Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMENTARA pengusutan dugaan suap kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie mesti berjalan, saatnya untuk mengambil tindakan yang lebih maju dalam usaha mengatasi perilaku korup di tubuh partai politik. Mencari uang dengan cara-cara tercela melalui partai adalah praktek yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Tanpa langkah penanggulangan yang luar biasa, korupsi partai politik bakal terus berlangsung, bahkan merajalela.
Adalah Mindo Rosalina Manulang yang ketika diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan adanya suap Rp 2 miliar kepada Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Marzuki Alie. Mindo Rosa adalah bekas karyawan Grup Permai, unit usaha milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Bebas dari bui, Rosa bolak-balik diperiksa KPK sebagai saksi pelbagai kasus.
Menurut Rosa, suap diberikan Grup Permai pada 2010 kepada sejumlah orang, termasuk Marzuki, sebagai pelicin agar anggaran proyek Hambalang, Wisma Atlet, dan pembangunan gedung baru DPR disetujui badan legislatif. Proyek yang terakhir memang batal direalisasi karena tekanan publik, tapi dua lainnya disetujui dan jadi bancakan. Kasus Hambalang dan Wisma Atlet belakangan berubah menjadi skandal memalukan yang telah memenjarakan sejumlah politikus.
Apa yang dilakukan Marzuki, Nazaruddin, dan bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum memberi indikasi kuat bahwa korupsi dilakukan bukan sekadar untuk kepentingan pribadi. Nazaruddin berulang kali menyatakan aksi suap dilakukan dalam kapasitasnya sebagai kader partai. Anas, yang kini menunggu masa sidang, kuat diduga mengalirkan uang untuk mendapatkan kursi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat. Dengan kata lain, partai politik diduga tak cuma terseret korupsi, tapi merancang korupsi sebagai bagian dari mekanisme organisasi.
Hal yang sama terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera. Korupsi bersama-sama di partai itu patut dicurigai disiapkan untuk mempertebal kas partai. Ketika kasus suap impor daging sapi sedang ramai dibeberkan, seorang pengusaha yang menjadi tersangka mengungkap adanya rapat yang membahas upaya mendapatkan dana Rp 2 triliun untuk Pemilihan Umum 2014. Cerita yang kurang-lebih sama terjadi pada pembangunan fasilitas Pekan Olahraga Nasional di Riau yang menyeret sejumlah politikus Partai Golkar sebagai tersangka.
KPK semestinya tak surut. Dalam sejumlah kasus, selama ini, korupsi politikus baru berakhir dengan pemenjaraan sang pelaku. Indikasi aliran uang kepada partai tak ditelusuri. Memang, bukan wewenang KPK menghukum partai politik. Tapi bukti yang dikumpulkan Komisi bisa dijadikan dasar untuk mengambil tindakan.
Sesuai dengan undang-undang, Mahkamah Konstitusi berwenang membubarkan partai yang korup. Jika itu terjadi, tak ada yang patut disesali. Partai merupakan perangkat demokrasi yang mesti dijaga marwahnya. Mengeliminasi partai politik yang korup ibarat menyingkirkan gerbong terbakar dari rangkaian kereta yang tengah melaju. Pemadaman api tentu mula-mula harus dilakukan. Tapi, jika kerusakan akibat kobaran itu tak bisa ditoleransi, pilihan tegas harus diambil. Demokrasi harus dijaga. Laju rangkaian yang tak tersentuh api tidak boleh tersendat oleh gerbong yang rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo