Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Khatib Masjid Aceh Dibekali Fatwa Larangan Perburuan Satwa Liar

Sebanyak 35 khatib masjid di Aceh diberi bekal pengetahuan soal larangan berburu satwa liar dan satwa dilindungi.

27 Februari 2024 | 21.39 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tim INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint System) Polres Aceh Selatan melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) kematian harimau sumatera di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Desa Ibuboh, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan, Aceh, Kamis 26 Agustus 2021. Olah TKP tersebut dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti yang akan menjadi titik terang atau petunjuk dalam mengungkap kasus kematian tiga ekor harimau sumatera di kawasan itu. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 35 khatib masjid di Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darusaalam, dibekali materi terkait fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 3 Tahun 2022 tentang Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar dan Dilindungi menurut perspektif syariat Islam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua MPU Aceh Timur Tgk H. Mukhtar Ibrahim di Aceh Timur, Selasa 27 Februari 2024 mengatakan, dengan pembekalan tersebut para khatib dapat menyampaikannya kepada umat, baik melalui majelis taklim maupun mimbar Jumat. "Hukum membunuh binatang atau hewan, khususnya satwa liar yang dilindungi undang-undang adalah haram,” kata Mukhtar Ibrahim yang akrab disapa Abati Aramiah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Mukhtar tersebut disampaikan saat acara pembekalan khatib masjid oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) bekerja sama dengan Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (Yakata) dan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Aceh Timur. 

Para khatib masjid yang mengikuti pembekalan tersebut di antaranya dari daerah yang bersinggungan dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan sering dilanda konflik satwa liar seperti Kecamatan Simpang Jernih, Peunaron, Serbajadi, Ranto Peureulak, Banda Alam, Birem Bayeun, dan Indra Makmur.

Menurut Mukhtar, orang tua terdahulu hidup berdampingan dengan satwa dilindungi seperti gajah dan harimau. Sekarang sebagian orang justru menganggap satwa tersebut sebagai hama. Ia berharap masyarakat yang hidupnya berdampingan dengan kawasan hutan, terutama KEL, untuk tidak membuka lahan secara sembarangan. Sebab, tidak tertutup kemungkinan lokasi yang baru dibuka itu merupakan habitat satwa dilindungi. 

"Kami berharap para khatib masjid dapat menyampaikan Fatwa MPU Aceh tersebut kepada masyarakat. Tujuannya, untuk kelestarian satwa dilindungi tersebut seperti gajah, harimau, orangutan, dan badak," kata Mukhtar.

Legal Advokasi Yayasan HAkA Nurul Ikhsan menyatakan, fatwa ulama tersebut harus disebarluaskan kepada masyarakat. "Banyak masyarakat kita yang belum mengetahui ada beberapa satwa yang terancam punah, sehingga harus dilindungi. Keberadaan mereka sangat penting karena mampu menjaga keseimbangan ekosistem," kata dia.

ANTARA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus