Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN umum yang tinggal sejengkal merupakan ujian berat bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Bertugas mengawal pemakaian frekuensi publik untuk siaran televisi dan radio—bagi sebesar-besarnya kepentingan publik—tak tampak gebrakan Komisi menertibkan gencarnya iklan para calon presiden, terutama yang sekaligus pemilik stasiun televisi.
Investigasi majalah ini menemukan sejumlah kejanggalan dalam pemilihan sembilan Komisioner KPI. Dimulai April lalu, 120 pelamar ditapis hingga tersisa 20 nama yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Di sinilah kita mulai terheran-heran. Metode penyaringan Tim Seleksi telah menyingkirkan sejumlah calon terbaik. Sebagai gantinya, Tim menyorongkan sejumlah nama dengan nilai pas-pasan. Ada calon dengan hasil uji kompetensi amat buruk tetap lolos karena memegang rekomendasi satu lembaga negara. Dua Komisioner KPI yang kini aktif sebetulnya juga tak lulus psikotes.
Betul bahwa seleksi final ada di DPR. Justru di sini pentingnya Tim Seleksi memastikan hanya calon terbaik yang dikirim ke parlemen. Tidak ada cara memilih komisioner berkualitas selain lewat seleksi transparan, akuntabel, serta berlandaskan kemampuan, integritas, dan keberanian bersikap independen—sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menangkal tekanan pemilik kepentingan.
Cara seleksi sebaliknya hanya akan melahirkan Komisi yang mudah disetir dan digertak. Pada tahun politik 2014 ini, Komisi yang loyo akan punya implikasi panjang. Mampu-tidaknya lembaga ini mengawal kepentingan publik di bidang penyiaran akan menjadi salah satu faktor kunci penentu hasil pemilihan umum.
Lebih dari dua pertiga pemilih potensial Indonesia berada di wilayah pedesaan, bukan di kota-kota besar tempat para pemilih sudah matang mengatasi bombardemen iklan pencitraan para politikus. Pemilih di wilayah Jakarta, misalnya, akan enteng saja mencoret calon presiden, menteri, gubernur, atau anggota legislatif yang hanya mahir membual di layar kaca sembari giat melakukan korupsi dan merugikan rakyat.
Komisi Penyiaran bukannya tidak bekerja. Adalah upaya mereka mempertanyakan acara semacam Mewujudkan Mimpi Indonesia di RCTI pada 21 Desember lalu. Siaran langsung perayaan ulang tahun Partai Hati Nurani Rakyat yang gegap-gempita itu entah apa pula hubungannya dengan kepentingan rakyat. Yang kita tahu adalah Hary Tanoesoedibjo merupakan Ketua Dewan Pertimbangan Hanura dan calon wakil presiden partai tersebut.
Hal serupa nyata terlihat dalam acara lomba avatar ARB di TV One, dengan pemilik Aburizal Bakrie, calon presiden dari Partai Golkar sekaligus pemilik TV One dan ANTV. Memanfaatkan televisi untuk mendongkrak elektabilitas memang strategi yang memberi hasil. Popularitas Hanura, NasDem, dan Golkar, misalnya, terus merambat naik.
Hasil satu survei terakhir bahkan menunjukkan dukungan terhadap partai baru semacam Hanura dan NasDem sudah di atas enam persen—membalap angka yang diraih sejumlah partai lama. Elektabilitas Golkar yang tak pernah turun dari kisaran 15-20 persen tentu ditopang gencarnya iklan wajah dan jargon-jargon ketua umumnya di layar kaca.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, yang dikenal sebagai Undang-Undang Penyiaran, mengatur media siaran seperti televisi dan radio haruslah sebesar-besarnya untuk kepentingan umum—bukan kepentingan golongan dan pribadi. Yang jadi soal, undang-undang ini tak mengatur ihwal iklan para politikus di stasiun televisi milik mereka.
Di puncak Komisilah kita meletakkan upaya mengerem pemanfaatan frekuensi publik buat kampanye. Komisi tak perlu mati langkah dan bisa merujuk pada Pasal 36 butir 4 Undang-Undang Penyiaran, yang mengatur kewajiban menjaga netralitas isi siaran terhadap semua golongan. Maka para komisioner semestinya bisa menghentikan kuis dan lomba avatar yang tak jelas kaitannya dengan kepentingan umum itu.
Mengurus frekuensi publik memang tak cukup berbekal kemahiran teknis. Nyali dan independensi amat diperlukan. Nilai-nilai ini tidak datang dari ruang kosong. Proses seleksi berbanding lurus dengan kualitas Komisi. Walhasil, majalah ini tidak hanya menganjurkan evaluasi serius terhadap kinerja KPI yang sudah aktif bertugas.
Harus ada keberanian melangkah lebih jauh: melakukan seleksi ulang seraya memastikan tak ada intervensi dari siapa pun, terutama para penguasa industri televisi atau partai yang hendak memanfaatkan media ini. Di tengah gencarnya kampanye politik yang semakin tak malu-malu menunggangi frekuensi publik, kita merindukan satu Komisi yang bergigi: berani menghentikan siaran televisi yang mencederai kepentingan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo