Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

BRIN: Limbah Medis Bisa Diubah Jadi Stainless Steel dan Propylene Murni

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan limbah medis seperti jarum suntik dan masker bisa didaur ulang jadi stainless steel dan propylene murni

31 Juli 2021 | 08.18 WIB

Tenaga kesehatan memasukkan dosis vaksin COVID-19 pada jarum suntik saat melakukan penyuntikkan vaksin COVID-19 kepada tenaga pendidikan di Puskesmas Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Jumat, 9 April 2021. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan sebanyak 5,5 juta guru dan tenaga pendidik mengikuti vaksinasi COVID-19 sampai akhir Juni 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Tenaga kesehatan memasukkan dosis vaksin COVID-19 pada jarum suntik saat melakukan penyuntikkan vaksin COVID-19 kepada tenaga pendidikan di Puskesmas Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Jumat, 9 April 2021. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan sebanyak 5,5 juta guru dan tenaga pendidik mengikuti vaksinasi COVID-19 sampai akhir Juni 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri handoko mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan teknologi untuk mendaur ulang limbah medis yang berpotensi memunculkan nilai tambah secara ekonomi. Pasalnya hampir dua tahun pandemi virus corona berlangsung telah menghasilkan banyak limbah medis baik dari fasilitas kesehatan maupun dari masyarakat umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Misalnya ada alat penghancur jarum suntik yang nanti bisa menghasilkan stainless steel murni. Ada juga alat daur ulang APD dan masker yang hasilnya nanti jadi propylene murni (PP) yang nilai ekonomisnya tinggi,” katanya dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo Rabu, 28 Juli 2021, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika.

 

Laksana menjelaskan sarana pengolahan limbah yang ada pada saat ini tidak sebanding dengan penambahan volume limbah medis yang jumlahnya semakin meningkat. Sampai saat ini, baru 4,1 persen rumah sakit di Indonesia yang memiliki fasilitas pembakaran atau insinerator yang berizin.

 

Menurut dia, baru ada 20 pelaku usaha pegelolaan limbah di seluruh Indonesia. Dua puluh perusahaan ini pun hampir semuanya terpusat di pulau Jawa.

 

“Ada beberapa teknologi pengolahan limbah medis yang sudah proven yang dikembangkan oleh teman-teman kami untuk membantu peningkatan jumlah kapasitas pengolahan limbah ini secara signifikan. Khususnya pada teknologi yang dapat dipakai untuk pengolahan limbah di skala yang lebih kecil dan sifatnya mobile,” ucap dia.

 

Menurut Laksana, penggunaan teknologi ini diharapkan bisa menjangkau daerah-daerah yang memiliki penduduk relatif sedikit. Daerah-daerah tersebut tentu menghasilkan limbah medis yang relatif sedikit pula sehingga teknologi tersebut bisa dipakai. Teknologi pengolahan limbah skala kecil dinilai lebih hemat dibandingkan dengan membuat insinerator terpusat dalam skala besar.

 

“Kalau membangun insinerator dalam skala besar, hitungannya akan lebih mahal dan menimbulkan masalah terkait dengan pengumpulan, karena pengumpulan dari limbah ke insinerator yang terpusat akan menimbulkan biaya lagi,” ujarnya.

 

Kepala BRIN menjelaskan dengan dipakainya teknologi daur limbah medis yang berpotensi memunculkan nilai tambah secara ekonomi, harapannya fasilitas kesehatan bisa lebih patuh untuk mengelola sampahnya karena ada insentif finansial.  

 

MAGHVIRA ARZAQ KARIMA

Baca juga:

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus