PARA pecandu lotere kali ini bagaikan dapat ucapan Selamat Tahun Baru dari Menko Polkam Sudomo. Bentuknya: kartu lotere "Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah" (SDSB), yang secara resmi beredar sejak 1 Januari 1989. Rabu pekan lalu, Sudomo sudah memberikan pengarahan kepada para distributor SDSB dan 25 Kanwil Depsos (dari Timor Timur dan Aceh tak hadir) di Libra Room Hilton Executive Club, Jakarta -- yang merupakan langkah lanjut pengarahan Sudomo kepada para gubernur di Yogya, Senin dua hari sebelumnya. "Jangan salah mengerti," kata Sudomo. "Saya bukan mau mem-backing SDSB. Saya hanya melaksanakan petunjuk Bapak Presiden untuk mengawasi sekaligus memberantas kegiatan judi buntut liar yang ikut membonceng pelaksanaan TSSB-KSOB. Karena saya ditugasi, ya, saya kerjakan dengan sebaik-baiknya." Ia mengharapkan agar SDSB bisa dijalan kan secara lebih bersih daripada TSSB/KSOB yang digantikannya itu. "Saya berikan ini agar para distributor juga mengamankan pelaksanaan SDSB dan jangan hanya lihat keuntungannya saja," kata Sudomo lagi. Bisakah judi yang terpancing dari lotere diberantas? Pengalaman membuktikan, beberapa kios agen dan distributor dulu punya kreasi sendiri: angka-angka lotere resmi itu diperjudikan. Siapa yang bisa menebak, dapat hadiah. Maksudnya supaya orang beli lembaran-lembaran berangka itu bukan di tempat lain. Untuk menangkalnya, kata sumber TEMPO di Departemen Sosial, dalam SDSB ini pemerintah secara resmi menyediakan kupon Seri B. Berharga Rp 1.000 per lembar dengan hadiah maksimum Rp 3,5 juta, Seri B menyediakan tiga kemungkinan untuk diisi angka oleh kehendak pembeli. Kotak pertama terdiri dari dua digit, kedua tiga digit, dan ketiga empat digit. Jika angka-angka dalam kotak itu cocok dengan angka-angka belakang dari angka resmi seri A, maka si pembeli berhak atas hadiah. Jika yang cocok terdiri dari empat digit dengan empat digit angka belakang Seri A, hadiahnya Rp 3,5 juta. Pejabat di Depsos itu membantah bahwa ini lotere buntut. Alasannya, pada Seri B ini ada nomor induk yang tidak bisa diubah-ubah dan harganya tertulis di atas kuponnya. Tapi beberapa tokoh masyarakat cenderung mengatakan, apalah arti nama. Yang perlu dipikirkan ialah bagaimana efek sosialnya, kelak. "Yang paling mencemaskan ialah tersedotnya dana ke pusat," kata seorang ekonom. Sementara ini, yang dipersiapkan baru soal pengawasan. Termasuk pengawasan lokasi penjualannya, agar jauh dari tempat ibadah dan sekolah. Pengawasan itu jadi beban kepala daerah. Tanggung Jawabnya tetap pada gubernur," kata Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Kalau di DKI terjadi keliru, tambahnya. Para gubernur, selain akan dibantu oleh bawahannya, juga diharapkan akan dapat dorongan dari kesigapan aparat tingkat RT, sesuai dengan pengarahan Sudomo. Dan tugas para gubernur tidak sekadar mengawasi, tapi juga menggusur habis "segala bentuk penyimpangan SDSB", termasuk judi buntutnya. Untuk itu, menurut Wiyogo, "Kami akan dibantu Polkam. Juga bekerja sama dengan kejaksaan. Pelanggar akan segera ditindak." Tentu, dengan bekal Keputusan Presiden yang menggolongkan judi buntut dalam tindakan subversi. Peraturan pelaksanaan lotere resmi yang diharapkan akan memasok dana bantuan Rp 110 milyar ini memang keras. Tapi yang penting, dan yang musykil ialah kejujuran pengawas sendiri. Toh para gubernur menyatakan siap. Mohamad Cholid, Linda Djalil, Diah Purnomowati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini