Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suara-suara ‘Esok’ dari Stovia

Biennale Jakarta 2021 digelar di Museum Kebangkitan Nasional (bekas Gedung Stovia) dan Museum Nasional. Di Stovia, beberapa karya mencoba berinteraksi dengan koleksi museum.

11 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Biennale Jakarta 2021 mengangkat tema “Esok” dan menampilkan karya puluhan seniman.

  • Berlangsung di Museum Kebangkitan Nasional (Stovia) dan Museum Nasional.

  • Diikuti seniman Indonesia dan mancanegara.

“ITU artefak apa?” ujar seorang perempuan yang baru keluar dari ruang di Gedung B Museum Nasional, Jakarta, tempat diorama prasejarah sampai koleksi prasasti masa Hindu-Buddha disajikan. Perempuan tersebut hendak masuk ke hall Gedung B. Tapi dia terlihat ragu-ragu di pintu masuk. Ia menatap dari kejauhan sebuah “arca” yang agak aneh. “Oh, ini pameran Biennale Jakarta, Mbak, bukan koleksi museum,” kata penjaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan lucu itu terjadi pada Kamis, 9 Desember lalu. Patung yang ditunjuk perempuan yang mungkin anggota rombongan pelajar yang berkunjung karena ditugasi sekolahnya melihat artefak kuno di Museum Nasional tersebut adalah karya perupa Bandung, Alfiah Rahdini. Karya ini memang mirip arca batu. Kita melihat sesosok manusia dalam posisi meditasi, duduk di atas padmasana berupa lotus. Namun bila kita dekati, bukan wajah Buddha yang terlihat, melainkan wajah seorang perempuan berjilbab dan berkacamata. Posisi tangan perempuan berkerudung itu membentuk dharmachakra mudra atau memutar roda darma persis seperti posisi tangan Vairocana yang berada di dalam stupa terawang Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan pertama kalinya gestur arca Buddha digunakan untuk menampilkan gagasan toleransi dan pluralisme. Dolorosa Sinaga, kurator pameran Biennale Jakarta 2021, pernah membuat patung Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam posisi sleeping Buddha atau Buddha menjelang parinibbana. Wajah dan tubuh Buddha diganti dengan wajah dan tubuh Gus Dur. Di Studio Mendut, Jawa Tengah, untuk memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur, seniman Magelang, Cipto Purnomo, membuat patung Gus Dur dalam posisi meditasi sebagaimana arca Buddha di Borobudur. Sayang, hal itu ternyata membuat Dewan Pengurus Pusat Theravada Indonesia melayangkan surat protes.

Pengunjung melihat karya seni yang dipamerkan pada acara Jakarta Biennale di Museum Nasional, Jakarta, 20 November 2021/TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Karya Alfiah Rahdini salah satu karya menarik Biennale Jakarta yang disajikan di Museum Nasional. Di hall itu, karya lain yang reflektif adalah dokumentasi fotografer Korea Selatan, Che Onejoon. Karyanya berupa seri foto berjudul The Gift from Africa. Seri ini menampilkan sebuah proyek “investigasi” Che Onejoon mengenai Korea Utara yang menjadikan patung sebagai diplomasi politik.

Banyak yang tak tahu, sejak 1969, Korea Utara aktif mengirim pematung untuk mendirikan monumen di negara-negara Afrika. Pada 1959, pemimpin Korea Utara, Kim Il-sung, mendirikan Mansudae Art Studio. Mansudae Art Studio boleh disebut sebagai salah satu studio patung terbesar di dunia karena bertanggung jawab mendesain ribuan patung dan monumen propaganda di seluruh penjuru Korea Utara.

Negara-negara Afrika dianggap Kim Il-sung bisa menjadi aliansi. Dia memerintahkan Mansudae Art Studio mendirikan patung para pemimpin Afrika secara gratis di Zimbabwe, Madagaskar, Senegal, Namibia, Ethiopia, dan sebagainya. Baru semenjak kematian Kim Il-sung pada 1994, selanjutnya pembuatan patung di Afrika oleh pemerintah Pyongyang dikenai biaya. Untuk menguatkan wacana foto-foto itu, Che Onejoon menyajikan sebuah kotak kaca berisi buku-buku mengenai politik kekerasan Afrika: The Riddle of Violence karya Kenneth Kunda, Africa Massacres, juga buku Kim Il-sung.

Gagasan segar muncul dari Komunitas Rajut Kejut. Komunitas ini terdiri atas para seniman kerajinan rajut dengan teknik crochet. Secara tak terduga mereka membuat karya crochet berbentuk tumpeng raksasa warna-warni dan diletakkan di atas atap pos polisi Cikini. Miniatur tumpeng crochet berjudul Sesaji Nusantara ini disajikan di pelataran Museum Nasional. Karya Sri Astari berjudul Home berupa sebuah ayunan yang diletakkan di bagian outdoor halaman depan Museum Nasional juga membetot mata. Ayunan itu dikitari jeruji berbentuk seperti tas mahal. Seorang anak kecil pada Kamis, 9 Desember lalu, saya lihat berayunan riang di dalam jeruji.

•••

BAIK Museum Nasional maupun Museum Kebangkitan Nasional adalah site specific. Museum Kebangkitan Nasional, yang berlokasi di bilangan Senen, Jakarta Pusat, adalah bekas Gedung Stovia (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen). Pada 1902, para mahasiswa kedokteran bumiputra kuliah di situ sebelum Stovia pindah ke Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, Salemba (sekarang menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo).

Bentuk denah Stovia berupa selasar berkeliling. Dulu ruangan yang berjajar dari selasar satu ke selasar lain digunakan sebagai ruang kelas sampai asrama. Kini ruangan-ruangan itu sehari-hari digunakan sebagai ruang pameran tetap. Pameran tetap di Museum Kebangkitan Nasional dibagi menjadi dua tema, yaitu Sejarah Kedokteran di Indonesia dan Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia yang bermula dari Boedi Oetomo, yang lahir di situ.

Biennale Jakarta 2021 mengambil berbagai ruang yang berdampingan dengan ruang pamer tetap. Mereka yang tak pernah berkunjung ke Museum Kebangkitan Nasional, misalnya, bisa jadi bingung melihat dua patung sosok laki-laki berblangkon duduk di bangku meja kelas mengenakan kostum Jawa ditempatkan di samping ruangan yang mempresentasikan karya Biennale. Apakah itu bagian dari karya Biennale atau bukan? Mereka yang pernah mampir jelas mafhum itu bagian dari patung peraga koleksi museum yang menggambarkan mahasiswa Stovia.

Memanfaatkan bangku-bangku sekolah milik museum, perupa Bandung, Maharani Mancanegara, menyajikan sebuah ruang kelas menonton film animasi. Di tiap bangku sekolah itu terdapat tumpukan kartu bergambar. Gambar-gambar di kartu itu merupakan penjelasan dari film animasi.

Film menceritakan seekor anak kancil yang melakukan perjalanan mencari tahu mengapa di masa lalu banyak satwa dibunuh dan dibantai. Karya berjudul Susur Leluri ini merupakan alegori kekerasan 1965 menggunakan metafor dongeng fabel. Pergulatan Maharani dengan tema ini bermula saat ia menemukan catatan harian kakeknya, Soegriwo Joedodiwirjo, yang ditahan pada 1966-1978, dari penjara Koblen (Surabaya), Nusakambangan (Cilacap, Jawa Tengah), sampai Pulau Buru (Maluku), karena dianggap berpaham kiri.

Elemen bangku sekolah yang menjadi koleksi museum juga dimanfaatkan oleh pematung Yogyakarta, Anusapati. Ia membuat sebuah pohon ranggas yang gugur dan dedaunannya dikelilingi meja-meja kelas. Tak jauh dari karya Anusapati, karya perupa Thailand, Phaptawan Suwannakudt, Sleeping Deep Beauty, berupa selubung-selubung tirai kelambu yang berjuntai dari atap mengelilingi sebuah lukisan sesosok manusia terbaring terasa puitis. Sebab, helai-helai kelambu itu terus bergerak, seolah-olah diterpa angin (sebuah kipas angin ditempatkan di atasnya). Ruang tempat karya Anusapati dan Phaptawan Suwannakudt ini menyambung dengan ruang pameran reguler museum berupa patung setengah dada para tokoh kebangsaan.

Sleeping Deep Beauty karya Phattawan Suwannakudt (Sydney) dalam pameran seni rupa Jakarta Biennale 2021 di Museum Kebangkitan Nasional (STOVIA), Jakarta, 9 Desember 2021/TEMPO/Nurdiansah

Perupa lain yang berupaya mendialektikkan koleksi museum adalah Rizki Lazuardi. Dia memutar sebuah film dokumenter Belanda buatan 1927 berjudul De Pest op Java karya sineas Willy Mullens di sebuah ruangan yang memiliki lemari kaca berisi rangka manusia utuh yang dulu dibuat sebagai materi pengajaran kedokteran. Film Mullens mendokumentasikan wabah pes yang merajalela di Hindia Belanda.

Di depan film yang disorot di dinding ini, Rizki membujurkan sesosok patung berbentuk jasad manusia. Dia juga meletakkan buku berbahasa Belanda yang menyajikan tulisan dr Wahidin Sudirohusodo yang menginformasikan bahwa untuk membasmi pes, Belanda ternyata sampai membakar desa. Melalui karya berjudul Mencitra Bara, Mewarta Wabah, Rizki hendak menyindir betapa pembakaran tersebut tidak ada dalam film Mullens.

Yang paling menarik tapi bisa “membingungkan” pengunjung adalah karya Erika Tan berupa tiga panel video berjudul Amok: Koma. Karya ini bekerja sama dengan penari Yola Yulvianti, Florentina Windy, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Dansity. Amok: Koma terasa kuat karena diletakkan dalam sebuah ruangan yang penuh jajaran dipan. Di bawah dipan-dipan itu terdapat koper-koper.

Pada saat pembukaan Biennale, Erika Tan dan para penari Dansity merespons dipan-dipan tersebut. Dipan-dipan ini sesungguhnya merupakan bagian dari peragaan museum untuk memberikan informasi bahwa ruangan itu tadinya adalah asrama mahasiswa Stovia. Di situlah para mahasiswa Stovia tidur sehari-hari. Disebut membingungkan karena pengunjung bisa mengira dipan-dipan itu karya Erika Tan. Pilihan tepat lokasi membuat video Erika menjadi “sesuatu”.

Jarang sekali bekas Gedung Stovia dijadikan sebagai tempat pameran seni kontemporer. Tema Biennale kali ini adalah “Esok”. Dalam statemen kuratorialnya yang sangat “aktivis”, Dolorosa Sinaga mengandaikan masa lalu dan masa kini penuh kekejaman politik dan mengharapkan esok yang lebih baik.

Stovia dan Museum Nasional agaknya sengaja dipilih untuk merefleksikan itu. Di sini foto-foto dokumentasi patung para pemimpin Afrika yang didirikan Kim Il-sung bisa saja melentikkan imajinasi kita untuk dikomparasikan dengan tugu dan patung publik zaman Sukarno di Jakarta yang banyak meniru monumen di Uni Soviet atau bahkan dibandingkan dengan arca Bhairawa raksasa dari Padang Roco, yang menjadi ikon Museum Nasional, karena semuanya berbicara tentang “kekuasaan”.

Melihat patung Alfiah Rahdini di Biennale Jakarta 2021, seseorang bisa membayangkan bagaimana seandainya yang dipamerkan adalah karya-karya “nakal” semacam Ken Dedes karya Jim Supangkat pada 1970-an, yang menduplikasi arca klasik Pradnja Paramita (koleksi Museum Nasional), tapi “didekonstruksi” mengenakan celana jins beritsleting terbuka. Tentu terjadi dialektika makna yang menarik. Persoalannya, masih banyak perupa yang hanya mengangkat isu tanpa memperhatikan lingkungan dan obyek sejarah yang ada di kedua site specific tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus