumah Anda. Lihat saja hasil persepsi takmir masjid di Jakarta terhadap formalisasi syariat Islam yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama pada 2009. Bagi sekitar 51,5 persen responden, hukuman mati untuk orang murtad masih relevan diterapkan di Indonesia. Sedikitnya 98,1 persen setuju jika peraturan daerah tentang syariat harus didukung umat Islam.

Payung hukum bisa dijadikan pilihan untuk mencegah terjadinya peristiwa mengerikan ini. Rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu disokong demi mengoptimalkan pemberantasan kejahatan yang kian meresahkan masyarakat itu. Revisi ini, misalnya, bisa saja dilakukan lantaran ada beberapa hal yang masih belum tercantum dalam undang-undang itu, termasuk upaya pencegahannya. Peraturan tersebut juga bisa diperluas dengan menjerat para penyandang dana terorisme.

Namun jangan tebersit sedetik pun membuat undang-undang keamanan dalam negeri semacam Internal Security Act, sebagaimana diberlakukan di Malaysia dan Singapura. Dengan payung hukum ini, kedua negara tetangga itu bisa menahan seseorang selama dua tahun tanpa proses hukum dengan alasan membahayakan keamanan negara. Kita tak boleh tergoda menerapkan aturan yang mengesampingkan aspek hak asasi manusia itu.

Di luar aspek hukum, akar-akar terorisme haruslah menjadi perhatian semua pihak. Tak cukup hanya mengandalkan pemerintah yang kian sibuk dengan retorika dari satu panggung ke panggung lain. Perbaikan sektor pendidikan, keterbelakangan, dan ketimpangan ekonomi, yang menimbulkan disparitas yang makin tajam antara si kaya dan si miskin, harus menjadi prioritas penanganan. Hanya dengan cara itu, "jenggot" terorisme yang dicukur tak akan tumbuh kembali. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus