Solly Lubis *)
*) Guru besar hukum tata negara Universitas Sumatra Utara
PERTANGGUNGJAWABAN presiden kepada MPR bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak masa kepresidenan Sukarno, hal tersebut dilakukan. Ini merupakan tuntutan konstitusional yang harus dipenuhi oleh seorang presiden.
Pertanyaannya, sejauh mana pertanggungjawaban presiden ini diatur dalam koridor konstitusional. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sendiri tidak mengaturnya secara tegas, apalagi mendetail, mengenai mekanisme dan prosedur pemrosesan tanggung jawab ini. Dalam penjelasan UUD itu disebutkan bahwa presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dalam penjelasan itu juga di- katakan bahwa DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan presiden, dan jika dewan menganggap presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh MPR, majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar dapat meminta pertanggungjawaban presiden.
Di tahun 1967, bermula dari resolusi dan memorandum yang diajukan DPRGR (DPR Gotong Royong), MPRS (MPR Sementara) kemudian mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/12 Maret 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Dalam konsideransnya disebutkan bahwa pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul "Nawaksara" beserta pelengkapnya, sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden No. 01 Tanggal 10 Januari 1967, tidak memenuhi harapan rakyat dan anggota-anggota MPRS pada khususnya, maka pertanggungjawaban Presiden Sukarno tidak dapat memenuhi kewajiban konstitusional.
Dalam perkembangan berikutnya, yakni seusai Pemilu 1971 dan terbentuknya MPR hasil pemilu di tahun 1973, MPR ini menerbitkan Ketetapan MPR No. VI/1973 tentang Kedudukan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antara Lembaga- Lembaga Tinggi Negara. Masalah yang sama diatur juga dalam Ketetapan MPR No. III/1978.
Nah, dalam Pasal 5 Ketetapan MPR No. III ini tercantum masalah yang sama dengan Pasal 5 Ketetapan MPR No. VI di atas. Dalam aturan itu dikatakan, pertama, presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis dan pada akhir masa jabatannya memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan haluan negara yang ditetapkan UUD atau oleh majelis di hadapan sidang majelis. Kedua, presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan sidang istimewa majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggunganjawaban presiden dalam pelaksanaan haluan negara yang ditetapkan oleh UUD atau majelis.
Dalam Pasal 7 Ketetapan MPR No. III/1978 itu dikatakan bahwa DPR, yang semua anggotanya adalah anggota MPR, berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan presiden dalam rangka pelaksanaan haluan negara. Apabila DPR menganggap presiden sungguh melanggar haluan negara, DPR akan menyampaikan memorandum untuk mengingatkan presiden. Apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua tersebut tidak diindahkan oleh presiden, DPR dapat meminta majelis mengadakan sidang istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Demikian gamblangnya bunyi ketetapan MPR itu sebagai patokan prosedural hubungan segi tiga antara MPR, DPR, dan presiden, sekaligus sebagai penegasan bagi maksud penjelasan UUD 1945. Jika ada keinginan supaya ketentuan seperti ini dicantumkan langsung dalam Batang Tubuh atau pasal-pasal UUD, sebagaimana sering tercantum dalam forum diskusi mengenai amandemen UUD, saya termasuk orang yang mengusulkan supaya butir-butir Penjelasan UUD yang demikian penting itu dimasukkan menjadi pasal-pasal UUD. Saya juga mengusulkan agar Penjelasan UUD ditiadakan saja. Lumrahnya, undang-undang biasalah yang mempunyai penjelasan, bukan UUD.
Dalam pelaksanaannya, masalah pertanggungjawaban ini sering direkayasa. Dalam masa kepresidenan Soeharto, misalnya, pihak yang meminta pertanggungjawaban presiden itu ialah MPR hasil pemilihan umum yang baru, bukan MPR periode sebelumnya yang tadinya menugasi presiden sebagai mandataris MPR untuk memimpin pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan GBHN di periode penugasannya. Seyogianya, MPR yang memilih, mengangkat, dan menugasi presiden itulah yang minta pertanggungjawaban presiden di masa penugasannya. Prosedur pertanggung- jawaban yang keliru di masa Soeharto ini sudah sejak tiga puluhan tahun yang lalu dikritik oleh kalangan ahli hukum tata negara, tapi tidak digubris oleh MPR dengan alasan politis bahwa MPR lama dan MPR baru itu kesemuanya adalah satu.
Kecenderungan yang demikian itu dapat dipahami karena kebetulan calon presidennya memang tunggal dan itu-itu juga, yakni Soeharto. Buat masa yang akan datang, jika ada dua calon atau lebih, dan sekiranya mantan presiden ikut lagi mencalonkan diri, nilai skor kinerja dan track record-nya yang dinilai oleh MPR bisa berbeda untuk tiap periode. Mungkin saja oleh MPR masa lampau presiden itu dinilai bagus (misalnya A atau B), tetapi belum tentu MPR hasil pemilu berikutnya, yang berhak membuat penilaian sendiri, akan menilai si calon dengan nilai yang sama.
Lalu, apakah pertanggungjawaban presiden itu harus tertulis? Menurut pengalaman di masa kepresidenan Sukarno, Soeharto, dan B.J. Habibie, pertanggungjawaban itu selalu dalam bentuk tertulis, diucapkan langsung oleh presiden, dan didengarkan langsung oleh anggota MPR, kemudian dipelajari dan akhirnya penilaiannya dituangkan dalam ketetapan MPR. Andaikata seorang presiden berhalangan secara teknis mengucapkan sendiri pertanggungjawabannya dalam bentuk tertulis, pertanggungjawabannya dapat saja diwakilkan atau dikuasakan kepada orang lain, asalkan terjamin keautentikan isinya secara yuridis.
Pertanyaan terakhir adalah apakah pelaksanaan permintaan pertanggungjawaban presiden dapat dipercepat sebelum habis masa jabatan lima tahun, sebagaimana ditetapkan dalam tap MPR pengangkatannya. Menurut saya, mengingat sasaran kegiatan ini adalah mengenai kebijakan publik (public policy), apalagi jika tuntutan situasional sudah sedemikian mendesak, dapat saja pertanggungjawaban itu dipercepat bila menurut MPR percepatan itu adalah alternatif yang lebih bijaksana, terutama dilihat dari sudut kepentingan bangsa dan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini