Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muslim ini minum segelas anggur, dengan nyaman. Melihat itu, filosof Eropa itu bertanya: “Anda anggap diri Anda muslim?” “Ya,” jawab yang ditanya. “Tapi kok minum anggur?” Si muslim tersenyum manis. “Keluarga saya semua muslim sejak seribu tahun lalu,” katanya, “dan selama itu kami minum anggur.” Sang filosof Eropa tampak bingung. “Saya tak paham,” katanya. “Ya, saya tahu,” kata si muslim. “Tapi saya paham.”
Anekdot ini saya ambil dari buku What is Islam?: The Importance of Being Islamic, sebuah buku yang kaya dalam riset dan tajam dalam telaah, dan ditulis dengan memikat oleh Shahab Ahmed.
Shahab Ahmed, penelaah sejarah pemikiran Islam di Universitas Harvard, adalah keturunan Pakistan yang lahir dan besar di Singapura. Dalam usia yang tak panjang (1966-2015) ia sudah dikenal di kalangan studi Islam di dunia. Dengan kemampuan dalam 15 bahasa, jangkauannya luas: dalam What is Islam? ia menggali bahan lama dan baru dari pelbagai penjuru bumi, terutama di “bentangan dari-Balkan-ke-Bangali”. Tanpa menyebut khazanah Islam di Nusantara, apa yang dicoba dipaparkannya menyangkut kita semua: seorang muslim, dalam membahas Islam, tak perlu menghalau kontradiksi di dalam Islam itu sendiri.
Shahab mengutip sajak Walt Whitman:
Do I contradict myself?
Very well, then, I contradict myself.
(I am large, I contain multitudes.)
Islam luas, secara geografi, sejarah, bahasa, dan pemaknaan. Dalam aneka ragam itu, apa salahnya jika ia mengandung kontradiksi, pandangan, dan pikiran yang ambigu?
Dalam hal minum anggur, misalnya. Shahab—seorang penggemar wine—menggambarkan bagaimana ghazal Hâfiz, penyair besar Iran di abad ke-14, dibacakan dalam pertemuan: dengan anggur yang direguk—seraya menggemakan cinta kepada Yang Maha Pengasih.
Shahab juga mengutip Kitâb maṣâliḥ al-abdân wa-al-anfus (“Kesejahteraan Jiwa dan Raga”) yang ditulis Abű Zayd al-Balkhî (849-943). Bagi Abű Zayd, anggur adalah “minuman terbaik” yang pernah dibuat manusia. “Paling unggul komposisinya, dan paling bermanfaat,” asalkan tak berlebihan—anjuran yang kini diterima dunia kesehatan.
Juga tak ada satu kata dalam hal seni rupa. Banyak ulama dengan tegas melarang kita membuat gambar atau patung makhluk hidup—mungkin mengikuti ajaran Yahudi. Tapi kita kenal karya-karya potret yang menakjubkan dari zaman Turki, Persia, dan India. Shahab menampilkan Ṣâdiqî Bçg Afshâr (1533-1610), penulis Qânűn-uṣ-Ṣuvar yang juga pelukis potret. Ia menyatakan, “Aku menjangkau ke Makna, dari wajah Sang Sosok.”
Bagi Ṣâdiqî, meraut wajah dalam batu, kayu, dan kertas adalah melampaui batas material untuk menjangkau makna yang lebih tinggi.
Tapi apa yang “islami” dalam sikap itu?
Ibnu Sina, pemikir abad ke-11, dikecam Al-Ghazali, tokoh yang dihormati sebagai Ḥujjat al-Islâm (“Bukti Islam”). Dalam Tahâfut al-Falâsifah yang termasyhur, Ibnu Sina dinilai sebagai “kafir”. Pandangannya tentang kejadian alam semesta, yang dipengaruhi Aristoteles, jadi problematis jika dipertemukan dengan keyakinan Islam umumnya. Tapi benarkah ia bukan Islam?
Ibnu Sina menulis:
Tak gampang menyebutku tak beriman
Imanku lebih berdasar ketimbang iman lain
Di masaku, aku tak dapat dibandingkan
Jika aku kufur, tak ada lagi orang yang bisa disebut muslim
Bagaimana kontradiksi itu bisa ditandai dengan satu nama, “Islam”? What is Islam?
Buku Shahab mencoba menjawab: ada teks—Quran, Hadith, dan hukum-hukum yang mengacu ke sumber itu. Tapi ada juga “pra-teks”, nilai dan pengetahuan universal yang bergaung sebelum Quran. Kemudian ada karya, pengalaman, dan perilaku orang-orang Islam—mereka yang membaca kalimat syahadat—tapi pada saat yang sama, karena sejarah bergerak, tak selalu berhenti pada kodifikasi yang selesai.
Ada rasa cemas kepada yang tak selesai. Sekitar dua abad setelah Nabi wafat, tumbuh ortodoksi: agar tak simpang-siur, ditegaskan bahwa ajaran yang “resmi” adalah satu-satunya kebenaran. Dalam Before Orthodoxy: The Satanic Verses in -Early Islam, buku Shahab yang lain, ia mengutip Talal Asad: ortodoksi adalah hubungan kekuasaan; sejarahnya adalah usaha membentuk dan mempertahankan sebuah kebenaran, buat jadi pegangan yang kukuh bagi semua.
Teks pun jadi hukum yang tak mengizinkan ambiguitas. Satu kasus yang dianggap “sama” akan dianggap identik; perbedaan harus ditepis. Untuk mengatasi kecemasan akan ambiguitas, agama jadi konstruksi sosial-politik. Dan dalam benturan dengan kolonialisme sejak abad ke-18, konstruksi itu jadi identitas.
Kita tahu, identitas dirumuskan untuk menandai bahwa “kami Islam”. Mirip KTP kolektif. Tapi seperti KTP, identitas menyederhanakan yang ditandai.
Syahdan, ketika agama jadi identitas, manusia berjalan dengan setengah bermimpi: mimpi tentang persatuan yang tak pernah tercapai, frustrasi karena perbedaan—perbedaan yang dianggap menakutkan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo