Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para peneliti telah mengamatinya di alam liar berkali-kali: hewan primata dari babon hingga kera membawa bayinya yang sudah mati. Ini juga terjadi secara teratur di seluruh spesies non-primata, tapi yang tidak jelas adalah motivasi atau alasan di baliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam analisis terbesar dari perilaku pada primata sejauh ini, sebuah studi baru menunjukkan bahwa, sejauh yang diketahui, pembawa mayat bayi bisa menjadi bagian dari proses berduka. Misalnya, ada hubungan antara kekuatan ikatan ibu-bayi dan berapa lama perilaku menggendong itu berlanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian ini melihat total 126 penelitian sebelumnya, yang mencakup 409 kasus ibu primata yang merespons kematian bayinya. Dari 50 spesies primata yang termasuk dalam analisis, 80 persen di antaranya menunjukkan beberapa bentuk perilaku itu.
Antropolog dari University College London (UCL), Inggris, Alecia Carter, menjelaskan bahwa primata mungkin dapat belajar tentang kematian dengan cara yang mirip dengan manusia. Mungkin, kata Carter lagi, diperlukan pengalaman memahami bahwa kematian menghasilkan ‘penghentian fungsi' yang bertahan lama, yang merupakan salah satu konsep kematian yang dimiliki manusia.
"Apa yang kita tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu, adalah apakah primata dapat memahami bahwa kematian itu universal, bahwa semua hewan—termasuk diri mereka sendiri—akan mati,” ujar dia, seperti dikutip dari Science Alert, Senin, 20 September 2021.
Meskipun sulit untuk memastikan apakah primata benar-benar memahami ketika bayi mereka telah mati, penelitian menunjukkan bahwa ibu yang lebih muda lebih mungkin ditemukan dengan perilaku membawa bayi yang sudah mati. Dan bahwa kematian traumatis—seperti kecelakaan atau pembunuhan bayi—lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan perilaku menggendong itu.
Perilaku itu paling sering diamati pada kera besar dan monyet Old World, dua spesies yang rata-rata juga menggendong bayi mereka yang sudah tak bernyawa untuk waktu terlama. Bayi yang mati pada usia yang lebih muda—sehingga dianggap memiliki ikatan yang lebih kuat dengan ibu mereka—digendong paling lama.
Faktor-faktor lain yang dipertimbangkan, seperti iklim, tampaknya tidak berpengaruh, dan membawa bayi yang sudah mati sama sekali tidak universal di 409 kasus. Beberapa primata, seperti lemur, tidak menunjukkan perilaku itu tapi kadang-kadang kembali ke mayat dan melakukan panggilan kontak ibu-bayi.
Seorang antropolog biologi dari UCL, Elisa Fernández Fueyo, menerangkan, ibu primata dapat memperoleh kesadaran yang lebih baik tentang kematian dan oleh karena itu 'memutuskan' untuk tidak membawa bayi mereka yang sudah mati. “Bahkan jika mereka, bisa jadi, masih mengalami emosi terkait kehilangan," tutur Fueyo.
Seperti yang ditunjukkan oleh para peneliti, sejarah evolusi bersama manusia berarti bahwa ikatan sosial primata cenderung mirip dengan manusia. Namun, studi lebih lanjut akan diperlukan untuk memahami lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi soal perilaku menggendong bayi yang sudah mati.
Menurut Fueyo, ada kemungkinan bahwa manusia purba memperlakukan kematian bayi dengan cara yang sama seperti yang terlihat pada hewan primata kini. "Dan ritual seputar kematian yang manusia miliki di zaman modern berkembang dari titik itu."
Sekarang tim sedang mencari hubungan lain antara manusia dan primata dalam hal perilaku thanatologis—ilmu yang mempelajari kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, mereka telah meluncurkan situs web bernama ThanatoBase untuk para peneliti merekam lebih banyak pengamatan tentang bagaimana primata bertindak di sekitar kematian dan bagaimana perasaan mereka tentang hal itu.
Carter juga menjelaskan bahwa studi yang dia lakukan memiliki implikasi tentang bagaimana kesedihan diproses di antara primata non-manusia. Menurutnya, sudah diketahui bahwa ibu manusia yang mengalami kelahiran mati dan mampu menggendong bayinya cenderung tidak mengalami depresi berat, karena mereka memiliki kesempatan untuk mengekspresikan ikatan mereka.
"Beberapa induk primata mungkin juga membutuhkan waktu yang sama untuk mengatasi kehilangan mereka, menunjukkan betapa kuat dan pentingnya ikatan keibuan bagi primata, dan mamalia pada umumnya,” kata Carter yang penelitiannya dipublikasikan di Proceedings of the Royal Society Publishing.
SCIENCE ALERT | PROCEEDINGS OF THE ROYAL SOCIETY PUBLISHING