Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepandai-pandainya Nurcholis, 39 tahun, memilih tempat mengoplos solar, akhirnya tercium juga. Setelah satu setengah tahun menjalankan bisnisnya, ia tak berkutik ketika polisi menyita tempat usahanya. Bersama Anwari, 38 tahun, yang melakukan bisnis serupa, pekan lalu ia ditetapkan sebagai tersangka. Tuduhannya: memperdagangkan solar oplosan.
Padahal, pangkalan solar mereka cukup tersembunyi. Tempat usaha milik Nurcholis terletak di Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, Bogor. Sedangkan Anwari membuka bisnisnya di sebuah desa di Kecamatan Gunung Putri, Bogor. Keduanya jauh dari pusat keramaian. Untuk menuju ke sana, kendaraan harus melalui jalanan menanjak yang berkelok-kelok. Dari Pasar Citeurep berjarak sekitar 15 kilometer ke arah bukit di balik pabrik Semen Cibinong.
Di kedua pangkalan itu, tim gabungan Kepolisian Daerah Jawa Barat dan Kepolisian Resor Bogor menemukan solar oplosan, totalnya sebanyak 49 ribu liter. Di pangkalan milik Nurcholis ditemukan juga tiga buah truk bertulisan "PT Sentosa Abadi". Diduga nama perusahaan ini palsu sebab, kata Tjetjep Djuhana, Kepala Keamanan Pemasaran III Pertamina, "Nama perusahaan tersebut tak tercatat di Pertamina."
Jumlah solar oplosan yang disita merupakan yang terbesar kedua sepanjang 2004. Sebelumnya, polisi telah menyita 52 ton solar oplosan milik Johan Sibarani pada awal Oktober. Pangkalannya juga berada di daerah Bogor, tepatnya di Desa Kranggan, Gunung Putri. Polisi pernah pula menggerebek tempat usaha solar oplosan di Dayeuh Kolot, Bandung. Di sana disita 24 ribu liter solar oplosan.
Nurcholis mengaku tergiur bisnis solar oplosan karena tak sulit mendapatkan solar. "Pembelinya juga ada," katanya kepada Tempo. Solar diperoleh dari tiga sopir, yaitu Lei, Asep, dan Anton yang kerap mampir untuk "mengencingkan" isi tangkinya. Harganya Rp 1.400 per liter. Sedangkan minyak tanah dibeli dari sopir Sinaga seharga Rp 1.250 per liter.
Dalam menjalankan usahanya, Nurcholis dibantu Adi Sugianto, Memed, Juwari, dan Hacir. Mereka dibayar Rp 15 ribu per hari. Keempat pekerja inilah yang mengoplos solar. Empat drum solar dicampur dengan satu drum minyak tanah. Setelah dioplos, solar itu dijual ke industri kapur di daerah Cibadak, Sukabumi dengan harga Rp1.600 per liter?jauh lebih murah dibandingkan dengan harga solar resmi Rp 1.650 per liter. Jangan heran, solar oplosan Nurcholis laris manis. Dalam sehari, ia bisa menjual tiga tangki solar atau sekitar 24 ribu liter.
Praktek yang dilakukan Nurcholis maupun Anwari jelas diharamkan. Larangan ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 22 tentang Minyak dan Gas. Ancaman hukumannya pun lumayan berat. Pengoplos bisa dihukum 3_6 tahun penjara atau denda Rp 30- 60 miliar. Hanya, sejauh ini polisi tidak menahan mereka. "Keduanya tidak ditahan karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun," ujar Ajun Komisaris Ferdy Sambo dari Polres Bogor.
Dari hasil penyelidikan polisi dan Pertamina, diduga solar oplosan itu bukan berasal dari solar murni, melainkan sebagian besar adalah residu minyak bakar jenis MFO (bahan bakar kapal). Tapi tentang kepastiannya masih menunggu hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium dan Forensik Mabes Polri.
Jika benar residu minyak bakar yang dipakai, Nurcholis dan Anwari mungkin akan melenggang bebas. Soalnya, sejauh ini hanya bahan bakar seperti premium, solar, dan minyak tanah yang dilindungi dari praktek pengoplosan. "Polisi akan bingung mau pakai pasal yang mana," ujar Ferdy.
Kecermatan polisi amat diperlukan kali ini agar tersangka tak lolos begitu saja. Apalagi, praktek bisnis haram ini cenderung meningkat. Pada 2002, tercatat 68 lokasi yang digerebek, dan pada tahun berikutnya 76 lokasi. Dari jumlah itu, hanya 24 kasus yang ditindak. "Saya juga heran, dari begitu banyak pelaku yang ditangkap, hanya sedikit yang kasusnya disidangkan," kata Awi Adil, juru bicara Unit Pemasaran III Pertamina.
Eni Saeni, Deffan Purnama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo