Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
O...Mandailing Raya! Tanah tempat aku dilahirkan Yang diapit gunung yang tinggi Yang ditatap gunung berasap Asapnya mengepul terus.... (Willem lskander, Mandailing)
Bukan sebuah puisi yang terlalu indah, memang. Tapi rangkaian kata-kata tentang keelokan alam Mandailing, Sumatera Utara, itu begitu menancap di benak Amru Helmy Daulay. Ya, alam Mandailing telah lama membuat Bupati Mandailing Natal ini jatuh cinta. Bahkan, sebelum menjadi bupati, dia sudah bertekad menjaga keindahan hutan itu. "Jika Anda melihat wilayah Madina dari udara, Anda akan menyadari bagaimana cantiknya hutan kami," katanya.
Seorang bupati yang bersumpah menjaga keindahan wilayahnya memang cerita lama. Tapi, bila sumpah itu bukan sekadar jargon di bibir, ini memang jarang ada. Dan Amru termasuk dalam golongan jarang itu.
Ia terpilih sebagai bupati bersamaan dengan lahirnya Kabupaten Mandailing Natal, atau Madina, yang baru melepaskan diri dari Kabupaten Tapanuli Selatan tahun 1999 lalu. Sebagai penguasa baru, apalagi ini kabupaten yang baru terbentuk, lazimnya seorang bupati gigih mengejar pendapatan asli daerah (PAD). Dan untuk ini, Mandailing Natal punya modal penting: hutan yang kayunya bisa dijual.
Kekayaan hutan Madina memang bak mutiara terpendam. Membentang seluas 6.620,70 kilometer persegi, Madina dengan ibu kota Penyabungan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan (utara), Samudra Hindia (barat), serta Provinsi Sumatera Barat (selatan dan timur). Dari total wilayah itu, sekitar 317.825 hektare (48 persen) adalah hutan negara. Sisanya, hutan rakyat 42.176 hektare (6 persen), perkebunan sekitar 67.707 hektare, dan rawa-rawa 59.976 hektare. Selebihnya adalah persawahan, perladangan, tambak, permukiman.
Dengan hampir separuh wilayahnya berupa hutan, memang warga Madina sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sumber alam ini. Sekitar 62 persen warga Madina hidup dari pertanian pangan, lalu 17 persen dari perkebunan. Alam inilah yang secara alamiah membentuk tradisi bagi warga Madina untuk melindungi hutan dan sumber air melalui berbagai aturan adat. Mereka, misalnya, punya kepercayaan untuk tidak mengambil ikan atau menebang pohon sembarangan. Mereka juga punya tempat keramat naborgo-borgo atau harangan rarangan (hutan larangan) yang tidak boleh diganggu dan dirusak.
Tradisi inilah yang ingin dipertahankan Amru. Maka, ketika warga Madina mengusulkan ke pemerintah pusat agar status hutan mereka menjadi taman nasional, Amru sangat mendukung. Dengan gigih dia melobi ke sana kemari menyosialisasi gagasan ini. Sebuah perjuangan yang tidak percuma, karena Menteri Kehutanan pada April 2004 lalu menjadikan kawasan itu sebagai Taman Nasional Batang Gadis.
Dengan status sebagai taman nasional, bukan hanya tanaman hutan yang terlindungi, tapi juga segenap fauna di dalamnya. Di hutan ini memang bermukim puluhan jenis hewan langka seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), kambing hutan (Naemorhedus sumatrae), landak (Hystix brachyura atau porcupine). Di sini juga berkeliaran kucing emas (Catopuma temminckii atau Asiatic golden cat), kucing congkok (Celis bensalensis atau leopard cat), kijang (Muntiacus muntjak atau common barking deer), burung rangkong, dan badak (Rhinoceros hornbill atau Buceros rhinoceros).
Tapi perjuangan memang tak pernah mudah. Sukses memimpin perjuangan menjadikan hutan mereka sebagai taman nasional, kini tantangan terberat bagi Amru adalah ancaman perluasan tambang emas milik PT Sorik Mas Mining. Perusahaan ini sudah beroperasi di sana sejak delapan tahun lalu. Yang jadi soal, areal penambangan mereka berada di dalam kawasan taman nasional. Dan setelah pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/2004 tentang Penambangan di Hutan Lindung, ancaman itu makin nyata. Berbekal peraturan tersebut, PT Sorik Mas Mining sekarang telah mengantongi izin memperluas areal pertambangannya sampai 1.000 hektare.
Ancaman itulah yang kini hendak dilawan Amru. "Kalau penambangan kita biarkan, entah seperti apa jadinya nanti. Ini warisan untuk anak-cucu," kata bapak dua anak ini. Amru tak tahu apakah perjuangannya akan berhasil. Tapi, setidaknya, dia dan warga Madina bertekad akan terus berjuang.
Jalan masih panjang bagi Amru dan warga Madina. Tapi semangat perjuangan itu berbuah penghargaan. Oktober lalu, Amru terpilih sebagai satu dari lima pemenang Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Award 2004 untuk kategori "Pendorong Lestari Kehati". "Di tengah kerusakan alam Indonesia, ternyata masih ada orang yang bekerja keras menyelamatkan lingkungan," kata Suzanty Sitorus, Manajer Komunikasi dan Pengembangan Sumber Daya Kehati.
Nilai lebih Amru adalah, seperti dikatakan Jatna Supriatna, Direktur Eksekutif dan Vice President Conservation International (CI) Indonesia, sebagai pejabat, dia berani melawan arus. "Di antara bupati yang ada, barangkali hanya Amru yang mau melihat bahwa hutan tidak hanya soal nilai ekonomi," kata Jatna, yang juga salah satu dari tim dewan juri Kehati Award 2004.
Raju Febrian, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo