SUDAH sejak dua tahun lalu, Danau Laut Tawar di Aceh Tengah mengenal adanya petugas pembersih. Mereka tidak mengenakan seragam putih dan tidak pula "bersenjatakan" sapu lidi. Bahkan tanpa alat apa pun, kecuali nafsu makan yang besar sekali. Itulah ikan pembersih yang bernama grass carp, pemakan segala jenis rumput dan tanaman yang tumbuh di permukaan kolam atau danau. Ikan yang bentuknya mirip bandeng ini memang diterjunkan ke Danau Laut Tawar dengan misi teramat mulia, yakni membebaskan danau dari berbagai gulma air. Untuk mengemban misi itu tampaknya tak sulit karena ikan itu senang menyantap apa saja, mulai dari rumput Hydrilla, Salvinia, sampai eceng gondok. Mungkin karena ikan itu rakus dan tak pilih-pilih, penduduk sekitar danau di Takengon menjulukinya dengan nama "Torpedo". Sebegitu jauh, si Torpedo memang sudah menunjukkan kebolehannya. Paling tidak Danau Laut Tawar, yang terletak 1.250 meter di atas permukaan laut ini, mulai bersih. Padahal, sebelum Torpedo diterjunkan, lebih dari seperenam danau yang luasnya hampir 8.000 hektare itu dipenuhi Hydrilla dan eceng gondok. Akibatnya, jumlah ikan menurun, sementara eceng berkembang biak. Benar, rumput-rumput itu dapat dimusnahkan dengan cairan kimia, tapi tentu akan berdampak buruk bagi lingkungan. Dan pembersihan secara mekanik membutuhkan dana yang tak sedikit. Maka, untuk melumpuhkan gulma, akhirnya dilepaskan 100.000 ekor ikan Torpedo alias grass carp dalam bahasa Latin disebut Ctenopharyngodon idella. Adalah Gubernur Aceh Ibrahim Hasan, yang waktu itu menceburkan benih Torpedo ke Danau Laut Tawar. Benih ini khusus didatangkan dari Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi, Jawa Barat. Hasilnya, lingkungan danau membaik, ikan pun tumbuh gemuk. Ukuran si Torpedo bahkan memanjang dari ukuran semula 8-12 sentimeter menjadi hampir semeter. Sementara itu, jumlah gulma menyusut. "Selama dua tahun ini, gulma air berkurang hampir 25 persen," ujar Kepala Dinas Perikanan Aceh Tengah, Iskandar Ahmad. Dialah yang mempunyai ide memasukkan ikan tersebut ke Danau Laut Tawar. Tapi, bagaimana sampai si Torpedo bisa mampir ke Indonesia? Menurut Abu Naim, dosen Fakultas Perikanan IPB, grass carp dipandang istimewa karena mau makan tumbuhan apa saja dan sanggup menyantap makanan seberat 135 persen dari bobot tubuhnya. Dua hal itulah yang membuat Torpedo diimpor dari Cina ke Indonesia tahun 1970-an. Tujuannya untuk membersihkan danau dan waduk yang diganggu gulma. Di sini binatang itu tidak banyak berkembang biak. Iskandar hanya ingat, ada Torpedo yang dilepas di Danau Sangihe, Bali, tapi kemudian tak terdengar beritanya. Ia menduga ikan itu sudah punah. Penyebab utamanya mungkin karena ikan ini tak dapat melakukan pemijahan secara alami. Pemijahan atau pengeluaran telurnya harus dilakukan melalui metode kawin suntik. Dari sini benih yang dihasilkan mencapai 60.000-80.000 butir. Ketidaksanggupan Torpedo untuk memijah secara alami di perairan Indonesia tentu ada segi positifnya. Mengapa? Jumlah ikan itu dapat dikontrol, mulai dari balai penelitian tempat ikan itu dipijahkan melalui kawin suntik sampai ke pembudidayaannya. Balai Benih Ikan Sentral di Toweran dekat Takengon kini memelihara 50 ekor calon induk Torpedo, yang kelak juga akan dilepas ke Danau Laut Tawar. Kontrol terhadap populasi Torpedo dianggap perlu, karena dikhawatirkan bila jumlah ikan itu "meledak", keseimbangan ekosistem dapat terganggu. Katakanlah rumput Hydrilla dan eceng gondok habis disantap, mungkin tanaman lain bisa disikatnya. Selain itu, mungkin saja si Torpedo "melompat" ke lahan lain. Misalkan hujan turun lebat, ikan itu akan terbawa arus dan masuk ke sawah. Tak ayal, tanaman di situ pastilah disantapnya juga. Namun, kontrol yang ketat kini belum dilakukan. Soalnya jumlah Torpedo semakin berkurang, dan Iskandar memperkirakan tinggal 25.000 ekor. Ia khawatir, bila jumlah Torpedo terus menyusut, akhirnya dapat punah dan proyek pembersihan Danau Laut Tawar akan gagal. Hal ini mencemaskan Iskandar. Ia menduga, penyebab penyusutan itu adalah penduduk yang diam-diam menangkap Torpedo. Padahal, hal itu terlarang kendati tidak dinyatakan secara tertulis. Memang, harga Torpedo cukup tinggi di Takengon -- per kilogram Rp 2.000 -- padahal berat grass carp dapat mencapai 8-12 kilogram. Sebaliknya, penduduk menuduh si Torpedo gemar memangsa ikanikan kecil. Ia juga didakwa menyerang manusia, karena ada seorang nelayan yang diserbu ikan itu ketika sedang memancing memakai petromaks. Kemungkinan ini dibenarkan P. Sianipar, ketua lembaga penelitian Universitas HKBP Nommensen, Medan. Menurut Sianipar, ikan itu bukanlah pemangsa manusia. Kalau Torpedo menyerbu nelayan, mungkin karena ia bersifat fototaksis, artinya menyenangi cahaya. Jadi, yang dikejarnya cahaya petromaks, bukan nelayan. Sianipar mengakui, ikan itu mungkin saja memangsa ikan kecil, dengan catatan bila tak ada makanan lain. Dan hal ini tidak mungkin terjadi di Danau Laut Tawar karena di situ masih banyak rumput dan tumbuhan. Yang agaknya perlu dipertimbangkan ialah bagaimana memanfaatkan Torpedo semaksimal mungkin, hingga semua kolam, empang, dan danau di Indonesia bersih dari gulma. Diah Purnomowati dan Munawar Chalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini