Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri dan Penasihat Senior Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati Drwiega, meragukan komitmen pemerintah dalam mengatasi persoalan sampah di Indonesia. Dia menilai pernyataan Menteri Lingkungan Hanif Faisol Nurofiq ihwal rencana memperketat larangan impor sampah plastik sekadar bentuk pencitraan yang tak menyelesaikan akar persoalan pada buruknya pengelolaan limbah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuyun mengatakan, mustahil menghentikan praktik impor sampah plastik tanpa perencanaan yang matang. Sebab, sebagian besar importir selama ini punya kontrak dengan mitra dagang di negara lain untuk 3-6 bulan dengan harga tertentu. Sementara itu, industri juga terus membutuhkan bahan baku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sampah impor dilakukan industri karena pasokan bahan baku dari dalam negeri tidak ajeg. Pemasok lokal atau dalam negeri tak bisa diandalkan, tidak profesional. Kualitasnya juga rendah, misalnya botol PET (Polyethylene Terephthalate) tipis dan kotor," kata Yuyun ketika dihubungi Tempo pada Sabtu, 9 November 2024.
Nexus3 Foundation, atau dulu dikenal sebagai Balifokus Foundation, merupakan organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk melindungi populasi yang rentan terkena dampak dari pembangunan terhadap kesehatan dan lingkungan. Mereka fokus mengkampanyekan pengurangan bahan kimia berbahaya, termasuk mendorong penguatan kebijakan pengelolaan limbah nasional.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengaku telah mendapatkan arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto agar menghentikan impor sampah plastik. Ia mengatakan tidak akan lagi menerbitkan izin untuk impor sampah plastik tersebut. "Tahun 2025 sudah tidak lagi," kata dia saat melakukan pemantauan tempat pembuangan sampah ilegal di Gunung Putri, Bogor, Senin, 4 November 2024.
Menurut dia, pelarangan impor sampah ilegal tidak akan mengganggu industri daur ulang plastik nasional karena bahan baku yang dibutuhkan juga tersedia di dalam negeri. "Sudah kita jangan lagi dibodohi negara-negara itu," kata dia.
Merujuk Basis Data Statistik Perdagangan Komoditas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UN-Comtrade, sedikitnya 22.000 ton sampah plastik dari Australia dikirim ke Indonesia pada kurun waktu 2023-2024. Angka ini naik 27,9 persen dibandingkan periode sebelumnya yang hanya 16.100 ton. Sementara itu, Jepang mengirim sampah plastiknya sekitar 12.460 ton ke Indonesia pada 2023, atau meningkat 14,37 persen dibandingkan 2022 yang hanya 10.670 ton.
Menurut Yuyun, Indonesia perlu belajar dari Cina yang punya kebijakan pelarangan impor limbah. Negeri Tirai Bambu itu melakukan transisi selama tiga tahun untuk menutup keran impor limbah. Semula Beijing hanya melarang importasi 24 jenis limbah, kemudian meningkat menjadi 32 jenis limbah. Persentase kontaminan limbah dalam kegiatan impor juga diturunkan bertahap, dari 1,5 persen kontaminan menjadi nol persen.
Yuyun mengingatkan, saat ini sudah ada Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian, dan Kepala Kepolisian RI untuk memastikan kontaminan dalam sampah plastik dan kertas yang impor tak lebih dari 2 persen. Namun, Yuyun meragukan implementasinya di lapangan, baik dalam pengecekan dan penegakan hukum yang serius bagi para pelanggarnya. "Bahkan kasus-kasus sampah impor yang bermasalah lima tahun terakhir tidak ada yang ditangani serius," ujarnya.
Selain itu, kata Yuyun, salah satu persyaratan impor limbah—dalam pernyataan pakta integritas yang harus ditandatangani importir—menyatakan bahwa importasi hanya diperbolehkan sebanyak 50 persen dari kapasitas terpasang di pabrik. Selebihnya, produsen pengguna bahan baku sampah plastik, harus mengupayakan penemuhan kebutuhannya dari pasokan dalam negeri. "Tetapi sejauh ini tidak pernah ada laporan yang memantau hal ini atau dapat diakses oleh publik," kata Yuyun.
Menurut Yuyun, impor sampah untuk bahan baku daur ulang plastik, kertas, tekstil, barang elektronik, dan industri daur ulang lainnya terjadi karena tidak ada peta jalan daur ulang dan implementasi dari sustainable consumption and production pattern (SDG12). Karena itu, dia khawatir industri plastik dan kertas akan melayangkan protes jika impor dihentikan tiba-tiba akhir tahun ini.
Yuyun mengakui permintaan pasokan dari para bandar lapak, baik melalui kelompok-kelompok pemulung maupun bank sampah, akan meningkat dengan penutupan impor limbah. Namun, harga beli dari pabrik akan rendah karena kualitas sampah yang juga rendah dan kotor. "Hal ini akan merugikan para bandar karena mereka sudah mengeluarkan dana terlebih dahulu untuk membeli dari pemulung dan bank sampah," ucapnya.
Oleh karena itu, Yuyun berharap rencana pengurangan sampah impor dilakukan secara bertahap. Koordinasi antar-instansi juga harus sangat baik. Begitu pula komunikasi perlu dilakukan dengan jelas kepada pelaku industri di sepanjang rantai nilai. "Dengan begitu semestinya dampak penghentian atau penutupan keran impor akan positif pada pola produksi dan konsumsi di Indonesia," kata Yuyun.
Kendati demikian, Yuyun mengingatkan, pendekatan ekonomi sirkuler dan prioritas pengelolaan sampah harus bernilai ekonomis. Artinya, kebijakan tidak bisa selalu dipaksakan. Limbah dalam negeri yang tidak bernilai ekonomis, menurut dia, harus tetap dikelola dengan baik dan benar. Penganganan limbah dalam negeri harus didorong agar menerapkan pengelolaan wawasan lingkungan atau environmentally sound management.
Yuyun menilai, solusi "berwawasan lingkungan" yang ditawarkan pemerintah dan produsen selama ini salah kaprah dan cenderung sebagai praktik greenwashing. "Misalnya mendorong solusi penanganan sampah dengan tungku-tungku bakar, pembakaran terbuka, dan menjadi bahan bakar RDF," kata dia. "Itu semua akan meningkatkan sebaran racun ke lingkungan."