Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - General Manager PT Indonesia Power, Unit Pembangkit Saguling, Rusdiansyah mengatakan, tengah menguji penggunaan briket baru sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Briket itu dibuat dari campuran sampah perairan waduk Saguling dengan tanaman gulma eceng gondok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mirip dengan batubara maka itu kami namakan bio-coal,” kata Rusdiansyah di Bandung, Selasa 25 Februari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rusdiansyah mengatakan, petani tambak jaring apung kini tengah diberdayakan untuk memproduksi bio-coal itu. Sudah 40 petani jaring apung yang berada di seputaran waduk Saguling yang mengikuti pelatihan membuat briket untuk memasok pembangkit listrik.
Hasilnya, dari briket-briket itu mampu dibangkitkan listrik 10 kW (Kilo Watt). "Kami gunakan untuk sendiri dulu (listriknya). Dipakai untuk pabrik sendiri, pabrik briket,” kata Rusdiansyah.
Rusdiansyah mengatakan, produksi briket tersebut dibuat dari sampah dan tanaman gulma eceng gondok di perairan waduk Saguling yang terkumpul saat membersihkan waduk. “Dalam sehari kami angkat ke pinggir itu bisa tiga ton. Itu dengan 1 backhoe dan orangnya ada sekitar 10 orang. Ada yang pakai perahu,” kata dia menuturkan.
Pengelola Waduk Saguling memasang sling, atau tali baja dalam jarak tertentu di hulu waduk untuk menjaring eceng gondok. Sampah yang terbawa aliran air sungai mayoritas tertimbun karena terjebak di bawah rimbun tanaman eceng gondok.
Sampah dan eceng gondok menjadi masalah yang dihadapi sehari-hari oleh pengelola waduk Saguling. Beragam jenis sampah, termasuk plastik ditaksir jumlahnya melebihi 30 ton. Sementara luas tanaman eceng gondok di perairan waduk Saguling sudah menembus 90 hektare. “Kalau dibersihkan seperti itu, bisa 15 tahun selesai,” kata Rusdiansyah.
Rusdiansyah mengatakan, pembuatan briket campuran sampah dan nceng gondok diharapkan bisa jadi solusi penanganan sampah dan tanaman gulma di Waduk Saguling. Produksi briket juga diharapkan bisa menjadi mata pencarian pengganti petani jaring apung yang menanam ikan dengan keramba di perairan waduk.
Keramba yang berada di Waduk Saguling saat ini jumlahnya sudah tembus 35 ribu unit. Itu sudah dianggap melampaui daya dukung waduk. "Kami akan melakukan pengurangan jumlah keramba. Tapi kalau dikurangi, kita harus pikirkan bagaimana mereka bisa hidup. Jadi kita sudah siapkan menjadi petani briket,” kata Rusdiansyah.
Rusdiansyah mengakui, sampah plastik yang jadi campuran briket itu jadi isu tersendiri karena bisa menghasilkan polutan dioksin saat dibakar. Tapi itu tidak menjadi persoalan untuknya. “Dioksin itu terjadi kalau pembakarannya di bawah suhu 800 derajat Celsius. Sedangan boiler kami 1.200 derajat,” kata dia.
Rusdiansyah mengklaim, hasil pemeriksaan laboratorium menguatkan pembakaran briket di boiler pembangkit tidak menghasilkan polutan dioksin.
Kapasitas produksi pabrik pengolah briket milik Indonesia Power Unit Pembangkit Saguling baru menembus satu ton sehari, berasal dari pengolahan tiga ton campuran sampah dan eceng gondok. Briket tersebut menjadi pemasok boiler, pemanas untuk pembangkit listrik tenaga sampah yang saat ini baru dibangun dengan kapasitas 10 Kilo Watt.
Rusdiansyah mengatakan, pembangkit listrik tenaga sampah dengan bahan baku briket eceng gondok ini salah satu yang dikembangkan untuk menaikkan porsi pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan) yang dibebankan pemerintah pada PLN. “Kami ditarget, untuk PLN Grup untuk EBT di tahun 2025 itu 34 persen,” kata dia.
Rusdiansyah mengatakan, saat ini Indonesia Power Unit Pembangkit Saguling tengah menyiapkan kerja-sama dengan mitranya untuk membangun pembangkit tenaga sampah tersebut yang mulai dibangun 2020 ini. Indonesia Power Unit Pembangkit Saguling tengah bersiap untuk membangun pembangkit dengan kapasitas lebih besar yakni menembus 1 Mega Watt.
“Untuk 1 MW ini kami akan menggandeng mitra yang akan bekerja sama karena nilai investasinya sudah di atas Rp 5 miliar,” kata dia.
Rusdiansyah mengatakan, nilai ekonomi briket enceng gondok tersebut juga menjanjikan karena harga produksinya jauh di bawah harga pembelian batubara muda. “Kita sudah ada hitungannya. Biaya produksi untuk jadi listrik itu sekitar Rp 300-400 per kWh. Untuk 1 kWh itu menggunakan 4 kilogram briket,” kata dia.
Briket enceng gondok ini harga jualnya masih di bawah batubara muda yang biasa digunakan pabrik dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). “Batu bara muda itu harganya sekitar Rp 800-900 per kWh,” kata Rusdiansyah.
Rusdiansyah mengatakan, peminat briket itu juga sudah ada. Briket tersebut bisa digunakan untuk mesin boiler yang dipergunakan oleh pabrik tekstil. “Mereka mampu menyerap itu per harinya bisa 50 ton briket. Sementara pabrik kami baru pilot project, baru 1 ton per hari. Peluangnya masih sangat banyak.”
Rusdiansyah mengatakan, briket tersebut juga sudah dicoba menjadi substitusi batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap. “Dicampur dengan batubara. Penggunaan batubara jadi berkurang karena disubstitusi dengan ini. Jadi co-firing namanya. Komposisinya 70-30, 70 persen batubara, dan 30 persen ini,” kata dia.
Rusdiansyah mengatakan, penggunaan briket juga sudah terbukti mengurangi emisi gas buang. “Yang sudah terbukti kita di PLTU Ciranjang, kita lakukan co-firing di sana, mencampur batu-bara dengan briket bisa menurunkan emisi gas buang. Hasil labnya ada,” kata dia.