ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) cabang Daerah Istimewa Aceh beberapa waktu yang lalu mengadakan seminar ilmiah. Temanya: Meningkatkan Mutu Pendidikan di Aceh. Ketua ISPI Pusat, yang juga pejabat tinggi Departemen Pendidikan & Kebudayaan, unsur kanwil-kanwil, dan Muspida tingkat provinsi hadir di malam pertama. Di akhir seminar saya diminta, mungkin sebagai satu-satunya wakil mancanegara dan orang akademis yang bukan sarjana pendidikan, mengajukan komentar. Saya panik sejenak: terus terang saya masih awam di dunia mereka, meski sudah lama tertarik pada kebijaksanaan pendidikan sebagai obyek penelitian. Tetapi memang ada sebiji observasi yang selama satu setengah hari dipupuk terus oleh setiap pemrasaran, dan sudah tumbuh menjadi pendapat yang saya inginkan sekali melontarkannya kepada peserta seminar. Singkatnya, saya terkesan oleh tiga hal. Pertama, di provinsi yang tidak banyak penduduknya ini, keahlian bidang pendidikan sudah dapat dibanggakan. Cita-cita sarjana pendidikan dan kekurangan-kekurangan sistem persekolahan yang sekarang diungkapkan secara jelas, tajam, dan persuasif. Kedua, dengan anggota dan pemimpin sebagian besar pegawai negeri (seperti organisasi-organisasi profesi lainnya di Indonesia), ISPI sekaligus wakil masyarakat sarjana pendidikan dan bagian integral dari sistem pemerintahan. Ketiga, dan inilah penemuan yang mengagetkan, keahlian yang sudah lumayan itu dan kedudukan politik yang strategis tadi tidak bertemu di dalam rekomendasi-rekomendasi pemrasaran. Saran-saran mereka seakan terpisah sama sekali dari siasat politik ataupun pengertian yang dalam tentang pengambilan keputusan pemerintah di bidang pendidikan. Dua ilustrasi mungkin cukup untuk menjelaskan kesan saya yang ketiga. Pertama, salah seorang penyaji makalah mempersoalkan kekurangan minat siswa SMTP dan SMTA untuk masuk sekolah kejuruan. Beberapa rekomendasi dianjurkan, antara lain supaya penjelasan yang diberikan pihak berwajib kepada siswa dan orangtua ditingkatkan. Kedua, beberapa pembicara mempersoalkan mutu siswa SPG sekarang yang konon rendah dibandingkan pada siswa SGA sepuluh atau lima belas tahun lalu. Sebagai pemecahan, disarankan penyaringan pelamar SPG yang lebih ketat. Kenapa rekomendasi-rekomendasi itu kurang mengenai sasaran? Dilihat dari perspektif ilmu politik, ada faktor-faktor tuntutan dan respons yang tentunya harus diperhitungkan. Faktor tuntutan itu adalah peledakan hasrat masyarakat untuk menikmati manfaat pendidikan. Hasrat ini harus pula dimengerti dalam konteks sosial politik - kenyataan bahwa status pegawai kantoran dipandang setinggi langit oleh sebagian besar masyarakat. Jadi, kebanyakan siswa dan orangtuanya bersedia mengambil risiko gagal pada setiap jenjang struktur pendidikan umum, dari SD sampai universitas, meski risiko itu sangat besar, karena keuntungan yang mereka harapkan dinilai lebih besar. Sebagai respons terhadap peledakan hasrat itu, pemerintah sudah mengambil langkah yang pada pendapat saya bersifat demokratis dan politis. Demokratis karena pemerintah berusaha membangun sekolah-sekolah sesuai dengan kemauan sebagian besar rakyat. Politis karena dengan pengambilan keputusan membangun sebanyakbanyaknya sekolah umum (khususnya SD) sejak 1974 - ketika uang minyak mulai berlimpah - kedudukan politik pemimpin nasional diperkukuh. Tentunya, pelaksanaan kebijaksanaan itu telah menimbulkan tuntutan baru. Lulusan SD ingin melanjutkan ke SMP, lulusan SMP ingin ke SMA dan seterusnya. Dan pemerintah, dengan berbagai pertimbangan - termasuk bahwa perluasan yang terlampau cepat bisa menyebabkan keresahan pada orang-orang terdidik yang menganggur - sedang mencari jalan keluar. Dengan latar belakang sosial dan politik ini kita bisa kembali kepada kedua contoh tadi. Rupanya, sudah menjadi konsensus para sarjana pendidikan: di Indonesia diperlukan guru-guru bermutu tinggi dan orang-orang yang punya keterampilan dan keahlian khusus. Cara manakah yang terbaik untuk mencapai sasaran-sasaran mulia itu? Kiranya jelas, mutu siswa SPG yang rendah tidak akan dinaikkan dengan penyaringan. Kalau rata-rata mutu pelamar rendah, apa yang akan dihasilkan oleh penyaringan ? Jelas pula bahwa persoalan kekurangan minat pada SPG tldak akan dipecahkan dengan menggencarkan penerangan. Para siswa dan orangtua sudah punya gambar yang bagi mereka cukup gamblang: dunia kantoran gilang-gemilang, duma tukang maupun guru gelap-gulita. Kepincangan-kepincangan dalam struktur insentif pendidikan, ketika murid tidak tertarik lagi kepada SPG atau sekolah kejuruan tentunya disebabkan oleh pola tuntutan dan respons sosial politik yang tadi. Menyembuhkannya tentu saja tidak bisa diusahakan dengan "pertolongan pertama pada kecelakaan", melainkan dengan perubahan kebijaksanaan itu sendiri. Bagaimana caranya mengubah sebuah kebijaksanaan yang telah memuaskan begitu banyak orang, termasuk para pejabat yang merumuskannya, dan sudah memetik manfaatnya berupa dukungan politik? Saya kaget membaca saran-saran ISPI yang seakan tidak menghiraukan dimensi politik dari perjuangannya. Tetapi sebetulnya tidak fair menyalahkan para ahli pendidikan itu, yang sudah ikut berperan sampai batas kemampuan mereka sebagai profesional. Langkah lanjut yang tepat adalah masukan dari rekan-rekan seprofesi saya, para ilmuwan politik. Sayangnya, belakangan ini kami lebih tertarik pada topik-topik yang glamorous, seperti pendemokrasian rezim-rezim otoriter dan totaliter, atau hubungan-hubungan borjuasi dan negara, atau teori kritikal. Di suasana intelektual seperti ini, bisakah diciptakan suatu ilmu politik baru, yang lebih responsif kepada pasang-surutnya tuntutan pembangunan? Yang ikut merumuskan dan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian politik dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, dan ikut mencari jalan keluar dari pola-pola tuntutan dan respons yang mengalami kemacetan? Ini bukan perkara kecil. Ini tidak kurang, atau bahkan lebih, dari masalah penggeseran orientasi. Dari para cendekiawan politik diharapkan pengertian yang dalam terhadap pola tuntutan dan respons yang tadi, supaya saran untuk kebijaksanaan baru dapat didasarkan pada suatu pengertian yang canggih tentang keperluan politik pemerintah. Wallahualam, kata teman-teman ilmuwan politik di Serambi Mekkah. Tetapi saya percaya angin baru ini akan bertiup. Zamannya jelas menginginkannya. Prof Dr. R. William Liddle sedang bertugas sebagai tenaga ahli utama pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini