UMAR, yang meninggalkan ontanya dan berjalan kaki memasuki gerbang Kota Yerusalem, barangkali memang bukan sang penakluk. Kota itu telah dikalahkannya, tapi di abad ke-7 itu, tak ada pembantaian, tak ada penghancuran. Yang ada hanya seorang khalifah dari Mekah yang berpakaian lusuh dan memandang dengan takzim sebuah kota yang telah direbutnya, tetapi -- karena ia Muslim -- tetap dihormatinya. Hari itu Patriakh Sophronius menjumpainya di Bukit Zaitun. Mereka berbicara tentang perdamaian. Umar dimintanya menjamin keamanan kaum Nasrani dan gereja mereka. Pemimpin yang terkenal lurus hati dari Arab itu mengiyakan. Maka, gerbang pun dibuka, dan pasukan Muslim -- untuk pertama kalinya dalam sejarah -- menginjak kota yang mereka kenal hanya dari cerita Isra dan Mikraj Nabi mereka. Mereka menyebutnya Al-Kuds, atau Yang Suci. Kata sahibul hikayat, begitu melewati gerban Kota Yerusalem, Umar meminta kepada Sophronius untuk membawanya ke Kenisah Sulaiman. Sang Patriakh tak segera memenuhi permintaan ini. Ia khawatir, kalau-kalau Umar berencana membangun bait itu kembali bagi orang-orang Yahudi. Yerusalem memang telah jadi tempat di mana syak wasangka bertebar dengan mudah, seperti puing dari perang yang belum lama lalu. Barangkali itulah nasibnya. Seorang firaun dari Mesir pernah menyerbunya, kekuasaan Babilonia pernah melindasnya, kemudian Roma, dan kemudian, di tahun 614, pasukan Persia. Penduduk Yerusalem di hari itu dibantai, dan gereja-gereja dibumihanguskan. Menurut cerita, dalam perang sebelumnya orang Yahudilah yang dihabisi, sedang dalam penyerbuan Persia kali ini justru sebaliknya yang terjadi: orang Yahudi Yerusalemlah yang membantu tentara Persia untuk membunuhi orang Kristen. Maka, dengan kemarahan besar, demikianlah menurut yang empunya legenda, orang-orang Kristen menempeli altar yang terkenal sebagai Batu Karang itu dengan kotoran hewan. Jika kebencian bukan barang asing di Yerusalem, Umarlah yang justru asing. Dengan sabar ia mengikuti Sophronius yang membawanya ke tempat-tempat suci Kristen, tapi ketika secara kebetulan ia melihat letak Kenisah Sulaiman, ia berhenti. Pintu masuk bangunan tua itu sudah begitu sesak dengan tahi, hingga Umar hanya berhasil memasukinya sambil merangkak. Dengan tangannya, Sang Khalifah menyingkirkan kotoran yang telah mengering itu, dan melemparkannya ke lembah. Ia melakukan apa yang baginya harus ia lakukan. Permukaan yang tinggi itu memang sebuah wilayah yang suci. Orang Islam menyebutnya Haram as-Sharif. Tak ada rumah ditegakkan di sana. Yang ada hanya keluasan. Di situlah Umar kemudian mendirikan satu bangunan bersahaja: masjid dari kayu. Masjid itu kini disebut "Masjid Umar". Baru setengah abad berikutnya, di bawah penguasa Damaskus, Abdul Malik bin Marwan, menjelang akhir abad ke-7, masjid itu dipugar dan diperindah dengan menakjubkan. Umar mungkin sekali akan heran seandainya ia melihat bahwa suatu kemewahan kemudian terpampang di masjid yang dulu didirikannya dengan penuh rasa hormat kepada sekitar yang bersejarah itu. Motif Abdul Malik bin Marwan sendiri, kata sementara ahli sejarah, memang politis: waktu itu ia ditampik oleh orang di Mekah dan ia ingin menjadikan Yerusalem -- wilayah yang berada di bawah yurisdiksinya -- tak kalah dari kota suci pertama di Jazirah Arabia itu. "Kubah Karang" itu bahkan lebih megah ketimbang Masjid Al-Aqsa yang terletak tak jauh dari sana. Tapi kita barangkali harus memaafkan Abdul Malik. Sejarawan, arsitek -- juga turis -- bisa menyaksikan apa yang ditinggalkannya kini. Dalam keinginan untuk mempermegah diri ataupun untuk mengekspresikan iman, seorang penguasa terkadang meninggalkan benda yang begitu besar, begitu megah, begitu banyak pengorbanan -- dan bernilai historis: Kubah Karang ini, atau, beratus tahun sebelumnya, Kenisah Sulaiman. Namun, bangunan-bangunan besar sering hanya bisa ditopang oleh kekuasaan yang mutlak dan akumulasi dana yang mencekik Masjid, candi, gereja, kenisah, dan sejenisnya memang bisa jadi sesuatu yang berlebihan: sebuah isyarat tentang iman tapi juga tentang kepongahan. Keganjilan manusia ialah bahwa ia bisa bersikap demikian juga dalam hubungannya dengan Tuhan, di hadapan siapa sebenarnya kita tak bisa pongah. Tapi benarkah satu keganjilan? Yerusalem telah menyaksikan dengan rutin basaimana dengan perangai itu manusia beroperasi, sering dengan rasa bengis dan atau ambisi. Orang membangun kuil atau menghancurkannya, tapi siapa yang membersihkannya? Seorang teman saya yang beragama Kristen berkata, bahwa suatu hari Yesuslah yang datang ke Yerusalem, membersihkan Baituliah, dan menyatakan kembali apa yang kemudian ditulis dalam sebuah puisi Tagore: "Kasih antara Tuan dan aku ini, sederhana seperti nyanyi." Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini