Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

2.130 Perusahaan Kebun Sawit Ilegal Bakal Dikenai Denda?

Ribuan perusahaan kebun sawit ilegal membabat 3,3 juta hektare hutan. Pengenaan denda disebut tak menghitung kerusakan lingkungan.

15 Mei 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sawit Ilegal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama pemerintah menemukan sedikitnya 2.130 korporasi kebun sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin. Ribuan perusahaan tersebut bakal diwajibkan membayar denda adminisratif dan tanggung jawab Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 

“Perusahaan-perusahaan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 110A dan 110B Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” ucap Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan kepada Tempo pada Senin, 13 Mei 2024. Sanksi itu lantaran korporasi telah bercokol di atas 3,3 juta hektare kawasan hutan selama belasan hingga puluhan tahun.

Adapun kedua pasal itu digunakan sebagai skema impunitas terhadap kesalahan korporasi yang membabat hutan lalu disulap perkebunan sawit secara ilegal. Sehingga perusahaan hanya diwajibkan membayar PNBP atau dikenai sanksi administratif berupa denda. Mereka diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan pemutihan yang telah berakhir pada November tahun lalu.

Pahala menyebut, lembaganya melalui tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) telah mendata korporasi nakal sejak 2017. Pendataan sawit ilegal dalam kawasan hutan dimulai dari Kalimantan Tengah, Riau, Papua, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Timur.

Prosesnya melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten bersama Badan Informasi Geospasial (BIG). Juga melibatkan United Nations Development Progamme (UNDP); Balai Pemantapan Kawasan Hutan-Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPKH-KLHK) Badan Pertanahan Nasional (BPN); Yayasan Auriga Nusantara; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Riau; Jikalahari; dan organisasi masyarakat sipil lain.

Pada akhir 2023, Stranas-PK memperluas cakupan ke area Kalimantan Barat, Aceh, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Tim Pahala melakukan verifikasi dan penyandingan data lapangan, verifikasi ke perusahaan, serta melakukan analisis spasial dan legal. Data-data tersebut lantas diteruskan ke KLHK sebagai pijakan untuk memberlakukan tarif PNBP atau skema denda administratif.

Dari data yang dimiliki Pahala, sedikitnya ada 761 perusahaan yang dikenai tarif PNBP dengan luas 655.123 hektare. Korporasi diwajibkan membayar Provisi Sumber Daya Hutan-Dana Reboisasi (PSDH-DR) atau tanpa denda sesuai dengan Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja. Kemudian ditemukan 486 perusahaan dengan luas 217.809 hektare yang dikenai denda administratif sesuai Pasal 110B. Ditambah adanya 1,34 juta hektare kawasan hutan yang dikangkangi perusahaan belum teridentifikasi pelakunya.

Adapun data KLHK bersama tim Satuan Tugas Sawit mendata 2.130 unit perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai Pasal 110A dan 110B. Jumlah tersebut merujuk Surat Keputusan Data dan Informasi yang diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dengan nomor I hingga XX. Mereka kemudian telah mengirim surat keputusan tagihan yang harus dibayarkan 365 perusahaan sesuai Pasal 110A.

Dari 365 unit perusahaan, hanya ada 155 korporasi yang membayar PSDH-DR dengan nilai total Rp 648,8 miliar. Adapun 210 korporasi lainnya belum membayarkan kewajiban. Data ini juga ditambah surat keputusan tagihan denda adminitratif terhadap 49 perusahaan sesuai Pasal 110B. “Namun yang sudah membayar baru 8 perusahaan dengan nilai Rp 175,5 miliar. Adapun sisanya belum membayar.”

Pahala masih menghadapi masalah besar lantaran 1.716 perusahaan sisanya belum rampung dianalisis. Sehingga belum dapat dikenai sanksi menggunakan mekanisme Pasal 110A atau 110B. Proses ini tengah dikebut di dalam internal tim Satuan Tugas Sawit bersama Stranas-PK. Terlebih terdapat beberapa masalah seperti perbedaan data, sehingga perlu sinkronisasi. Misalnya terdapat subyek hukum yang teridentifikasi di data Stranas-PK, namun tidak ada di data KLHK.

Sengkarut Masalah di Internal Satuan Tugas Sawit

Dua sumber Tempo yang mengetahui kerja-kerja tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara sempat menceritakan ihwal seretnya proses analisis 1.716 korporasi sawit ilegal. Menurut dia, hal itu disebabkan lantaran tim yang disokong KLHK tak kunjung mengumpulkan peta digital Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di masing-masing provinsi. “Padahal dokumen itu penting untuk memastikan fungsi tata ruangnya,” ucap sumber ini.

Selain itu, perusahaan yang disasar juga belum banyak menyetorkan data perizinan sawit sebagai dasar analisis denda. Mirisnya, sumber ini juga menyebut bahwa pemerintah memang sama sekali tidak mengitung kerusakan lingkungan yang diakibatkan perkebunan sawit ilegal. Bahkan, pemerintah sengaja tak memasukkan kerugian atas kerusakan 407 ribu hektare gambut dalam kawasan hutan sebagai basis pengenaan sanksi ke perusahaan.

Hal itu terjadi lantaran Satuan Tugas Sawit yang merujuk pada turunan Undang-undang Cipta Kerja. Satu di antaranya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Sanksi Administratif dan PNBP. Di dalamnya hanya mengatur ketentuan potensi ekonomi yakni hilangnya tegakan kayu. Adapun sanksi kerugian lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sengaja tidak dipakai.

Tempo berupaya meminta penjelasan dari Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi. Namun Jodi menyarankan agar menghubungi Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Firman Hidayat. Hanya saja belum merespons hingga laporan ini diterbitkan.

Satuan Tugas Sawit sebelumnya mencritakan bahwa lembaganya masih fokus mencari dokumen peraturan tata ruang daerah. Khususnya pada tahun saat korporasi sawit pertama kali melakukan ekspansi di kawasan hutan. Hal ini sebagai dasar bagi pemerintah untuk menentukan mekanisme penanganan masalah pada masing-masing perusahaan.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Mamat Rahmat juga menyarankan agar Tempo mengirimkan surat secara resmi melalui situs kementeriannya. “Nanti kami akan teruskan kepada eselon I terkait untuk mendapat jawaban,” kata Rahmat singkat. Sebelumnya Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono sempat menyebut bahwa sedikitnya sudah ada 90 persen perusahaan yang sudah mengurus izin. “Dalam satu sampai dua hari ini kami yakin semuanya bisa masuk dalam subyek hukum,” kata dia seperti dikutip dari Antara pada 30 Oktober 2023.

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Manurung melihat kebijakan pengenaan sanksi denda sebagai kontroversial. Khususnya terhadap pengenaan denda sesuai Pasal 110B. “Masalahnya ketika sudah membayar kemudian dicabut izinnya atau lahannya dikembalikan ke negara dengan kesempatan satu kali daur. Itu sama saja dengan membunuh kami,” ucap Gulat.

Menurut dia, tiap-tiap perusahaan dikenai denda bervariasi mulai dari Rp 17 juta hingga Rp 30 juta per hektare lahan sawit yang masuk kawasan hutan tanpa izin. Semestinya, perusahaan diberikan izin lantaran sudah membayar denda. Terlebih pemerintah sedang berupaya mengejar peningkatan produksi crude palm oil (CPO) untuk kebutuhan bahan bakar nabati atau biodiesel 40.

AVIT HIDAYAT

Artikel ini merujuk: Pemutihan Sawit Bukan Pemulihan Hutan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus