Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Yang Gersang di Delta Mahakam

Gara-gara ulah petambak, hutan mangrove terancam punah, pulau terendam, erosi meningkat. Delta Mahakam kini rusak, nanti seluruh habitat.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELTA Mahakam nyaris telanjang. Hutan bakau yang memagari pulau di tengah Sungai Mahakam itu tampak menipis. Kawasan yang dulu bagaikan jubah hijau—karena kerimbunan bakau alias mangrove—kini dipenuhi petak-petak tambak. Sisanya, tanah gersang. Pendek kata, hutan bakau Delta Mahakam terancam punah.

Di balik ancaman itu, siapakah sang pelaku? Kecurigaan tertuju ke para petambak. Mereka mengincar rezeki besar dari usaha perikanan air tawar. Padahal, untuk membangun tambak, hutan bakau mesti dibabat. Maka, terjadilah penggerogotan hutan yang mengakibatkan erosi. Aliran Sungai Mahakam pun leluasa menggerus tebing delta dan bantaran sungai, sehingga pulau-pulau seperti Muaraulu, Tanibaru, dan Panutan kini terendam air. Sungguh memprihatinkan.

Nah, ketika pulau-pulau di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, itu hampir hanyut, baru terpikir oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalimantan Timur untuk menyelamatkan lingkungan. Pekan lalu, mereka merampungkan program penyelamatan Delta Mahakam. Di situ ada tuntutan agar pemilik tambak wajib menghutankan kembali 20 persen dari lahan tambak di Delta Mahakam.

Dalam pelaksanaannya, kelak Bapedalda harus didampingi lembaga swadaya masyarakat yang digaji. Namun, karena pemerintah tak punya duit, "Kita akan tawarkan ke swasta," kata tokok Bapedalda, Rizal Indra Riadi, yang menangani kerusakan lingkungan. Jadilah program penghijauan itu sebagai langkah pertama Pemda Kalimantan Timur dalam pelestarian lingkungan.

Sebelumnya, mereka tak pernah menggubris kerusakan Delta Mahakam. Data kerusakan hutan itu pun mereka tak punya. "Kita tahu kondisinya (Delta Mahakam) dari PT Total Indonesia," kata Sabran Malisi, Kepala Bapedalda Kalimantan Timur. Perusahaan asing itu memang tiap tahun menghabiskan ribuan dolar untuk membuat foto satelit Delta Mahakam. Hasil jepretan akhir tahun lalu menunjukkan, wilayah tersebut sudah mulai gundul. Padahal, dua tahun lalu, luas hutan mangrove di sana 150 ribu hektare. Kini yang tersisa hanya seperlimanya, sekitar 30 ribu hektare.

Pembabatan mangrove kian menjadi-jadi, seiring dengan melonjaknya harga komoditi perikanan. Ketika nilai rupiah anjlok terhadap dolar, penduduk pun kian asyik menggeluti bisnis tambak. Harga udang windu, yang sebelumnya hanya Rp 50 ribu per kilogram, melesat ke Rp 350 ribu setiap kilogramnya. Data dari Dinas Perikanan Kabupaten Kutai membuktikan adanya peningkatan produksi yang signifikan. Sementara pada 1998 tambak di Kalimantan Timur cuma menghasilkan 461,2 ton, tahun berikutnya, "melonjak hampir tiga kali lipat," kata Badransyah, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kutai.

Dengan melimpahnya hasil tambak, Total semakin gencar berkoar soal pelestarian lingkungan. Akhir bulan lalu mereka bahkan menggelar seminar untuk menyelamatkan mangrove. Tapi, kepedulian ini tak terlepas dari kepentingan Total sendiri. Pasalnya, perusahaan pertambangan gas alam itu harus menyelamatkan pipa gas sepanjang 200 kilometer dengan lahan selebar 50 meter. Setiap saat, alat berat yang dipakai untuk membuka areal tambak bisa saja menyenggol pipa gas tersebut. Kalau sampai bocor, bahaya kebakaran tak terhindari lagi.

Total tentu memikirkan kelangsungan proyeknya. Apalagi setiap kali petani gagal panen, "Kami yang disalahkan," kata Nurul Fazrie, petugas hubungan masyarakat Total. Tahun ini saja sudah 40 petambak yang mendemo Total. Mereka menuduh Total mencemari lingkungan dan membuat mereka gagal panen. Namun, menurut Total, hasil penelitian tim pencinta lingkungan dan perguruan tinggi menyatakan Total tak bersalah.

Rusaknya usaha tambak tahun ini, menurut pemerhati lingkungan Otto Soemarwoto, tak lain karena ulah petambak sendiri. Lenyapnya mangrove telah memusnahkan habitat ikan dan memperbesar erosi tanah. Banyaknya endapan dan kandungan pirit tanah di Kalimantan menyebabkan kadar oksigen dalam air menipis. Petambak juga makin sulit mendapatkan benih udang karena akar-akar mangrove tempat mereka berbiak sudah lenyap.

Otto meragukan pernyataan pemerintah yang mengaku tak tahu soal kerusakan di Delta Mahakam. Soalnya, kerusakan itu bisa dilihat dengan mata telanjang. "Paling-paling ada KKN-nya (korupsi, kolusi, dan nepotisme)," kata Otto. Di pihak lain, Nyoto Sanyoto, Ketua Harian Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove, menyesali sikap pemda yang tak begitu peduli. Ia justru mendesak agar Delta Mahakam dijadikan kawasan hutan lindung.

Apakah status hutan lindung bisa menghentikan pembabatan mangrove? Tak ada jaminan untuk itu. Hutan yang ditetapkan menjadi taman nasional—seperti Tanjungputing—juga tak luput dari penjarahan. Apalagi hutan bakau, yang selain tidak langka, juga gampang direboisasi karena tanaman ini cepat rindang. Yang penting, jangan terlambat. Kalau tak segera ditangani, tidak saja pulau yang tenggelam, tapi Sungai Mahakam juga bisa dangkal dan rezeki tambak akhirnya tinggal kenangan.

Agung Rulianto, Rian Suryalibrata, dan Redy M.Z. (Samarinda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus