Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pentingnya agenda membantu usaha kecil mengemuka dalam kebijakan ekonomi kabinet Yudhoyono. Secara eksplisit, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pemerintahan akan membedakan pengusaha berdasarkan skala usaha, yakni usaha kecil dan besar. Kebijakan intervensi ini didasarkan pada pendapat umum bahwa usaha kecil merupakan jenis usaha yang terpinggirkan akibat diskriminasi yang dilakukan kreditor maupun usaha besar di sektor hilir.
Sebetulnya, diskriminasi sektor usaha kecil jamak dijumpai di negara berkembang, bahkan di negara maju yang menganut sistem pasar. Fenomena ini muncul akibat kurang berfungsi atau hilangnya pasar (missing market) satu sektor tertentu karena gagalnya ekuilibrium permintaan dan penawaran. Akerlof (1970), serta Stiglitz dan Weiss (1981) menjelaskan, ketidakmampuan mekanisme pasar dalam memfasilitasi ekuilibrium disebabkan oleh tingginya biaya transaksi dan besarnya risiko akibat informasi yang asimetris tentang risiko usaha, kualitas produk, kewirausahaan, dan itikad pengusaha.
Hal itu, pada gilirannya memicu penjatahan (rationing) dana oleh para kreditor terhadap usaha kecil, atau pengalihan pembelian input ke kelompok usaha besar. Dalam situasi demikian, keseimbangan pasar yang ada hanya mencerminkan tingkat kesejahteraan (welfare) yang sub-optimal, yang dimanifestasikan dengan kegagalan mekanisme pasar mengakomodasi kelompok usaha kecil.
Mempertimbangkan faktor masih lemahnya infrastruktur dan institusi di Tanah Air yang mampu menunjang pasar untuk beranjak dari kondisi status quo, penulis sepakat bahwa masalah itu perlu diatasi melalui program intervensi pemerintah. Namun, muncul pertanyaan: langkah apa yang semestinya dilakukan pemerintah sebagai regulator untuk memperbaiki kesejahteraan dengan memajukan kinerja usaha kecil ini?
Pertama, tidak semua usaha menjadi besar akibat faktor ketidakadilan atau proteksi. Dengan mengecualikan kapitalis-kroni atau kapitalis pelat merah yang dibesarkan proteksi di era Soeharto, usaha besar sebetulnya mengindikasikan keberhasilan transformasi bisnis mereka dari level sebelumnya sebagai usaha kecil.
Jovanovic (1982) serta Ericson dan Pakes (1995) menunjukkan besarnya skala usaha sejatinya merupakan salah satu indikasi keberhasilan dalam meningkatkan efisiensi dan menjaga kecilnya probabilitas kegagalan usaha dari waktu ke waktu. Besar tak selalu berarti tidak sehat. Karena itu, penting bagi pemerintah mendesain sebuah kebijakan membantu usaha kecil yang tepat sasaran dan tidak semata-mata berdasarkan sentimen anti terhadap usaha besar.
Kedua, intervensi kebijakan perlu lebih diarahkan kepada perbaikan infrastruktur sektor keuangan guna menurunkan biaya transaksi untuk memperbesar akses kredit investasi bagi usaha kecil. Karena itu, pembentukan beberapa biro kredit, disertai perangkat undang-undang yang memadai, untuk memantau histori kinerja debitor individu maupun usaha menjadi hal yang mutlak.
Karena hanya dengan cara itu, kreditor dapat mengakses dan mengkalkulasi risiko kredit dengan biaya rendah, untuk mengantisipasi kian bertambahnya pool data debitor sebagai konsekuensi logis yang akan muncul dari kebijakan ini. Penelitian Love dan Myenko (2003) terhadap 5.000 perusahaan di 51 negara menunjukkan bahwa badan-badan biro kredit independen membawa dampak yang signifikan terhadap peningkatan akses usaha akan pinjaman kredit.
Selain itu, yang juga vital dilakukan adalah memperbaiki kinerja proses hukum agar mampu secara optimal menangani proses likuidasi akibat gagal bayar (delinquency atau default) usaha kecil dan individu. Hal ini penting ditempuh untuk memberikan insentif bagi peminjam yang sehat serta mengerem potensi moral hazard dari investasi ceroboh yang berisiko tinggi.
Terbatasnya agunan untuk memperoleh kredit selalu menjadi problema usaha kecil di negara berkembang. Mestinya kita dapat memetik pengalaman negara-negara maju dalam melindungi setiap kepemilikan aset, baik itu yang berupa tangible asset maupun yang non-tangible seperti hak intelektual atau copyright. Karena itu, hal ketiga yang penting dilakukan adalah mendanai sertifikasi dan melindungi aset usaha kecil, baik tanah, bangunan, maupun hak intelektual, sehingga dapat digunakan sebagai agunan, betapapun kecilnya.
Sebagai contoh, aset kolektif dari sejumlah individu dapat disertifikasi sebagai agunan bagi pinjaman bersama (group lending). Sertifikasi menjadi penting, karena hanya dengan adanya pengakuan kepemilikan yang sah, suatu aset dapat dijadikan kapital oleh si pemilik modal, atau sebagaimana yang disebut Marx, surplus nilai dari modal.
Keempat, intervensi kebijakan hendaknya diarahkan pada peningkatan insentif bagi usaha kecil dalam memperbaiki kualitas manajerial, corporate governance, dan produk mereka. Intervensi kebijakan juga perlu diarahkan untuk menghapus regulasi yang kontraproduktif bagi perkembangan usaha kecil, termasuk melempangkan jalur perizinan. Sangat ironis jika usaha kecil semacam industri jamu rumah tangga, misalnya, memilih tak masuk ke sektor formal akibat jeri akan proses perizinan yang mahal dan berbelit.
Yang terakhir, kebijakan proteksi distortif seperti penjatahan pembelian produk usaha kecil oleh usaha besar atau subsidi tingkat bunga kredit bagi usaha kecil justru perlu dihindari. Pengalaman India dan Pakistan menunjukkan kebijakan membantu usaha kecil yang bersifat proteksionis hanya menciptakan stagnasi dan lahan korupsi bagi para politisi. Kebijakan distortif hanya akan menciptakan inefisiensi dan melahirkan pemburu rente baru dari kelompok pengusaha kecil, yang tak pelak akan mengulang cerita lama pengusaha besar-kroni di era Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo