Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #304 Disinformasi Jadi Ancaman Global Hingga 2027

Kemajuan teknologi, termasuk Generative AI, semakin memudahkan pembuatan konten manipulatif yang menuju pada disinformasi.

20 Maret 2025 | 21.28 WIB

Ilustrasi Video Deepfake AI. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi Video Deepfake AI. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Disinformasi dan misinformasi kini menjadi sorotan secara global sebagai ancaman nyata bagi warga dunia. Selain mempengaruhi pemahaman masyarakat terhadap fakta, persebaran hoaks memperparah berbagai masalah lain; mulai masyarakat yang terpecah, hingga politik dan ekonomi yang tidak stabil. Beragam tantangan yang dihadapi dunia itu, secara tidak langsung turut mempengaruhi dan terkait pula dengan tantangan di dalam negeri kita sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Disinformasi Jadi Ancaman Global Hingga 2027

Laporan terbaru World Economic Forum (WEF) Global Risks Report mengungkapkan bahwa disinformasi dan misinformasi merupakan risiko paling tinggi dalam jangka terdekat. Laporan ini disusun menggunakan metodologi komprehensif yang menggabungkan data survei dari berbagai ahli dengan wawasan dan analisis kualitatif. Menurut mereka, dalam 2 tahun ke depan, ancaman yang tampak ialah meningkatnya penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam memproduksi dan menyebarkan informasi palsu.

Kemajuan teknologi, termasuk Generative AI, semakin memudahkan pembuatan konten manipulatif dalam bentuk teks, gambar, suara, dan video yang sulit dibedakan dari konten asli. Ini memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap media, institusi, dan bahkan proses demokratis seperti pemilu. 

Secara global, salah satu dampak paling serius dari disinformasi adalah terpecahnya masyarakat. Hoaks kerap dimanfaatkan untuk memperkuat narasi ekstrem dan memperdalam perpecahan politik serta sosial. Polarisasi ini tidak hanya melemahkan kohesi sosial tetapi juga memperumit pengambilan keputusan kolektif dalam menangani krisis global, seperti perubahan iklim dan konflik geopolitik. 

Ini bisa terlihat bagaimana konflik agraria diperkeruh oleh disinformasi. Misalnya, informasi salah mengenai perubahan iklim sendiri seperti yang pernah ditulis Tim Cek Fakta Tempo ini.

Disinformasi juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap peristiwa cuaca ekstrem. Tak hanya membuat hoaks semakin cepat menyebar, tapi juga membuat orang-orang menyederhanakan tingkat keparahan bencana tersebut atau penyebaran narasi palsu tentang penyebabnya. 

Selain itu, laporan WEF juga menyoroti bagaimana bias algoritma dapat memperburuk penyebaran misinformasi. Algoritma yang digunakan oleh platform digital sering kali mengamplifikasi konten yang menarik perhatian pengguna saja–misal yang viral, tanpa mempertimbangkan validitas informasinya. Ini menciptakan echo chamber alias ruang gema yang justru semakin memperkuat keyakinan yang sudah ada dan menghalangi warganet mengkonsumsi informasi yang lebih akurat.

Kini, semakin sulit untuk membedakan mana hoaks yang dihasilkan oleh AI dan mana yang dibuat oleh manusia. Alat-alat AI memungkinkan penyebaran informasi palsu dalam bentuk video, gambar, suara, atau teks. Di beberapa negara, justru pemerintahlah pembuat konten palsu atau menyesatkan paling banyak. Apalagi, menurut catatan WEF, pemerintah dapat mengambil alih kendali narasi dan menekan informasi dengan kedok keamanan nasional, yang berpotensi mengaburkan batasan dengan kepentingan politik.

Salah satu studi tahun 2024 mengungkap tren misinformasi dunia dan nuansa regional di Inggris, Jerman, Portugal, Spanyol, Argentina, Chile, Brazil, dan Venezuela. Hasilnya, negara-negara dengan kehadiran partai-partai sayap kanan yang mencolok, sengaja tak mau mengungkap siapa di balik akun-akun palsu agar tak dituding terlibat dalam tindakan-tindakan terkoordinasi yang tidak autentik. Sedangkan di Brasil dan Spanyol, dua negara dengan polarisasi politik yang lebih tinggi, disinformasi yang benar-benar palsu alias dikarang, menonjol di sana. 

Bentuk-bentuk rekayasanya beragam; mulai konten yang dibuat-buat, dimanipulasi, dipalsukan, atau didekontekstualisasikan. Bentuk manipulasi ini lebih menonjol di Amerika Latin karena tingginya penggunaan media sosial untuk berita dan rendahnya ketergantungan pada media publik. Sebaliknya, di Eropa, negara-negara lebih terdampak oleh informasi yang menyesatkan (dipilih-pilih, dibesar-besarkan, dan dipelintir).

Dari berbagai tantangan global ini, mana yang sudah kita rasakan di Indonesia?

Ada Apa Pekan Ini?

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi Tipline kami.

Ikuti kami di media sosial:

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus