Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polemik terkait sertifikat hak atas tanah di wilayah perairan Sidoarjo menjadi perbincangan hangat, terutama setelah ditemukannya Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656 hektare di laut utara Jawa Timur, tepatnya di wilayah Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasalnya, legalitas HGB tersebut terdaftar atas nama tiga perusahaan, yaitu PT Surya Inti Pertama seluas 285,16 hektare dan 219,31 hektare, serta PT Semeru Cemerlang seluas 152,36 hektare sejak puluhan tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Hukum Laut Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Nilam Andalia Kurniasari menegaskan bahwa dalam hukum laut tidak ada konsep hak atas tanah di ruang laut. Hak atas tanah hanya berlaku di wilayah daratan.
Dosen Hukum Laut Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Nilam Andalia Kurniasari SH, LLM (Sumber: Humas Unair)
Nilam mengatakan jika suatu wilayah yang semula daratan mengalami abrasi hingga berubah menjadi perairan, pemilik tanah tetap memiliki hak untuk melakukan pengurukan sesuai batas-batas sertifikat. Namun, jika sejak awal wilayah tersebut merupakan perairan, maka tidak ada dasar hukum yang mengakui kepemilikan tanah di ruang laut.
“Pengurukan laut itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain juga ada yang melakukan pengurukan tanah, memperluas wilayah daratannya. Tetapi ini dilakukan dengan cara yang legal. Jangan sampai perluasan daratan itu kemudian menjadikan kerusakan lingkungan karena tidak imbang dengan kajian-kajian lingkungan,” ujar Nilam melalui keterangan tertulis, Selasa, 4 Februari 2025.
Implikasi Hukum Laut Internasional
Lebih lanjut, Nilam menyoroti dampak dari perluasan daratan terhadap garis pangkal (baseline) negara. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) Pasal 16, perubahan baseline harus dilaporkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Meskipun demikian, UNCLOS menetapkan bahwa baseline yang telah diajukan bersifat tetap dan tidak dapat diubah.
“Negara-negara kepulauan seperti Indonesia harus berhati-hati dalam melakukan pengurukan karena dapat berdampak pada klaim kedaulatan dan hak navigasi negara lain. Jika pagar laut yang dibangun menghambat jalur navigasi internasional, Indonesia berpotensi melanggar hukum laut internasional,” kata dia
Nilam menjelaskan terkait cara untuk membuktikan bahwa suatu wilayah sebelumnya merupakan daratan sebelum terabrasi. Hal ini dapat diverifikasi melalui peta resmi negara, citra satelit, serta data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan instansi terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atau TNI Angkatan Laut.
“Kita memiliki badan-badan yang mengurusi geospasial dan pemetaan wilayah perairan. Mereka dapat memastikan apakah suatu wilayah memang dulunya daratan atau sejak awal merupakan perairan,” katanya.
Pencabutan Sertifikat dan Tanggung Jawab Hukum
Selain itu, Nilam juga menyinggung permasalahan pagar laut di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang. Pencabutan sertifikat tanah oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid terjadi karena adanya cacat administrasi dalam penerbitannya.
Menanggapi hal tersebut, Nilam menilai bahwa pencabutan sertifikat sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun, ia menegaskan bahwa perlu ada penelusuran lebih lanjut terkait siapa yang bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat tersebut. “Setiap pelanggaran hukum harus diikuti dengan penegakan hukum. Terkait sanksi dan proses hukum lebih lanjut, hal ini merupakan ranah ahli hukum pidana dan administrasi,” ucapnya.
Menurut Nilam, polemik ini menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah dalam menata kembali kebijakan terkait ruang laut. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan tata ruang dan agraria sejalan dengan prinsip-prinsip hukum laut serta mempertimbangkan aspek lingkungan dan kedaulatan negara.
“Sudah saatnya pemerintah mengintrospeksi diri mengenai isu hukum laut, mengenai pengawasan, penegakan hukum, manajemen ruang laut. Ini semua harus pemerintah kaji. Pemerintah harus introspeksi untuk menata Indonesia sebagai negara maritim sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia,” kata dia.