Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Begini Kata Guru Besar Teknik Sipil Undip Soal Bencana Banjir di Indonesia

Guru Besar Teknik Sipil Undip Suharyanto mengatakan permasalahan bencana banjir di Indonesia terkait pengelolaan sumber daya air (SDA) tak maksimal.

7 Juni 2021 | 15.26 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga menerobos jalan yang tergenang banjir, di Dukuh Tanggulangin, Desa Jati Wetan, Jati, Kudus, Jawa Tengah, Senin, 8 Februari 2021. Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, banjir dengan ketinggian hingga 170 centimeter yang merendam 13 desa di kecamatan Mejobo, Jati dan Undaan lebih dari sepekan akibat curah hujan tinggi serta meluapnya sungai Lusi dan Wulan itu menyebabkan sebanyak 17.614 jiwa terdampak dan 4.420 rumah terendam serta 576 warga mengungsi. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masalah air khususnya penyebab bencana banjir merupakan hal yang belum juga terselesaikan di Indonesia. Bencana banjir masih sering terjadi di sejumlah kota di Indonesia kala curah hujan sangat tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guru Besar Teknik Sipil UNDIP Suharyanto mengatakan permasalahan pengelolaan sumber daya air (SDA) terdiri dari permasalahan pokok, yaitu too much, too little, too dirty, too far, dan untimely. Masalah ini juga sering disebut sebagai bencana hidro-meteorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Di Indonesia masalah terkait air terus terjadi tiap tahun secara silih berganti, dan ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sumber daya air masih belum seperti yang diharapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengenai masalah air tersebut, Suharyanto menawarkan konsep pengelolaan banjir yang tepat diterapkan di banyak sungai-sungai di hulu yang bermeander (berkelok-kelok) melalui Kolam Detensi Tapal Kuda (KDTK).

KDTK adalah infrastruktur tampungan berupa kolam detensi (horse shoe detention pond) yang sangat tepat untuk dibangun pada lokasi tanah meander berbentuk tapal kuda (horse shoe) yang biasanya labil dan secara terus menerus mengalami permasalahan erosi atau gerusan tebing di tikungan luar dan sedimentasi di tikungan dalam.

Suharyanto juga menyampaikan alasan dari idenya tersebut pada sebuah pidato ilmiah berjudul “Menjaga Kelestarian Sumber Daya Air”pada Sidang Terbuka Senat Akademik Undip, di Gedung Prof Soedarto SH Tembalang Semarang, Jumat, 4 Juni 2021 lalu.

Menurutnya, kalau membangun bendungan besar kan sangat kompleks. Karena perlu pembebasan lahan, memperhatikan jenis tanah dan lain sebagainya, sedangkan jika dengan kolamdetensi karena skalanya lebih kecil maka masyarakat pun dapat ikut serta dalam pembuatan dan pengelolaannya.

KDTK ini juga lebih efektif dibandingkan membangun bendungan karena dapat mengurangi beban air sejak di hulu sehingga bisa mengurangi risiko banjir. Mengingat kelokan-kelokan sungai sebagian besar berada di hulu, sehingga sangat mungkin KDTK ini sudah mengurangi beban banjir sejak di hulu. Dengan demikian, risiko banjir di wilayah hilir yang penduduknya padat dapat dikurangi.

Cara kerja kolam detensi ialah menahan air dalam jangka waktu tertentu sambil menunggu waktu yang tepat untuk dikeluarkan kembali. Pada saat banjir, air nantinya akan dibelokkan ke kolam detensi sehingga beban air yang masuk ke sungai utama berkurang. Jadi semakin banyak kolam detensinya, beban air penyebab banjir yang dikurangi juga semakin besar.

Suharyanto juga mengatakan pengembangan beberapa forum kerjasama dan koordinasi seperti TKPSDA (Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air), GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air), Jejaring Sumber Daya Air Indonesia (JSDAI) ke level yang lebih mikro penting untuk dilakukan mengingat tingkat mikro adalah ujung tombak keberhasilan pengelolaan sumber daya air terpadu.

Kemudian upaya yang bisa dilakukan dan mencakup keseluruhan pilar pengelolaan seperti konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air yaitu pembangunan infrastruktur tampungan (storage) yang dibangun secara partisipatif dan dalam skala mikro. Nantinya permasalahan too much, too little, too far, dan untimely water dapat dikelola dengan penyediaan, pengelolaan dan pengoperasian infrastruktur tampungan yang sesuai. Setidaknya mampu meminimalisir dampak bencana banjir.

TEGUH ARIF ROMADHON

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus