DAMAI di bumi, damai di Bogor. Tapi ini bukan kidung Natal. Empat siswi SMAN I Bogor, yang menggugat kepala sekolahnya, berdamai di Pengadilan Negeri Bogor, Senin pekan lalu. Para siswi itu, yang menggugat karena statusnya di sekolah mengambang -- masuk tetapi tidak diabsen -- lantaran mengenakan jilbab, kini sudah lega. Mereka kembali ke sekolah dengan status yang jelas, seperti siswa-siswa yang lain. Cuma, mereka tidak seperti siswi lainnya, yakni mengenakan seragam sekolah sebagaimana yang ditetapkan. Mereka tetap berjilbab. "Alhamdulillah," kata Hepti Mulyati Hakim, salah seorang siswi itu. "Kami bersyukur. Dulu, yang ada di kepala ini cuma pindah... pindah... pindah." Akta perdamaian yang dibacakan di ruang sidang itu menyebutkan, penggugat sepakat untuk tidak menuntut ganti rugi Rp 100 juta. Bahkan pihak penggugat sepakat untuk menanggung semua biaya perkara dan biaya administratif yang dibebankan oleh pengadilan. Sebaliknya, pihak tergugat sepakat untuk mencabut dan membatalkan surat Kepala SMAN I Bogor tanggal 22 dan 25 Agustus 1988 tentang pencoretan nama siswi-siswi yang berkerudung dari daftar hadir dengan konsekuensi memulihkan hak dan kewajibannya sebagaimana siswi lainnya. Akta perdamaian ini ditandatangani pengacara dari LBH yang dipimpin Nursyahbani Katjasungkana, S.H., mewakili penggugat, dan Firman, S.H. dan teman-temannya, mewakili tergugat. Sebelumnya, 8 Desember lalu, Kepala SMAN I Bogor, Drs. Ngatijo, mengirim surat permohonan maaf kepada orantua ke empat siswi itu, dan mencabut dua surat yang dibuatnya bulan Agustus. Maka, untuk sementara, ribut-ribut soal jilbab di SMAN I Bogor selesailah sudah. Bukan saja keempat siswi yang menggugat itu yang lega, tapi juga siswi-siswi yang sudah telanjur melepaskan jilbabnya ikut bergembira. Di antara mereka ada yang kembali mengenakan kerudung ke sekolah. Sebelum larangan berjilbab itu dikeluarkan Ngatijo, ada 26 pelajar putri yang berkerudung ke sekolah. Setelah ada larangan, 17 siswi membuka kerudungnya dan mengikuti ketentuan pakaian seragam sebagaimana yang diatur dalam SK Dirjen Pendidikan Menengah dan Dasar yang diterbitkan tahun 1982. Dua siswi memilih pindah sekolah. Tujuh lainnya tetap berkerudung dan mereka inilah yang statusnya mengambang. Empat dari tujuh siswi ini -- resminya lewat orangtuanya masing-masing -- mengajukan gugatan ke pengadilan dengan bantuan LBH (TEMPO 22 Oktober). "Sekarang kami sudah merasa bebas lagi mengenakan jilbab," kata Hepti, yang disetujui serempak oleh teman-temannya. Jika ada yang mereka pusingkan sekarang, itu menyangkut pelajaran. Maklum, selama empat bulan itu mereka belajar dengan suasana yang tertekan. Ngatijo, yang mengaku tak ada tekanan dari mana pun ketika membuat surat permintaan maaf itu, membenarkan "kebebasan berkerudung" ini bersifat sementara. Ia mengaitkan itu dengan surat edaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 1984 (Penjelasan Tentang Pakaian Seragam Sekolah) yang isinya, bila ada siswi yang melakukan penyimpangan mengenai pakaian seragam supaya diperlakukan secara persuasif, edukatif, dan manusiawi. "Sampai kapan sementara itu, bisa sebulan, dua bulan, atau setahun, nggak tahu saya," katanya. Yang pasti, "Tahun depan saya harus mengajukan pensiun." Yang kini tak bisa diajak kompromi, kata Ngatijo, pasfoto untuk buku rapor dan ijazah harus meninggalkan jilbab. Masalah jilbab di sekolah umum negeri, kadang timbul kadang tenggelam. Pernah menjadi isu nasional ketika menginjak tahun ajaran 1984/1985. Buntutnya, karena Pemerintah kukuh dengan peraturan yang ada, sejumlah siswi berkerudung terpaksa pindah ke sekolah swasta. "Mereka melanggar janji. Kan mereka menandatangani tata tertib sekolah," kata Dardji Darmodihardjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah waktu itu. Dirjen yang sekarang, Prof. Dr. Hasan Walinono, pun tak ada niat untuk mengubah atau meninjau peraturan tentang pakaian seragam di sekolah negeri itu. Setidak-tidaknya, saat ini. "Peraturan seragam sekolah tetap berlaku seperti sebelumnya," kata Walinono. Kalau ada penyimpangan? "Kalau ada siswa yang menyimpang, ya, diusahakan bagaimana mereka menaati peraturan itu," katanya. Alasannya, setiap murid ketika mulai mendaftarkan diri dan memulai belajar di sekolah negeri telah sepakat untuk menaati peraturan sekolah, disiplin sekolah, di antaranya peraturan pakaian seragam. Lagi pula, menurut Walinono, Menteri P dan K Fuad Hassan sudah memberi petunjuk, semua kasus jilbab dianggap selesai. Kalaupun ada kasus, seperti di SMAN I Bogor itu, penyelesaiannya dilakukan secara intern. Agus Basri, Heddy Susanto, dan Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini