RATUSAN petani, dengan cangkul di tangan telah bersiap di lereng bukit di Desa Made. Udara panas dan matahari mulai menyengat. "Kami menunggu komando dari Bapak Presiden," kata Prawiro. Dia, dan teman-temannya, memegang cangkul dalam pakaian necis. Celana panjang dan baju batik. Ketika Presiden Soeharto memukul kentongan dengan nada doro muluk - sebagai pertanda akan dimulainya sesuatu - Prawiro, dan yang lain, mengayunkan cangkulnya. Itulah pertanda Pekan Penghijauan Nasional (PPN) dimulai. Pak Harto, yang kemudian diikuti oleh pejabat yang lain, turut pegang cangkul dan menanam pohon beringin putih di Desa Made, Wonogiri, Jawa Tengah, yang tahun ini diJadikan pusat upacara dimulainya Pekan Penghijauan Nasional. Sudah 25 tahun lamanya, PPN diperingati. Semula, peringatan yang jatuh di akhir Desember ini diilhami oleh Hari Pohon di tahun 1955. Kemudian di tahun 1961, dijadikan Pekan Penghijauan Nasional dengan lokasi Gunung Mas, Bogor. Sejak itu, PPN, kecuali 1965, tetap diperingati. Dan sejak 1975, peringatannya selalu dihadiri oleh Pak Harto. PPN, seperti kata Direktur Penghijauan dan Pengendalian Perladangan, Departemen Kehutanan, Ir. Sutisna Wartaputra, antara lain bertujuan untuk mengingatkan kembali akan program penghijauan itu. "Tapi yang lebih penting," kata Sutisna, "PPN dijadikan evaluasi tahunan kami." Selain itu, lokasi upacara juga diharapkan jadi lokasi acuan untuk gerakan penghijauan. Desa Made yang dialiri Sungai Tempel, berada dalam DAS (daerah aliran sungai) Bengawan Solo, yang menurut hasil seminar antardepartemen di Yogya, sebulan sebelum hari PPN, masuk dalam klasifikasi kritis yang serius. Sebab, dari Sungai Tempel inilah, lumpur yang berasal dari bukit-bukit Gunung Seribu ditampung. Dari Tempel dimuntahkan ke Sungai Keduwang, kemudian akhirnya mengendap di perut waduk Gajah Mungkur, yang berada di sebelah barat Made. Jadi, bisa dimengerti mengapa pekan penghijauan kali ini memilih Made. Sebab, lumpur itulah yang menurut beberapa penelitian membuat waduk yang baru rampung di tahun 1981 dengan biaya sekitar Rp 70 milyar ltu hanya akan tahan separuh dari umur yang direncanakan 50 tahun (TEMPO, 30 Maret, 1985). Ini gara-gara - seperti yang terjadi juga di tempat-tempat lainnya terjadinya perusakan di lingkungan daerah aliran sungai. Meski sekitar 41 ribu jiwa telah melakukan jebol desa ke Sitiung, Sumatera Barat, penduduk sekitar Gajah Mungkur yang tertinggal tetap menggarap tanah seluas 135 ribu ha yang sebetulnya masuk dalam kawasan tangkapan hujan (catchment area). Mustahil kalau tanah garapan seluas itu dihutankan kembali. "Rakyat memang lapar lahan," ujar Menteri Kehutanan Sudjarwo kepada TEMPO. "Idealnya, luas hutan di Wonogiri paling tidak 30%," kata Sudjarwo, sebagai resep mujarab untuk memperpanjang usia waduk Gajah Mungkur. Sedangkan hutan yang ada kini cuma 7%. DAS yang kritis, yang menyebabkan tanah tandus dan menghancurkan waduk-waduk besar di Indonesia, bukan hanya di Bengawan Solo. Evaluasi Departemen Kehutanan terakhir kali mencatat bahwa dari 81 DAS yang ada di Indonesia, 36 dianggap kritis. Dari 36 DAS itu, masih ada 22 yang masuk dalam kategori mencolok sekali kekritisannya dan harus dibenahi segera. Termasuk antara lain DAS Bengawan Solo itu. Bagi usaha-usaha penghijauan dan reboisasi, DAS yang kritis bukan satu-satunya "musuh". Penggundulan hutan oleh pemegang HPH yang tak bertanggung jawab, peladang berpindah, dan proyek transmigrasi yang salah letak merupakan penyebab utama. "Sumber daya alam kita banyak menghadapi tantangan," kata Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Ir. Wartono Kadri. Pemerintah sendiri sadar bahwa masalah lahan kritis tak juga kunjung reda. Terbukti dari anggaran yang dikeluarkan jumlahnya sudah milyaran. Tercatat, anggaran untuk program reboisasi (penghutanan kembali kawasan hutan) sejak 1976/1977 sampai 1983/1984 sebesar Rp 204 milyar. Target yang dihutankan kembali seluas 1,97 juta ha. Tapi yang terealisasi cuma 1,34 juta ha. Sebanyak 63 juta ha tak tergarap. Sedangkan anggaran untuk penghijauan (yang berada di luar kawasan hutan) dalam waktu yang sama seperti di atas, sebesar Rp 236 milyar. Sedianya, akan dihijaukan 5,4 juta ha. Tapi yang bisa digarap cuma 4 juta ha. Nyatanya, memasuki Pelita IV, Departemen Kehutanan mencatat ada 4,8 juta ha lahan kritis yang harus ditanggulangi. Dari jumlah itu, 2,7 juta ha adalah lahan garapan penghijauan. Menyimak angka-angka dari Pelita yang satu ke Pelita berikutnya, lahan kritis bukannya semakin habis. Tapi justru semakin meluas. Belum lagi anggaran untuk ini diganggu oleh adanya beberapa kasus korupsi yang sempat disidangkan di pengadilan. Penyebab lainnya datang dari kacaunya koordinasi antar instansi pemerintah. Misalnya, 3.500 ha lahan hutan produksi, yang sudah rampung direboisasikan, dibabat habis oleh pihak transmigrasi. Kasus yang merugikan seperti di Muaraenim dan Musi Banyuasin di Sumatera Selatan inilah yang rupanya unsur utama naiknya angka-angka lahan kritis. "Kasus seperti di Sumatera Selatan itu memang sering sekali terjadi," kata Menteri Transmigrasi Martono. Dengan nada menyesal, Martono juga berkata bahwa lahan didapat dari pihak Pemda. "Sayangnya," ujar Martono lagi, "ketika land clearing dilaksanakan, tak ada pihak mana pun yang protes. Masalah tanah, selain selalu rawan, juga banyak peminatnya. Sering, beberapa instansi mempunyai minat pada lahan yang sama. "Seperti kasus di Lahat, tanah untuk proyek transmigrasi itu kemudian dijadikan lahan PIR," tutur Martono." Nah, kalau begini soalnya, apakah usaha Pekan Penghijauan yang sudah berumur seperempat abad ini bermanfaat besar? Toeti Kakiailatu Laporan Kastoyo Ramelan (Solo) & Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini