Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lautan Indonesia yang membentang sebagai salah satu kekayaan maritim terbesar di dunia, kini dinilai menghadapi persoalan serius dengan munculnya kasus pembangunan pagar laut berbasis Hak Guna Bangunan (HGB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (Unair) Muhammad Amin Alamsjah mengatakan, dalam perspektif kelautan, aksi memasang pagar laut HGB tidak hanya mencederai keadilan sosial, tetapi juga berpotensi merusak tatanan ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amin mengatakan tindakan ini bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, wilayah laut tidak dapat dimiliki secara pribadi atau perusahaan,” kata Amin melalui keterangan tertulis, Senin, 27 Januari 2025.
Ekosistem Terancam, Nelayan Terdampak
Amin mengatakan pembangunan pagar laut ini tidak hanya melanggar prinsip konstitusi, tetapi berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem perairan. Menurutnya, pembatasan pagar laut dapat mempercepat sedimentasi, mengurangi carrying capacity wilayah perairan dan merusak nursery ground.
“Dampak jangka panjangnya, yakni merusak nursery ground dari benih ikan dan mengancam habitat biota laut seperti terumbu karang dan padang lamun,” ungkapnya.
Para nelayan yang sehari-hari menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut juga menghadapi ancaman serius. Dengan akses yang terbatas karena pagar laut, mereka harus mencari wilayah baru untuk melaut, yang sering kali jauh dari rumah dan membutuhkan biaya operasional lebih besar.
“Kawasan pesisir yang menjadi sumber penghidupan nelayan tradisional bisa terdegradasi. Akibatnya, produktivitas perikanan menurun dan mata pencaharian masyarakat terganggu,” tuturnya.
Konflik Kepentingan di Zona Maritim
Amin mengatakan Indonesia memiliki batasan maritim yang diakui secara internasional, mulai dari perairan teritorial hingga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Menurutnya, tindakan privatisasi seperti ini menciptakan konflik kepentingan yang bertentangan dengan fungsi laut sebagai media pemersatu bangsa dan penyokong kesejahteraan masyarakat secara kolektif.
“Wilayah laut harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Ketika pengelolaannya melanggar hukum atau merugikan masyarakat luas, negara memiliki kewenangan untuk membatalkan kebijakan tersebut,” kata dia.
Mengembalikan Laut untuk Semua
Kasus pagar laut HGB, kata Amin, menjadi pengingat bahwa laut bukan hanya sekadar ruang fisik, tetapi juga sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat Indonesia. Dia menegaskan bahwa pelanggaran terhadap tatanan kelautan harus dihentikan.
“Jika pembangunan pagar laut HGB melanggar hukum dan merugikan rakyat, maka negara wajib mengambil tindakan tegas untuk membatalkannya,” katanya.
Ke depan, kata Amin, perlindungan laut harus menjadi prioritas nasional. "Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa lautan tetap menjadi berkah bagi seluruh rakyatnya, bukan hanya milik segelintir pihak," ujarnya.