Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia sudah memiliki sejumlah teknologi untuk menganalisis dan menyebarkan informasi kebencanaan, seperti gempa dan tsunami, secara cepat. Teknologi analisis tsunami, salah satunya Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWs), bermanfaatkan untuk menyebarkan peringatan dini bencana. Sistem pengawasan, pengolahan, dan diseminasi informasi Teknologi yang dikelola Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) itu tergolong akurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Utama Pusat Riset Telekomunikasi BRIN, Yuyu Wahyu, belakangan mengembangkan sistem pengawasan pantai, alias coastal radar multifungsi, untuk deteksi gelombang tinggi di laut, termasuk tsunami. Jejaring roastal radar menyokong sistem peringatan dini tsunami dan dashboard Decision Support System (DSS) pengawasan wilayah pantai
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sistem ini mendeteksi profil gelombang permukaan, sehingga mampu mengekstraksi data gelombang yang bersifat irregular, ekstrem, dan tsunami.,” katanya, dikutip dari laman resmi BRIN, Jumat, 23 Agustus 2024.
Sistem coastal radar, menurut Yuyu, merupakan alat pengawasan yang relevan dengan banyaknya jumlah pantai di Indonesia. Meski masih dalam pengembangan, peneliti kelahiran Bandung ini optimistis coastal radar bisa menjadi early warning system yang bagus.
Tak sebatas dalam skala riset saja, Yuyu menyebut purwarupa sempat diuji coba di Gedung Basics Tower 1 KST Samaun Samadikun pada 2023. Pengujian itu menghasilkan data digital, yaitu sinyal keluaran pedestal radar, yang berhasil direkam dan dianalisis.
"Pendeteksian dini terhadap potensi tsunami merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mitigasi bencana alam,” ujar dia.
Sistem deteksi dini dan tsunami ikut dibahas setelah munculnya peringatan dini dari Pemerintah Jepang mengenai megathrust atau gempa besar. Peringatan itu diterbitkan tak lama setelah insiden gempa bermagnitudo 7,1 di zona megathrust Nankai, Jepang, pada 8 Agustus 2024. Lindu di zona yang memiliki palung bawah laut ini ditengarai bisa membuka jalan bagi gempa dahsyat berikutnya. Isu soal megathrust Nankai ini kemudian dikaitkan dengan area serupa di sekitar Indonesia, yakni Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Meski tidak ada peringatan dalam waktu dekat, Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut, termasuk wilayah berisiko karena mengalami gempa besar selama ratusan tahun. Tim BMKG menyebut kondisi kekosongan gempa besar ini sebagai seismic gap.