Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Intimidasi dan ancaman penggusuran lahan masyarakat adat demi program pembangunan masih terjadi.
Perempuan adat yang dahulu hanya ditempatkan di dapur, berhasil menjadi motor gerakan.
Terus dihantui intimidasi dan berhadapan dengan ancaman kekerasan.
KEJADIAN pada 12 April 2018 tak akan pupus dari ingatan Hermina Mawa, 47 tahun. Kala itu, perempuan masyarakat adat Desa Rendu Butowe, Nusa Tenggara Timur, ini dicekik polisi wanita saat berdemonstrasi menolak penggusuran kampung adatnya yang akan dijadikan Waduk Lambo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Insiden serupa hampir terulang pada Kamis, 9 Desember lalu, sehari sebelum berakhirnya 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan. “Polisi mendorong kami dan mencekik beberapa perempuan sambil memaksa membongkar pagar di pos jaga,” kata Hermina, Kamis, 9 Desember lalu.
Hari-hari perempuan yang akrab dipanggil Mama Mince ini menjadi berbeda sejak wacana pembangunan Waduk Lambo kembali mencuat pada 2015 setelah terkubur lama. Rencana pembangunan bendungan di Lowo Se yang merupakan tanah hak ulayat masyarakat adat Rendu, Ndora, dan Lambo, pertama kali bergulir pada 2001. Usia Mama Mince 27 tahun saat itu. Penolakan dari masyarakat adat sepanjang 2001-2002 membuat pemerintah membatalkan rencana tersebut.
Tiba-tiba, saat mengunjungi Bendungan Raknamo di Kupang pada 2015, Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan tujuh waduk dan 100 embung di NTT, salah satunya Waduk Lambo. Jokowi mengklaim pembangunan ini bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian. Pada 2016, Mama Mince dan para perempuan adat di Rendu Butowe menjadi garda terdepan dalam menghadang mobilitas proyek. Keberanian perempuan-perempuan adat Rendu Butowe itu pun menular ke Desa Labolewa dan Ulupulu.
Salah satu alasan para perempuan adat Rendu menolak proyek Waduk Lambo, kata ketua kelompok tani Rendu ini, adalah kurangnya transparansi dalam penjabaran rencana pembangunan. Indikatornya, kata Mama Mince, adalah luas lahan yang berubah-ubah. Menurut surat Bupati Nagekeo Elias Djo tertanggal 3 Agustus 2015, luas lahan yang dibutuhkan adalah 431,91 hektare. Belakangan luasnya bertambah menjadi sekitar 706 hektare.
Menurut Mama Mince, masyarakat adat Rendu tidak menolak pembangunan bendungan. Buktinya mereka memberi dua lokasi alternatif, yaitu di Lowo Pebhu dan Malawaka. “Tapi pemerintah berkeras membangun di wilayah hidup kami,” tuturnya.
Direktur Bendungan dan Danau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Airlangga Mardjono, dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Jumat, 10 Desember lalu, mengatakan, apabila bendungan dibangun di Malawaka dan Lowo Pebhu, volume tampungan yang didapatkan sangat kecil dan manfaat yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya pembangunannya. Selain itu, penempatan bendungan di kedua lokasi tersebut akan menyebabkan hilangnya air terjun Ngaba Tata.
Airlangga juga menjelaskan, luas lahan yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 414/KEP/HK/2019 tertanggal 20 Desember 2019 adalah 592,92 hektare. Penetapan lokasi ini diterbitkan di bawah payung Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012). “Pembangunan bendungan sebagai proyek strategis nasional akan dilaksanakan sesuai dengan kaidah umum pembangunan bendungan,” ujar Airlangga.
Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, pembangunan yang menggusur ruang hidup masyarakat dan terutama perempuan adat tak akan pernah membuat mereka sejahtera. “Kehilangan tanah leluhur akan membuat perempuan adat ekstrakeras menyediakan hidup bagi keluarganya,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para perempuan adat Rendu, Lambo dan Ndora saat di pos jaga di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur/Dokumentasi Hermina Mawa
AMAN mencatat pada 2020 ada 40 kasus konflik, naik sementara dibanding tahun sebelumnya saat ada 25 masyarakat adat di 10 wilayah yang menjadi korban kriminalisasi. Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan ada 269 kasus agraria pada 2017 yang di dalamnya termasuk konflik akibat pembangunan. Menurut kajian Komnas HAM, adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 justru memudahkan perampasan tanah masyarakat adat dengan mengatasnamakan pembangunan.
Penggusuran atas nama pembangunan juga terjadi di Desa Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, Kepulauan Aru, Maluku. Rukka menjelaskan, di Marafenfen, masyarakat adat mesti berhadapan dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) yang menyerobot tanah adat seluas 689 hektare untuk pembangunan lapangan udara dan fasilitas lain. Menurut Rukka, sosok Dolfintje Gaelagoy atau biasa dipanggil Mama Do menjadi motor utama gerakan perlawanan.
Koordinator Save Aru Mika Ganobal mengamini pernyataan Rukka. Ia sendiri mengaku tergugah kesadarannya untuk melawan karena terinspirasi oleh perjuangan Mama Do. “Mama Do adalah sosok pahlawan masa kini. Dia tidak takut pada satu pun manusia,” kata Mika. Perjumpaannya dengan Mama Do terjadi pada 2012. Ketika itu, Mika ditanya, “Bagaimana sikap anak-anak muda?” Mika akhirnya meneguhkan hati kelompok pemuda harus ikut barisan Mama Do.
Menurut Rosina Gaelagoy, adik kandung Mama Do, perjuangan kakaknya itu dimulai pada Februari 1991 ketika TNI AL ujug-ujug datang menggunakan helikopter dan langsung memasang patok. “Ayah saya sendiri saksinya,” tutur Rosina. Tak lama setelah itu, aparat kembali lagi dengan membawa akta pelepasan tanah dari 106 masyarakat yang disebut telah dibuat berdasarkan musyawarah.
Menurut Rosina, ada yang janggal dari 106 nama tersebut. Betapa tidak, ada nama seorang yang mengalami retardasi mental sejak lahir, enam orang yang masih berusia 12 tahun pada 1991, dan delapan nama yang sudah tak lagi tinggal di kampung sejak 1991. Demikian pula dalam dokumen ganti rugi kepada 30 warga, ternyata ada dua nama yang masih berusia di bawah umur pada 1991. Selain itu, terdapat 19 nama tanpa memiliki marga.
Mama Do akhirnya memasukkan gugatan atas sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri Dobo pada 31 Maret lalu. Ia meninggal karena sakit Covid-19 pada Juli lalu. Perjuangan Mama Do dilanjutkan oleh Rosina. Menurut Mika, gaya pergerakan Mama Do dan Rosina berbeda. Rosina menjalankan pergerakan dengan membangun jaringan yang lebih luas. Berkat usaha Rosina, pada Oktober lalu, isu Marafenfen akhirnya masuk agenda sinode gereja.
Gugatan yang dilayangkan Mama Do terhadap Gubernur Maluku, TNI-AL, dan Badan Pertanahan Nasional karena mengambil paksa tanah adat Marafenfen ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Dobo pada persidangan 15 November lalu. Namun Rosina dan masyarakat adat Marafenfen tak surut. Mereka kini bersiap untuk banding ke Pengadilan Tinggi.
Komandan Pangkalan Utama TNI AL IX/Ambon Brigadir Jenderal Said Latuconsina tidak menanggapi Tempo yang meminta konfirmasi ihwal tudingan perempuan adat Marafenfen itu. Kepada Antara pada Jumat, 19 November lalu, Said mengatakan tudingan TNI-AL merampas tanah masyarakat adat adalah tidak benar. “Silakan tunjukkan bukti-bukti di pengadilan, saya yakin majelis hakim akan mengambil keputusan obyektif,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo