Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekali berarti, sudah itu mati
(Chairil Anwar)
KETUA Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir tentu tak lupa petikan sajak itu. Pertengahan tahun lalu ia menggunakan syair tersebut dalam billboard besar yang mempromosikan dirinya sebagai ketua partai.
Pekan lalu isu ”kematian” itu santer terdengar: Soetrisno akan mundur dari kursi Ketua Umum PAN. ”Saya dengar begitu. Tapi saya sarankan agar ia tidak mengambil keputusan tersebut,” kata Abdillah Toha, anggota Majelis Pertimbangan Partai.
Seperti Abdillah, Rabu pekan lalu, sejumlah pengurus PAN juga berkerumun di rumah Soetrisno di Pondok Indah, Jakarta Selatan, untuk membesarkan hati sang tuan rumah. Tampak hadir sejumlah pengurus pusat dan kader partai dari Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Utara. Soetrisno sendiri enggan berbicara kepada pers. ”Bapak masih ingin istirahat,” kata Sunan Hasan, Koordinator Media Center Soetrisno Bachir.
Pangkal soalnya adalah Rapat Kerja Nasional PAN di Yogyakarta, Sabtu dua pekan lalu. Rapat itu melahirkan dua keputusan penting: PAN akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan menyorongkan Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Ketua Umum Soetrisno Bachir yang akan mendampingi Prabowo Subianto dari Partai Gerindra tidak disebut sama sekali.
Sejak awal, rapat yang digelar di Hotel Sheraton Yogyakarta itu penuh intrik. Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amien Rais, 65 tahun, dan Soetrisno Bachir, 52 tahun, beradu jurus. Amien mengusung ide koalisi PAN dengan Demokrat. Adapun Soetrisno ingin partainya bergandeng tangan dengan Gerindra. Soetrisno telah beberapa kali bertemu dengan Prabowo, dan Amien sudah pula menyambangi Yudhoyono.
Sehari sebelum acara, Soetrisno mendatangi kediaman Amien di Perumahan Taman Gandaria, Jakarta Sela-tan. Tampak hadir mendampingi Ketua Umum: Sayuti Asyathri (ketua), Hakam Naja (ketua partai dan panitia pengarah rapat kerja nasional), dan Bambang Sudibyo (ketua dewan pakar).
Misi mereka adalah meminta rapat kerja digelar di Hotel Sahid Jakarta. Selain itu, rapat diharapkan tidak mengambil keputusan koalisi.
Soal tempat, kubu Soetrisno memilih Jakarta karena menganggap Yogya sebagai kawasan yang sudah ”dikuasai” Amien Rais. Sebaliknya, kubu Yogya menganggap Jakarta penuh ”amplop” yang bakal disebar pihak yang tak menginginkan PAN berkoalisi dengan Demokrat.
Jalan tengah lalu ditawarkan Hakam Naja: rapat kerja pertama akan dilakukan di Yogyakarta, rapat berikutnya digelar di Jakarta seminggu kemudian. Baik Amien maupun Soetrisno diwajibkan hadir pada kedua acara. Amien Rais tak berkeberatan. ”Setuju, setuju,” kata Amien seperti dikutip sumber Tempo yang hadir dalam pertemuan itu. Soetrisno juga mengangguk meski kubunya telah memesan tempat di Hotel Sahid dan telah mendatangkan sejumlah pengurus daerah.
Seusai pertemuan, rombongan Soetrisno balik ke Pondok Indah. Agar rapat kerja nasional yang kedua tak ditelikung, kubu Soetrisno mengonsep draf kesepakatan yang rencananya akan diteken Amien dan Soetrisno. Ditulis dengan huruf Arial berukuran 16, draf itu berisi lima butir kesepakatan. Dua butir pertama bersifat normatif: kedua pihak sepakat menjaga integritas partai dan setiap keputusan akan didasari kesepakatan antara ketua umum dan ketua majelis pertimbangan.
Tiga butir sisanya: rapat akan diambil tanpa voting, rapat akan digelar dua kali dan dihadiri Amien dan Soetrisno, serta rapat Yogyakarta tidak akan menyebut nama kader sebagai calon wakil presiden. Artinya, partai akan memberikan kesempatan kepada setiap kader untuk dipinang sebagai calon wakil presiden oleh calon presiden mana pun.
Selepas salat magrib, Sayuti Asyathri, Hakam Naja, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Nasrullah, diutus untuk menemui Amien Rais. Di sana mereka sempat menunggu Amien yang sedang bersantap malam.
Ditemani putranya, Hanafi Rais, Amien menemui ketiganya. Sayuti lantas membacakan satu per satu butir kesepakatan. Hakam dan Nasrullah lebih banyak diam. Ketika butir demi butir dibacakan, menurut sumber Tempo, Amien mengucap setuju.
Sesaat kemudian, Sayuti mengeluarkan pulpen dari saku kemejanya. Amien terkejut, lalu mengambil pulpen itu. ”Apa kamu tidak percaya kepada saya?” kata Amien. Yang ditegur tertawa kecut dan bilang, ”Pulpen itu mau saya kasih ke Pak Amien.”
Amien mengembalikan pulpen itu dan mengutip sepotong hadis: ”Wa kafa billahi syahida, wa kafa billahi kafila (cukup Allah sebagai saksi dan sebagai penjamin).” Suasana makin tak enak saat Amien menutup pertemuan. ”Pak Sayuti, lihat pintu itu? Silakan keluar.” Ketiga utusan segera angkat kaki.
Ditanyai soal insiden ini, Sayuti tak membenarkan dan tak menyangkal. ”Saya tidak mau berkomentar mengenai persoalan internal partai,” katanya. Amien Rais, yang biasanya banyak bicara, juga menutup mulut. Permintaan wawancara Tempo melalui Ismail, anggota staf pribadinya, tak ditanggapi. Tapi, menurut salah seorang ketua PAN, Patrialis Akbar, Amien tak pernah memberikan janji apa pun dalam pertemuan itu. ”Pak Amien menegaskan partai ini bukan milik perorangan. Jadi tidak ada yang perlu ditandatangani, kan,” katanya. Keterangan ini juga diberikan Amien kepada sejumlah pengurus partai.
SOETRISNO sebenarnya sudah menduga akan ada yang tak beres di Yogyakarta. Namun ia tetap berangkat dengan harapan lima butir komitmen itu bakal ditepati. Jumat malam sebelum acara, Soetrisno sendiri menelepon panitia di Hotel Sahid Jakarta agar menunda rapat hingga Sabtu pekan depan. Ia juga mengutus Wakil Sekretaris Jenderal PAN Rizki Sadiq dan Sayuti untuk menjelaskan duduk perkara ini kepada panitia.
Soetrisno bersama sekitar 40 orang berangkat ke Yogyakarta, Sabtu pukul sepuluh pagi, menggunakan pesawat carteran Pelita Air dari Bandara Halim Perdanakusuma. Rombongan pro-Amien mencarter pesawat Lion Air dari Bandara Soekarno-Hatta.
Di Yogyakarta, Soetrisno tidak ikut rapat hingga rampung. Menurut orang dekatnya, ia meninggalkan ruang sidang seusai Amien memberikan sambutan. Soetrisno kaget karena, ”Pak Amien tidak memberi tahu peserta perihal lima kesepakatan itu,” kata seorang sumber. Seorang ketua partai pro-Amien justru menyalahkan Soetrisno yang tidak mengungkap perihal kesepakatan tersebut.
Yang muncul kemudian adalah desas-desus tentang PAN yang mendapat ”pengganti uang saksi pemilu legislatif” agar bersedia merapat ke Partai Demokrat. Empat sumber Tempo dari kedua kubu membenarkan soal mahar tersebut. ”Jumlahnya sekitar Rp 20 miliar,” kata seorang dari mereka. ”Saya mendapat Rp 200 juta,” kata sumber lain. Disebut-sebut, uang itu berasal dari Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang diserahkan kepada Sekretaris Jenderal PAN Zulkifli Hasan.
Hatta Rajasa membantah kabar itu. ”Enggak benar,” katanya kepada Iqbal Muhtarom dari Tempo seusai salat Jumat pekan lalu. Adapun Zulkifli berujar pendek. ”Tidak ada,” ujarnya lewat telepon seluler. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie mengatakan partainya tak mungkin main uang. ”Partai Demokrat tidak punya uang. Untuk mencetak buku saksi saja kami berutang Rp 700 juta,” katanya.
SOETRISNO Bachir tampaknya sudah patah arang. Menurut Rizki Sadiq, rapat kerja nasional tak bakal terlaksana karena, ”Pak Tris menunggu penetapan suara oleh Komisi Pemilihan Umum.” Setelah hasil pemilu keluar, Soetrisno akan mempertimbangkan beberapa opsi: mundur dari jabatan, merevisi hasil rapat Yogyakarta, atau malah menyerah kepada Amien Rais. Tapi, menurut Abdillah Toha, jika Hatta Rajasa gagal menjadi calon wakil presiden Yudhoyono, hasil rapat kerja bisa diubah. ”Ini tergantung Pak Amien,” katanya.
Menjadi ketua umum partai sejak 2005, Soetrisno sejatinya adalah kader pilihan Amien Rais. Dalam musyawarah nasional di Semarang, sejumlah nama masuk bursa ketua umum menggantikan Amien. Mereka adalah Andi Mappetahang Fatwa, Hatta Rajasa, dan Fuad Bawazier.
Tapi Amien jatuh hati pada Soetrisno. ”Jika waktu salat tiba, meski teman-teman masih ngobrol, dia langsung menggulung lengan, berwudu, dan salat,” kata seseorang yang dekat dengan Amien Rais. Soetrisno juga gemar menyumbang. Amien lalu mencurahkan tenaga untuk memenangkan Soetrisno.
Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam ketika kuliah di Pekalongan, nama Soetrisno mulai terdengar ketika menjadi aktivis Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Pada dekade 1990, pengusaha dari kelompok Ika Muda ini bergabung dengan Muhammadiyah yang dipimpin Amien Rais sebagai penasihat ekonomi.
Menurut Rizki, kini Soetrisno merasa tak lagi cocok berkecimpung dalam dunia politik. ”Politikus itu harus berjiwa preman dan bengis. Harus bisa mengambil keputusan tanpa memperhatikan perasaan orang lain agar tujuannya tercapai,” kata Soetrisno seperti dikutip Rizki.
Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo