Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia mendorong semua pemangku kepentingan untuk menerapkan Deforestation and Conversion-Free (DCF) untuk pengelolaan komoditas pangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Climate Market and Transformation WWF Indonesia Irfan Bakhtiar mengatakan, konsep ini memang belum terlalu banyak dibicarakan di kalangan perusahaan. “Intinya untuk memastikan bahwa bahan baku, komunitas tidak akan membuat produksi yang menyebabkan hilangnya ekosistem alam,” ujarnya saat acara diskusi di Jakarta, Selasa, 19 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsep ini, kata Irfan, diperkenalkan seiring dengan akan berlakunya kebijakan European Deforestation Regulation (EUDR) untuk komoditas pangan impor di Uni Eropa. Kebijakan Ui Eropa ini akan mewajibkan setiap produsen tidak melakukan deforestasi dalam kegiatan produksi dan mengharuskan keterlacakan rantai produksi.
Komoditas yang akan kena aturan EUDR di antaranya kelapa sawit, kayu, karet, kakao, kopi, kedelai, dan daging sapi. Pada awalnya, EUDR akan diterapkan pada Desember 2024, namun ditunda selama tahu tahun.
Irfan mengatakan, pemerintah daerah berperan penting juga untuk mengawasi tata kelola komoditas, khususnya kelapa sawit yang paling besar produksinya di Indonesia. Saat ini, pemerintah juga sedang merapihkan tata kelola perkebunan kelapa sawit.
Salah satunya, kata Irfan, dengan membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Selain itu juga penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025. ”Kami berharap, langkah penertiban kelapa sawit di kawasan hutan juga diikuti dengan penyelesaian yang selaras kaidah keberlanjutan dan aturan yang ada,” ucapnya.
WWF Indonesia sendiri mendukung pengembangan model produksi kelapa sawit berkelanjutan melalui pendampingan dan pelatihan kepada petani. Sebagai contoh, saat ini tercatat sebanyak 458 petani terhimpun dalam Koperasi Rimba Harapan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Para petani itu dibantu WWF Indonesia dalam mengelola 1.033,22 hektare lahan kelapa sawit dengan kapasitas produksi 19.764 ton Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit per tahun. WWF Indonesia menggunakan aplikasi HAMURNI untuk pencatatan informasi rantai pasok, legalitas, dan geolokasi yang selaras dengan prinsip serta kriteria RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil).
Direktur PT Smart Tbk. (Sinar Mas) Agus Purnomo mengatakan, meski aturan EUDR diundur, tapi masih menyisakan tanda tanya bagi kalangan pebisnis. Setelah pergantian pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto, belum ada kementerian yang menangani segala urusan yang berhubungan dengan EUDR. “Kami paling bingung adalah siapa koordinator lintas kementerian yang akan menangani aspek negosiasi, persiapan, dan berbagai hal terkait EUDR,” tuturnya.
Pilihan Editor: Mengapa UU Kehutanan Perlu Segera Direvisi