Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perempuan adat tampil di garda terdepan dalam konflik lahan melawan pengusaha dan penguasa.
Wilayah adat berupa permukiman, kebun, padang penggembalaan ternak, serta tempat adat dan lingkungan alam merupakan wilayah kelola perempuan adat.
Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat harus memuat pengaturan mengenai pengakuan, perlindungan, dan penghormatan hak kolektif perempuan adat.
PERJUANGAN lima perempuan masyarakat adat ini membuktikan bahwa mereka tak bisa dikerangkeng dalam area sesempit dapur, sumur, dan kebun. Mereka justru menjadi garda terdepan dalam melawan perusakan wilayah adat atas nama pembangunan sekalipun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Kampung Ampera, Boven Digoel, Papua, misalnya, Rikaarda Maa menyerukan penolakan atas perusahaan yang hendak memperluas kebun sawitnya hingga ke hutan adat suku Auwyu. Di Kampung Subur, Distrik Subur, Boven Digoel yang bertetangga dengan Kampung Ampera, ada Valentina Wanopka dari Suku Muyu juga menentang perusahaan sawit yang ingin beroperasi di tanah ulayat suku suaminya, Suku Wambon Kenemopte.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lihat juga perjuangan Hermina Mawa dari Desa Rendu Butowe, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perempuan ini menolak rencana pemerintah menenggelamkan permukiman, kebun, padang gembala, dan tempat ibadat suku Rendu demi pembangunan Waduk Lambo. Kegigihan Rosina Gaelagoy dan mendiang kakaknya, Dolfintje, juga layak mendapat acungan jempol. Mereka berusaha merebut kembali hutan adat suku Marafenfen di Kepulauan Aru, Maluku. Lawan kakak-adik ini pun tak main-main: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Meski berbeda latar belakang, Rikaarda, Valentina, Hermina, serta Rosina dan Dolfintje punya satu kesamaan: mewakili kaum minoritas berganda. Kelimanya mewakili para perempuan yang—di masyarakat patriarki—kerap dianggap subordinat laki-laki. Mereka juga mendobrak tradisi sebagian masyarakat adat yang tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks politik nasional, mereka pun mewakili kaum adat yang kerap dipandang sebelah mata.
Tanpa ada yang lantang bersuara seperti Rikaarda dan kawan-kawan pun Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sebetulnya berkewajiban melindungi hak perempuan adat. Dukungan yang paling konkret tentu saja bukan dengan memakai pakaian adat dalam acara resmi kenegaraan. Yang mendesak adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang sekian lama terkatung-katung di DPR.
RUU Masyarakat Hukum Adat seharusnya memuat pengakuan, perlindungan, dan penghormatan atas hak individu dan kolektif perempuan adat. Hak individu—sebagai warga negara dan anggota komunitas—tak bisa dipisahkan dari hak kolektif perempuan adat. Hak kolektif perempuan adat yang harus dilindungi undang-undang antara lain meliputi akses atas pemanfaatan, pengelolaan, serta pengembangan tanah dan sumber daya alam di wilayah adat.
Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat juga sangat penting untuk melindungi hak-hak lain masyarakat adat yang kerap dilanggar. Salah satunya hak atas wilayah adat. Berdasarkan analisis spasial Madani Berkelanjutan, dari sekitar 9,5 juta hektare wilayah adat, terdapat 8,5 juta hektare yang tumpang-tindih, antara lain, dengan izin atau konsesi lahan untuk pengusaha dan area untuk proyek lumbung pangan.
Tak ada alasan bagi DPR dan pemerintah untuk terus menunda pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. Dalih para politikus bahwa pengakuan atas hak masyarakat adat bisa menghambat pembangunan—yang sebetulnya mereka pakai untuk membela investasi—sudah usang dan harus dibuang jauh-jauh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo