Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga Menguak MTV

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarah, Jamie, dan Shanty. Untuk penonton Indonesia, ketiga nama ini adalah ikon MTV, identik dengan MTV, meski MTV tak berarti hanya terdiri dari tiga sosok ini. Sebelumnya, tentu saja pernah ada Mike Kaseem, Rahul, dan kemudian—juga berdarah Indonesia—Nadya Hutagalung. Memang ada beberapa hal yang mempersamakan nama-nama ini sehingga menjadi layak menggunakan label MTV: sosok yang hidup, lincah, funky, penuh gelak, dan pandai nyerocos, meski isi pembicaraannya tak harus selalu berisi. Dan yang penting, sebagaimana memang menjadi persyaratan media audio visual: mereka semua enak dilihat. Tak perlu brilian bak Einstein dan tak perlu pandai membahas pemikiran Sarte. Bahkan, untuk membicarakan film pun tak perlu membahas evaluasi sinematik sebuah karya; cukup berikan saja komentar yang pecicilan dan sedikit humor dan gaya. Jadilah. Kalau mau bicara mendalam, siapa yang mau dengerin? Ini acara musik MTV, bo, bukan kuliah filsafat. Nah, inilah ketiga nama Indonesia yang selama ini berhasil menguak MTV:

Sarah dalam Catatan Natasja

Jakarta. Singapura. Moskow. New York. Los Angeles. Ho Chi Minh City. Bangkok. Dari mana pun ia muncul, orang akan cepat mengenalinya di layar televisi. Seperti halnya mereka akan mudah menghafal wajahnya dalam dandanan model apa pun. Rok lilit. Kaus ketat. Sepatu trepes. Jaket hitam panjang. Sepatu boot. You-can-see polka dot. Rok mini dan blus feminin. Dia tetap Sarah Meiriza Hardiany Sechan, VJ atau video-jockey MTV Asia.

Acara musik ini, di Indonesia, bisa ditangkap lewat layar Anteve atau antena parabola. Dan Sarah Sechan, sembari pecicilan dan dengan sepasang mata yang berbinar, lantas saja mengajak ngobrol pemirsa atau membacakan surat penggemar. Ia secara tak langsung telah mengantarkan para remaja kota besar Indonesia kepada jenis idola baru: video-jockey MTV. Itulah yang terjadi tatkala Sarah tiba di pelataran Hotel Mulia, Jakarta, Sabtu malam pekan lalu.

Serombongan remaja belasan tahun yang sedang lalu lalang di lobi hotel tiba-tiba menatapnya, sebelum berlari mengepungnya. ''Mati deh gue," ujarnya setengah mengeluh kepada TEMPO. Hanya sesaat wajahnya berubah. Lalu, ia menyetel senyum. Dengan sabar, gadis itu meladeni permintaan tanda tangan, foto bersama, atau pujian ''cantik" yang dilontarkan para fansnya. Dalam pantalon lebar dipadu jaket hitam panjang buatan Oscar Lawalata dan topi putih lebar merk Bailley, ia tampak menawan dan terus bertahan dengan senyumnya.

Soal pasang senyum dan mejeng di tengah remaja bukan hal baru baginya. Sarah, yang putus belajar di Akademi Akuntansi Trisakti, Jakarta, pernah jadi model majalah Gadis, bintang iklan, pemandu acara, penyiar Hard Rock FM, bahkan main sinetron. Adalah acara Musik Minggu-AN di Anteve bersama Gunawan yang membuat nama Sarah Sechan menjadi salah satu pembawa acara musik anak muda yang orisinal. Dengan mengenakan berbagai kostum, dalam acara itu Sarah berhasil meramu tokoh-tokoh yang dibawakannya—dari tokoh dongeng 1001 malam hingga dongeng-dongeng Disney—dengan berbagai musik yang ''terpaksa" dipajang di acara itu. Maklum, kriteria musik di acara itu lumayan beragam, hingga para penonton tampaknya lebih menikmati ulah Sarah, yang mengenakan pakaian Jasmine, dan Gunawan, yang mengenakan kostum Aladin, daripada acara musik itu sendiri. Kini, semua kegiatan itu praktis dia lepaskan setelah bergabung dengan MTV—yang membawanya kepada popularitas ''lintas Asia".

Sejak ia menjadi video-jockey di MTV Asia, acara yang dia pandu adalah, antara lain, MTV Land, Getar Cinta, MTV Ampuh, dan MTV Fresh. Sarah mulai bergabung dengan MTV sejak 1997. Tapi, ia mengaku bukan soal duit yang membuatnya terus bertahan sampai sekarang. ''I need to exist," katanya. Perasaan itu muncul tatkala orang menonton acaranya atau ''ketika remaja-remaja berebut meminta foto bersama dan tanda tangan," ujarnya sembari tertawa lebar.

Menjadi ikon anak muda, idola, pujaan—apa pun istilahnya—adalah fenomena para video-jockey asal Indonesia, sejak MTV masuk ke Indonesia pada 1995. Jutaan remaja menyaksikan mereka di televisi. Mereka membeli kaset atau CD musik yang dibawakan para VJ, meniru baju dan dandanannya, dan menuliskan profesi VJ dalam daftar cita-cita.

Natasja Charlie, 15 tahun, remaja di kawasan elite Green Garden, Jakarta Barat, misalnya, sudah belasan kali membujuk ibunya mengirim dia bersekolah di Singapura. ''Supaya lancar berbahasa Inggris dan bisa jadi VJ MTV seperti Sarah Sechan," ujarnya tersipu-sipu. Natasja menuliskan nama Sarah di antara para idola di buku harian. Tapi ia membenci kawat giginya ''karena gigi Sarah bagus dan rata". Ia mengoleksi lilin, seperti yang dilakukan Sarah, dan berusaha mencari berita terbaru tentang sang idola lewat media massa ataupun internet. ''Pengen tau Sarah itu ngapain aja pas lagi enggak siaran (di MTV)," ia memberi alasan.

Teknologi modern memang membuat setiap penggemar mudah menemukan bahwa Sarah Sechan berdarah Garut-Sukabumi, menghabiskan masa kanak-kanak di Pennsylvania, London, dan New York, sebelum kembali ke Indonesia pada 1993. Ia gemar berjenis-jenis musik, tapi cintanya ada pada acid jazz, soul, dan R&B. Ia suka jet ski, terbang layang, berenang, dan tergila-gila pada pantai. Di waktu luang, ia tergoda menghabiskan waktu berjam-jam di internet—sebelum melahap baris-baris The Alchemist atau Meeting with Angel dari Paulo Cuelho, pengarang favoritnya. Ia juga membaca majalah musik dan tabloid gosip, dan jatuh cinta pada seorang pelukis Italia di Singapura.

MTV, tak pelak, telah mengantar Sarah pada ketenaran, glamor, uang. Dan boleh jadi, rasa waswas akan kompetisi yang begitu ketat. Sebab, MTV, bagaimanapun, tetap sebuah panggung industri kontemporer yang kapitalistis, tempat bintang baru bisa lahir setiap saat. Dan Natasja—atau remaja mana pun—dengan mudah menemukan role model lain untuk menggantikan nama Sarah Sechan dalam buku hariannya.

Jamie, Antara Seruling Sunda dan 'Soul'

Anak muda itu berselampirkan sarung di bahu, bertingkah tak tahu aturan. Wajahnya yang terkadang dipasang sok tahu itu menirukan gaya kungfu Bruce Lee di dalam kamarnya, mengintip cewek-cewek mandi di sungai sembari mencuri BH, dan nongkrong berlama-lama di WC umum sambil membayangkan dirinya sebagai superstar dangdut. Sementara itu, terdengar narasi seorang ibu—mengiringi adegan tersebut—yang memuji-muji anaknya sebagai anak yang rajin belajar, punya sopan santun, dan tahu diri. Akhirnya, sang bocah lanang itu diusir dari desa, dan sang ibu mengiringi sambil menangis. Beberapa waktu setelah itu, si anak muda itu muncul di layar televisi alias sudah ngetop.

Itu adalah sepintas ''cerita film pendek", berdurasi sekitar 60 detik, berjudul ''Jamie Anak Ajaib"—ditayangkan di layar MTV—untuk memperkenalkan video-jockey (VJ) MTV. Dan seluruh karakter sang bocah, sang ibu, dan sang preman itu diperankan oleh orang yang sama: James Aditya Varman Graham. Melihat penampilan Jamie di layar kaca, tak aneh jika tim MTV Asia memberi Jamie julukan sebagai ''orang yang paling ngocol". ''Itulah saya sebenarnya," kata Jamie, yang biasa dipanggil Jemprot, ketika ditanya apakah penampilannya di televisi itu dirinya yang asli atau akting semata.

Tetapi, tunggu dulu. Meski ia mengaku doyan bergurau, VJ yang oleh sebuah majalah dijuluki sebagai lelaki yang''gorgeous and extremely funny" itu punya sisi lain yang agak ''enggak nyambung" dengan karakter MTV. The real Jamie, menurut pengakuannya, menggemari musik yang ''lebih serius". Sudah lama ia menyukai musik-musik tradisional dari semua penjuru dunia, dari musik Afrika, Indonesia, hingga soul Afrika-Amerika. Ketika masih di Australia, Jamie pernah ikut kelompok musik asal Afrika Selatan, Sulu. Setelah itu, Jamie mengaku makin jatuh cinta pada berbagai world music, dan belajar meniup seruling Sunda. Bahkan, untuk beberapa lama, Jamie sempat ''nyantrik" di Bengkel Teater Rendra dan ikut terlibat dalam perancangan beberapa ilustrasi musik pementasan kelompok itu.

Lahir di Canberra, 30 tahun silam, dengan nama James Aditya Varman Graham sebagai putra bungsu dari pasangan Stuart Graham (Australia) dan Ati Asyawati (Garut), Jamie mengaku sebetulnya dia tak pernah bercita-cita menjadi VJ MTV.

Menurut Jamie, sebelum bergabung dengan MTV, ia sempat menjadi musisi jalanan di Australia. Pernah keluar-masuk pub di Jakarta dan Bandung bersama rapper Iwa K., Jamie juga sempat menjadi gitaris kelompok Krakatau dan De Stage bersama Luluk Purwanto dan Abadi Soesman. ''Sebagai seniman musik, pengetahuan saya tidak banyak dipakai di sini," tuturnya. Ia mengaku pernah mengusulkan agar MTV menampilkan musik-musik tradisi yang dibawakan dengan gaya anak muda. Sayangnya, ide itu tidak diterima.

Bagaimanapun isi hati Jamie, ia toh menjadi ''tuan rumah" dalam show unggulan MTV, dari MTV Land, MTV Most Wanted, hingga MTV Salam Dangdut. Rasanya tak berlebihan kalau Jamie kemudian menjadi salah satu maskot MTV. Seperti halnya Sarah Sechan, ''Jamie adalah MTV" dan ''MTV adalah Jamie". Itu semua membawanya pada penghargaan best light entertainment presenter dalam Asia Television Award 1998.

Penggemar Jimmy Hendrix ini juga punya idealisme tentang musik. Menurut Jamie, musik-musik di MTV itu terlalu pop dan komersial. Jamie juga tidak selalu menikmati bila harus mewawancarai selebriti musik, karena pengetahuan musik mereka—menurut Jamie— tidak oke.

Sikap kritis ini, yang mungkin tak terlalu terlihat nyata saat para VJ beraksi di layar kaca, mungkin saja diwariskan oleh sang kakek, penulis terkemuka roman Atheis, Achdiat Kartamihardja. Atau mungkin juga karena Jamie memang bukan sembarang VJ yang cukup puas pecicilan di muka TV tanpa menyelami musik yang dibicarakan. Tentu saja, saat Jamie tampil dalam Salam Dangdut dan Alternative Nation, tampak sekali bahwa selain ia adalah VJ yang humoris, dia juga paham musik. Itu juga yang membedakan dia dengan VJ MTV yang lain.

Lalu, mengapa Jamie masih di MTV? ''Sekarang waktunya mencari uang sebanyak-banyaknya untuk kemudian mewujudkan keinginan saya," kata Jamie, yang menjadi VJ sejak 1997 dan mengaku mendapat imbalan finansial yang bagus di MTV. Lagi pula, pertimbangan Jamie bergabung dengan MTV bukan keinginan berkarir. Yang mendorong Jamie masuk MTV adalah pemikiran setelah dia melihat penampilan Nadya Hutagalung. ''Kalau gitu, saya juga bisa," kata Jamie. Jadilah di tahun 1997, dia diterima bergabung dengan MTV, meski itu berarti Jamie harus mengendapkan dulu keinginan mendalami musik-musik tradisi Arab, India, Afrika, dan Indonesia, yang disukainya. Ia merasa amat bersyukur bisa diterima bekerja di perusahaan internasional bereputasi bagus, tatkala banyak orang justru kehilangan lahan kerja akibat krisis moneter. Suatu hari, Jamie ingin mendirikan studio musik sendiri yang khusus merekam musik-musik tradisional. Cita-cita lain yang hingga kini belum kesampaian adalah mendalami gamelan Sunda di tanah airnya sendiri. Kapan itu akan dilaksanakan, Jamie menjawab dengan gelengan kepala. Ia masih berkonsentrasi pada program ''mengumpulkan uang" dan kemudian mewujudkan berbagai keinginannya, termasuk menikahi seorang gadis Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan lighting di Singapura, yang dilukiskan Jamie sebagai gadis yang lucu, pintar, dan baik hati.

Shanty, Si Gadis `Pinky'

Meski ikon MTV selalu merujuk pada nama Sarah dan Jamie, tampaknya Shanti satu-satunya VJ yang dinobatkan punya nama ''Shanty MTV". Hoki Shanti melayang ke pangkuannya bagai sebuah garis nasib. Berkali-kali Shanty mengikuti tes MTV, ia selalu gagal. ''Nervous banget waktu itu. Bahasa Inggrisku ancur total, deh," katanya. Diulangi lagi, gagal. Tapi, tanpa diduga, dua tahun kemudian MTV mengajaknya bergabung.

''Enggak tahu kenapa. Mungkin karena lihat gue jadi presenter Pall Mall, yang banyak memakai bahasa Inggris itu," katanya. Ia memang kemudian bekerja sebagai presenter acara di SCTV, Café to Café, yang disponsori Pall Mall. Saat dipanggil, ia langsung diduetkan dengan Alex Abad. Ia cuma diberi script dalam bahasa Inggris. Ia harus mengembangkan sendiri skenario itu. ''Sutralah (=sudahlah), semuanya langsung mengalir lancar," katanya.

Cablak, ceplas-ceplos, cuek, ngomong kenceng, tertawa cekikikan, nyerocos terus tak habis-habisnya sedikit heboh, tidak ''lemot" (lemah otak)—istilah anak muda sekarang untuk mereka yang tak dinamis—luwes berinteraksi dengan kamera. Gaya penampilannya itu yang mungkin disukai penonton MTV. Anak ini kesannya mbeling tapi cerdas, inovatif, kreatif, penuh akal. Ia diterima bekerja di MTV, tapi dengan syarat mula-mula harus menghilangkan image presenter rokok yang menempel di dirinya. Dia diberi kebebasan untuk memilih kegiatan sampingan, asal tidak memakai sponsor rokok, ''karena MTV menggalakkan kampanye against cigarette," katanya.

Lahir 30 Desember 1978 dengan nama lengkap Annisa Nurul Shanty, VJ ini sesungguhnya sehari-hari termasuk paling bersahaja ketimbang serangkaian selebriti lain. Ia terlihat seolah antikosmetik. Bahkan, bedak dan lipstik pun tak dipakai saat datang ke geladi resik acara MTV 5 on 5, Rabu pekan lalu. Ia ingin tampak santai, relaks, dan apa adanya. Sampai-sampai, ia pernah pergi ke sebuah mal dengan hanya mengenakan sandal jepit, celana, pendek, kaus oblong, lalu ada orang usil mengomentari, "Segini aja VJ MTV, nih?" Toh, bagaimanapun, ia sadar menjadi ikon anak-anak muda. Karena itu, penampilan—meski tak perlu ''wah"—perlu modis. Maka, siang itu, dari ujung kaki sampai ujung rambut sering didominasi warna pink. Cat kuku pink, baju pink, celana putih yang masih ada nuansa pink, tas kecil di punggung—meski agak kabur—juga pink, jepit rambut pink, sampai lensa kacamata pink. Jadilah ia mempresentasikan diri sebagai" gadis pinky".

Kemewahan apa yang sudah didapatkannya dari MTV? Shanty tak mau menyebutkan berapa besar gajinya. Yang jelas, seperti VJ lain, dalam waktu singkat dompetnya tebal. Mobil Galant 96 dimilikinya, juga sebidang tanah 300-an meter di Bumi Serpong Damai, dan, eh, ia segera menambahkan bahwa ia selalu menyisihkan penghasilannya. "Zakat gue lancar."

''Kemewahan" yang lain berkat MTV adalah nama yang beken yang kemudian melicinkan cita-citanya untuk menjadi penyanyi. Shanty mengaku sejak dulu ia ingin menjadi penyanyi. Dan kini, setelah menjadi VJ, kesempatan untuk rekaman sebuah album berada di genggamannya. Suaranya? Kita tunggu sajalah albumnya itu.

Bagimana hubungannya dengan sesama VJ? Sebuah adegan menarik terjadi saat TEMPO berada di balik panggung geladi resik, mengobrol dengannya, tiba-tiba Sarah Sechan, VJ MTV lain, muncul. Tapi tak ada tegur sapa, bahkan senyum pun tidak. Lo, kenapa? Sakit gigi? ''Jarang teguran aja, tapi kita enggak musuhan kok," jawab Shanty ketika ditanya kenapa saling tak acuh dengan sesama VJ. Begitu juga ketika VJ-VJ lain datang, TEMPO melihat hampir semua saling tak acuh. Satu-satunya VJ yang pernah menjadi sahabatnya adalah Alex. Setelah Alex berhenti, ia belum memiliki sahabat lagi. Tentu saja, kecuali sang pacar: sutradara videoklip Dimas Jayadiningrat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus