Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<B>Partai Amanat Nasional</B></font><BR />Perjanjian Arial 16

Partai Amanat Nasional merapat ke kubu Yudhoyono. Amien Rais dituding mengkhianati kesepakatan.

11 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekali berarti, sudah itu mati
(Chairil Anwar)

KETUA Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir tentu tak lupa petikan sajak itu. Pertengahan tahun lalu ia menggunakan syair tersebut dalam billboard besar yang mempromosikan dirinya sebagai ketua partai.

Pekan lalu isu ”kematian” itu santer terdengar: Soetrisno akan mundur dari kursi Ketua Umum PAN. ”Saya de­ngar begitu. Tapi saya sarankan agar ia tidak mengambil keputusan tersebut,” kata Abdillah Toha, anggota Majelis Pertimbangan Partai.

Seperti Abdillah, Rabu pekan lalu, sejumlah pengurus PAN ju­ga berkerumun di rumah Soe­tris­no­ di Pondok Indah, Jakarta Selatan, untuk membesarkan hati sang tuan rumah. Tampak hadir sejumlah pengurus pusat dan kader partai dari Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Utara. Soetrisno sendiri enggan berbicara kepada pers. ”Bapak masih ingin istirahat,” kata Sunan Hasan, Koordinator Media Center Soetrisno Bachir.

Pangkal soalnya adalah Rapat Kerja Nasional PAN di Yogyakarta, Sabtu dua pekan lalu. Rapat itu melahirkan­ dua keputusan pen­ting: PAN akan ber­koalisi dengan Partai Demokrat dan me­nyorongkan Wakil Ketua Majelis­ Per­timbangan Hatta Rajasa­ sebagai ca­lon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Ketua­ Umum Soetrisno Bachir yang akan men­dampingi Prabowo Subianto dari Partai Gerindra tidak disebut sama sekali.

Sejak awal, rapat yang digelar di Hotel Sheraton Yogyakarta itu penuh intrik. Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amien Rais, 65 tahun, dan Soetrisno Bachir, 52 tahun, beradu jurus. Amien mengusung ide koalisi PAN dengan Demokrat. Adapun Soetrisno ingin partainya bergandeng tangan dengan Ge­rindra. Soetrisno telah beberapa kali bertemu dengan Prabowo, dan Amien sudah pula menyambangi Yudhoyono.

Sehari sebelum acara, Soetrisno men­datangi kediaman Amien di Peru­mahan Taman Gandaria, Jakarta Sela­­-t­an. Tampak hadir mendampingi Ketua Umum: Sayuti Asyathri (ketua), Ha­kam Naja (ketua partai dan panitia­ peng­arah rapat kerja nasional), dan Bam­bang Sudibyo (ketua dewan pakar).

Misi mereka adalah meminta rapat kerja digelar di Hotel Sahid Jakarta. Selain itu, rapat diharapkan tidak mengambil keputusan koalisi.

Soal tempat, kubu Soetrisno memilih­ Jakarta karena menganggap Yogya sebagai kawasan yang sudah ”dikuasai” Amien Rais. Sebaliknya, kubu Yogya meng­anggap Jakarta penuh ”amplop” yang bakal disebar pihak yang tak meng­inginkan PAN berkoalisi dengan Demokrat.

Jalan tengah lalu ditawarkan Hakam Naja: rapat kerja pertama akan dilaku­kan di Yogyakarta, rapat berikutnya­ digelar di Jakarta seminggu kemudian. Baik Amien maupun Soetrisno diwajib­kan hadir pada kedua acara. Amien Rais tak berkeberatan. ”Setuju,­ setuju,”­ kata Amien seperti dikutip­ sumber Tempo yang hadir dalam pertemuan itu. Soetrisno juga meng­angguk meski kubunya telah memesan tempat di Hotel Sahid dan telah mendatangkan sejumlah pengurus daerah.

Seusai pertemuan, rombong­an Soetrisno­ balik ke Pondok Indah. Agar rapat kerja nasional yang kedua tak ditelikung, kubu Soetrisno­ mengonsep draf kesepakat­an yang rencananya akan diteken Amien dan Soetrisno. Di­tulis dengan huruf Arial berukuran 16, draf itu ber­isi lima butir kesepakatan. Dua butir pertama bersifat normatif: kedua pihak sepakat menjaga integritas partai dan setiap keputusan akan dida­sari kesepakatan antara ketua umum dan ketua majelis pertimbangan.

Tiga butir sisanya: rapat akan diambil tanpa voting, rapat akan digelar dua kali dan dihadiri Amien dan Soetrisno, serta rapat Yogyakarta tidak akan menyebut nama kader sebagai calon wakil presiden. Artinya, partai akan memberikan kesempatan kepada setiap ka­der untuk dipinang sebagai calon wakil presiden oleh calon presiden mana pun.

Selepas salat magrib, Sayuti Asya­thri, Hakam Naja, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Nasrullah, diutus untuk menemui Amien Rais. Di sana mereka sempat menunggu Amien yang sedang bersantap malam.

Ditemani putranya, Hanafi Rais, Amien menemui ketiganya. Sayuti lantas membacakan satu per satu butir kesepakatan. Hakam dan Nasrullah lebih banyak diam. Ketika butir demi butir dibacakan, menurut sumber Tempo, Amien mengucap setuju.

Sesaat kemudian, Sayuti mengeluar­kan pulpen dari saku kemejanya. Amien terkejut, lalu mengambil pulpen­ itu. ”Apa kamu tidak percaya kepada saya?” kata Amien. Yang ditegur tertawa kecut dan bilang, ”Pulpen itu mau saya kasih ke Pak Amien.”

Amien mengembalikan pulpen itu dan mengutip sepotong hadis: ”Wa kafa billahi syahida, wa kafa billahi kafila (cukup Allah sebagai saksi dan sebagai penjamin).” Suasana makin tak enak saat Amien menutup pertemuan. ”Pak Sayuti, lihat pintu itu? Silakan keluar.” Ketiga utusan segera angkat kaki.

Ditanyai soal insiden ini, Sayuti tak membenarkan dan tak menyangkal. ”Sa­ya tidak mau berkomentar menge­nai persoalan internal partai,” katanya.­ Amien Rais, yang biasanya banyak­ bicara, juga menutup mulut. Permintaan wawancara Tempo melalui Isma­il, anggota staf pribadinya, tak ditanggapi.­ Ta­pi, menurut salah seorang ketua PAN, Patrialis Akbar, Amien tak pernah mem­berikan jan­ji apa pun dalam pertemuan itu. ”Pak Amien menegaskan­ par­tai ini bukan milik perorang­an. Jadi tidak ada yang perlu ditanda­tangani, kan,” katanya. Keterang­an ini juga diberikan Amien kepada sejumlah pengurus partai.

l l l

SOETRISNO sebenarnya sudah men­duga akan ada yang tak beres di Yog­yakarta. Namun ia tetap berangkat dengan harapan lima butir komitmen itu bakal ditepati. Jumat malam sebelum acara, Soetrisno sendiri mene­lepon panitia di Hotel Sahid Jakarta agar menunda rapat hingga Sabtu pekan depan. Ia juga mengutus Wakil Se­kretaris Jenderal PAN Rizki Sadiq dan Sayuti untuk menjelaskan duduk perkara ini kepada panitia.

Soetrisno bersama sekitar 40 orang berangkat ke Yogyakarta, Sabtu pukul sepuluh pagi, menggunakan pesawat carteran Pelita Air dari Bandara Halim Perdana­kusuma. Rombongan pro-Amien mencarter pesawat Lion Air dari Bandara Soekarno-Hatta.

Di Yogyakarta, Soetrisno tidak ikut ra­pat hingga rampung. Menurut orang dekatnya, ia meninggalkan ruang sidang seusai Amien memberikan sambutan. Soetrisno kaget karena, ”Pak Amien tidak memberi tahu peserta­ perihal lima kesepakatan itu,” kata seorang sumber. Seorang ketua partai pro-Amien justru menyalahkan Soetrisno yang tidak mengungkap perihal kesepakatan tersebut.

Yang muncul kemudian adalah desas-desus tentang PAN yang mendapat ”pengganti uang saksi pemilu le­gislatif” agar bersedia merapat ke Partai Demokrat. Empat sumber Tempo dari kedua kubu membenarkan­ soal mahar tersebut. ”Jumlahnya seki­tar Rp 20 miliar,” kata seorang dari me­­reka. ”Saya mendapat Rp 200 juta,” ka­ta sumber lain. Disebut-sebut, uang itu berasal dari Menteri-Sekretaris Nega­ra Hatta Rajasa yang diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PAN Zulkifli­ Hasan.

Hatta Rajasa membantah kabar itu. ”Enggak benar,” katanya kepada Iqbal Muhtarom dari Tempo seusai salat Jumat pekan lalu. Adapun Zulkifli berujar pendek. ”Tidak ada,” ujarnya lewat telepon seluler. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie mengatakan partainya tak mungkin main uang. ”Partai Demokrat tidak punya uang. Untuk mencetak buku saksi saja kami ber­utang Rp 700 juta,” katanya.

l l l

SOETRISNO Bachir tampaknya sudah patah arang. Menurut Rizki Sadiq, rapat kerja nasional tak bakal terlaksana karena, ”Pak Tris menunggu penetapan suara oleh Komisi Pemilihan Umum.” Setelah hasil pemilu keluar, Soetrisno akan mempertimbangkan beberapa opsi: mundur dari jabatan, merevisi hasil rapat Yogyakarta, atau malah menye­rah kepada Amien Rais. Tapi, menurut Abdillah Toha, jika Hatta Rajasa gagal menjadi calon wakil presiden Yudhoyono, hasil rapat kerja bisa diubah. ”Ini tergantung Pak Amien,” katanya.

Menjadi ketua umum partai sejak 2005, Soetrisno sejatinya adalah kader pilihan Amien Rais. Dalam musyawarah nasional di Semarang, sejumlah nama masuk bursa ketua umum menggantikan Amien. Mereka adalah Andi Mappetahang Fatwa, Hatta Rajasa, dan Fuad Bawazier.

Tapi Amien jatuh hati pada Soetrisno. ”Jika waktu salat tiba, meski teman-teman masih ngobrol, dia langsung menggulung lengan, berwudu, dan salat,” kata seseorang yang dekat dengan Amien Rais. Soetrisno juga gemar menyumbang. Amien lalu mencurahkan tenaga untuk memenangkan Soetrisno.

Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam­ ketika kuliah di Pekalongan, nama Soetrisno mulai terdengar ketika menjadi aktivis Himpunan Pengusaha Mu­da Indonesia. Pada dekade 1990, peng­usaha dari kelompok Ika Muda ini bergabung dengan Muhammadiyah yang dipimpin Amien Rais sebagai penasihat ekonomi.

Menurut Rizki, kini Soetrisno mera­sa tak lagi cocok berkecimpung dalam dunia politik. ”Politikus itu harus berjiwa preman dan bengis. Harus bisa mengambil keputusan tanpa memperhatikan perasaan orang lain agar tujuannya tercapai,” kata Soetrisno seperti dikutip Rizki.

Budi Riza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus