Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Penggelapan atau Penghindaran Pajak?

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lin Che Wei, C.F.A.*) *) Penulis adalah Research Director SG Securities (tulisan ini merupakan pendapat pribadi) INDONESIAN Corruption Watch (ICW) menuduh Bank Panin telah melakukan penggelapan pajak deposito. Ini tuduhan yang berat, terutama karena pajak merupakan masalah yang akhir-akhir ini menjadi hal yang sangat sensitif dengan makin pentingnya kontribusi perpajakan dalam menambal APBN. Menurut pendapat penulis, tuduhan ICW itu kuranglah tepat. Kasus ini lebih tepat disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance), bukan penggelapan pajak (tax evasion). Ada perbedaan yang sangat prinsipiil di antara keduanya. Kasus penggelapan pajak terjadi bila si wajib pajak tidak membayar kewajibannya. Sedangkan dalam kasus penghindaran pajak, sang wajib pajak menemukan suatu cara untuk menghindari pajak melalui suatu mekanisme yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Yang berlaku dalam kasus Bank Panin Tbk. dan offshore unit-nya, Panin Bank International Inc. (PBII), merupakan suatu praktek perbankan yang lazim di Indonesia. Bukan hanya Bank Panin yang melakukan praktek semacam ini, tapi juga beberapa bank swasta dan bank asing yang menawarkan alternatif deposito kepada deposannya. Tawaran seperti ini jelas menarik bagi para deposan. Sebab, dengan menaruh dananya di offshore bank, mereka bisa menghindari pajak dan mendapatkan yield yang lebih tinggi. Tapi ada alasan yang lebih "politis" yang menyebabkan offshore banking makin berkembang. Rupanya, banyak pihak tertentu, terutama pejabat pemerintah, BUMN, dan debitor kakap, yang menaruh uangnya di offshore bank untuk menghindari pengawasan pemerintah ataupun publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kekayaan pejabat Orde Baru yang disembunyikan melalui offshore banking facilities. Bagaimanapun, menurut pendapat penulis, bukan deposanlah yang harus disalahkan dalam persoalan ini. Tanggung jawab ada pada Direktorat Pajak dan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional yang membiarkan menjamurnya praktek offshore bank. Kembali ke soal penggelapan pajak. Meskipun secara legal pihak Bank Panin tidak dapat dibuktikan menggelapkan pajak, penawaran offshore banking facilities melalui cabang-cabang domestik--meskipun lazim dilakukan oleh bank swasta dan bank asing--tidaklah etis dipandang dari sudut moral dan prinsipal. Dalam hal ini, pihak Bank Indonesia harus melakukan moral-suasion untuk mencegah pemasyarakatan produk seperti ini. Pemandangan di saat krisis beberapa tahun lalu, ketika nasabah berjejal-jejal untuk mendapatkan pembukaan formulir offshore bank di bank asing yang paling terkemuka di Indonesia, hendaknya tidak terjadi lagi. Sampai detik ini, offshore banking facilities masih ditawarkan oleh bank-bank asing, meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi seperti layaknya penjualan ekstasi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana cara kita menghindarkan praktek seperti ini untuk meminimalisasi kerugian negara. Kerugian yang terbesar dari praktek offshore bank bukanlah dari segi pajak, tapi lebih dari itu adalah pelarian modal ke luar negeri. Hal ini bisa terlihat dengan makin menyusutnya dana deposito di bank-bank dalam negeri. Menurut pendapat penulis, alasan utama yang justru paling merugikan dan membuat makin menjamurnya praktek offshore bank adalah buruknya struktur dan tidak efisiennya sistem perpajakan kita. Harus diakui bahwa sistem self-assessment yang diterapkan oleh sistem perpajakan kita, ditambah dengan sangat tingginya kebocoran akibat praktek korup oleh aparat perpajakan, memberikan insentif yang luar biasa besar kepada deposan untuk menaruh uang di luar negeri. Dalam sistem self-assessment, pihak yang bertanggung jawab dalam pembayaran pajak deposito adalah deposan itu sendiri. Sistem perpajakan yang tidak efisien ini menyebabkan orang cenderung menaruh dananya di luar negeri. Hal ini ironis karena pajak deposito yang seharusnya bisa membantu pendapatan negara justru menyebabkan lebih banyak dana lari ke luar negeri. Penulis sudah pernah mengingatkan ICW agar lebih berhati-hati dalam mengamati kasus ini. Intensifikasi dari pelacakan deposito yang tidak terkoordinasi dengan baik, meskipun tujuannya mulia, bisa menjadi bumerang. Penyebabnya ada tiga hal. Pertama, hal ini bisa menjadi bahan para oknum perpajakan untuk melakukan pemerasan kepada pihak-pihak perbankan tanpa meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Kedua, pembeberan data tentang depositor di bank lokal, yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang kerahasiaan perbankan, dapat menimbulkan krisis kepercayaan terhadap bank-bank lokal, padahal praktek offshore banyak juga ditawarkan oleh bank asing. Ketiga, pelarian modal ke luar negeri mungkin justru makin meningkat--hal yang secara langsung akan mengurangi jumlah dana di bank-bank domestik, dan menimbulkan tekanan yang lebih besar terhadap rupiah--karena dengan dibatasinya perdagangan rupiah di luar negeri, deposan justru akan menukarkan uangnya ke mata uang asing sebelum mereka menaruh dananya di luar negeri. Untuk menghindarkan masalah di atas, penulis mengusulkan langkah strategis yang harus diamati oleh semua pihak yang terkait. Kepada petugas di Direktorat Pajak, sistem perpajakan bukan hanya harus memfokuskan pendapatan pajak semata, tapi juga harus menjaga kepentingan keberadaan dana di perbankan nasional. Sistem perpajakan yang terlalu menekankan pendapatan semata justru akan membuat penempatan dana di luar negeri yang sangat sulit dijangkau oleh aparat perpajakan kita. Penulis juga menilai intensifikasi perpajakan tanpa dibarengi perbaikan mutu dari aparat perpajakan itu sendiri akanlah sia-sia. Kepada Bank Indonesia, pengawasan offshore banking facilities haruslah juga memperhatikan dampak dari globalisasi. Dengan sistem finansial yang makin global serta pergerakan modal yang makin dinamis dan cepat, pihak perbankan perlu membuat perundang-undangan yang dapat mengawasi offshore banking facilities yang ditawarkan kepada warga negara Indonesia tanpa menimbulkan ketakutan akan adanya capital control yang justru bisa membuat pelarian modal yang lebih besar. Kepada ICW, penanganan kasus deposito yang berada di luar negeri sebaiknya difokuskan pada dana-dana yang dilarikan oleh para oknum pejabat, BUMN, dan debitor nakal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus