Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kura-kura Rote Terancam Punah, Masyarakat Dilibatkan dalam Upaya Penangkaran

Sejak 2009 upaya penangkaran kura-kura rote telah dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat.

27 November 2024 | 07.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kura-kura rote atau Chelodina mccordi menjadi salah satu dari 25 spesies kura-kura yang paling terancam di dunia dan merupakan kura-kura endemik Indonesia. Kini, hewan reptil tersebut menghadapi ancaman kepunahan serius akibat populasinya di alam sangat kecil, habitat alaminya hampir habis, juga belum ada manajemen untuk pengelolaan spesies.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kayat mengatakan sejak 2009 upaya penangkaran telah dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Salah satu keberhasilan yang dicapai adalah peningkatan reproduksi kura-kura dalam penangkaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Spesies ini memiliki potensi reproduksi tinggi dengan jumlah telur mencapai 5 hingga 20 butir sekali bertelur, serta memiliki daya tetas telur mencapai 100 persen. Ini jauh lebih banyak dibandingkan kura-kura spesies lain,” kata Kayat melalui keterangan tertulis, Rabu, 27 November 2024.

Kayat mengatakan setiap induk betina dapat bertelur hingga tiga kali, bahkan ada yang enam kali per tahun. Namun, tingkat kelangsungan hidup masih di bawah 50 persen karena berbagai faktor, termasuk serangan penyakit. Untuk itu, penelitian intensif dilakukan guna meningkatkan kesehatan anakan, terutama pada usia 0 hingga 3 bulan.

Penelitian menunjukkan kura-kura yang dilepasliarkan pada usia empat tahun memiliki peluang bertahan lebih besar dibandingkan yang dilepas pada usia lebih muda. “Hal ini menjadi pedoman dalam program reintroduksi kura-kura ke habitat aslinya,” ucap Kayat.

Ia menegaskan, pelibatan masyarakat menjadi kunci dalam konservasi kura-kura rote. Sebagian besar habitat kura-kura berada di lahan milik masyarakat, bukan di kawasan konservasi resmi. Pendekatan berbasis partisipasi masyarakat dilakukan, seperti menetapkan beberapa danau sebagai kawasan perlindungan lokal. “Kami juga mengupayakan restorasi vegetasi di sekitar danau untuk menjaga kelestarian habitat. Selain itu, masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan dan pengawasan habitat kura-kura,” kata Kayat.

Potensi ekonomi dari konservasi kura-kura, menurutnya, juga dapat menjadi daya tarik masyarakat. “Dengan strategi ini kami berharap masyarakat dapat melihat konservasi bukan hanya sebagai tanggung jawab, tetapi juga peluang ekonomi,” ujarnya.

Kayat menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, baik pusat maupun daerah, peneliti, dan masyarakat. Dia optimistis melalui pendekatan ilmiah dan kolaborasi aktif, populasi kura-kura rote dapat dipulihkan.

“Semoga kura-kura rote yang kini hampir punah dapat kembali menjadi bagian penting dari ekosistem Pulau Rote. Generasi mendatang harus punya kesempatan melihat spesies ini hidup di alam liar,” ujar Kayat.

Pernah Melimpah

Kura-kura rote pertama kali diidentifikasi sebagai spesies baru pada 1994. Sebelumnya, spesies ini dianggap sama dengan kura-kura leher ular Papua. Pada dekade 1970 hingga 1990-an, populasi kura-kura ini masih melimpah. Kura-kura rote sering ditemukan oleh petani saat membajak sawah. Namun, populasi mereka mulai menyusut drastis akibat perburuan liar dan perusakan habitat. “Pada 2005, penjualan kura-kura rote terakhir kali tercatat, dan sejak itu spesies ini dinyatakan punah secara de facto di alam liar,” kata Kayat.

Meski demikian, pemerintah baru memberikan perlindungan resmi pada 2018 melalui Permen LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Selain itu, peran dari Species Specialist Group (SSG) sangat penting untuk menilai dan mengambil keputusan status spesies.

Habitat asli kura-kura rote yang berupa persawahan dan danau alami terus menyusut. Dari 33 lokasi habitat historis, hanya tiga danau yang masih layak dihuni, yaitu Danau Ledulu, Danau Lendeoen, dan Danau Peto. Semuanya milik masyarakat dan berada di luar kawasan hutan. Aktivitas pertanian intensif, penggunaan pestisida, dan perubahan fungsi lahan menjadi penyebab utama degradasi habitat.

Ancaman lain berasal dari predator seperti babi hutan dan ikan gabus yang memangsa telur dan anakan kura-kura. Selain itu, masuknya spesies invasif dan limbah beracun di sekitar habitat turut memperburuk kondisi konservasi. Karena itu, Kayat menegaskan konservasi kura-kura rote menjadi pengingat penting akan tanggung jawab manusia terhadap keberlanjutan keanekaragaman hayati. Dengan dedikasi dan kerja sama, menurut dia, pelestarian spesies ini bukanlah hal yang mustahil.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus